“Mas, apa itu tidak berlebihan? Niko sudah memberikan alasan kalau dia lengah. Lagi pula hotel Alanda hampir sama luasnya dengan hotel Holfive yang dikelola Sean. Niko bekerja sendirian tanpa bantuan pak Sadin seperti Sean,” protes nyonya Felicia membela anak lelakinya.Sean berdecak kecil. Sontak saja nyonya Felicia dan Niko meliriknya sinis. Akan tetapi mereka tak berani memprotes sikap lelaki itu. Sadar diri nasib Niko berada di tangan tuan Alan.“Felicia, Niko, kalian lupa? Hotel yang kamu tangani, berkembang karena Sean dan kamu hanya diberi tugas mempertahankannya saja! Tapi kamu hampir menghancurkan kerja keras saudaramu,” tegas tuan Alan dengan tatapan tajam.“Ayah pikir aku tidak bisa menangani masalah itu?” cetus Niko dengan napasnya yang menderu. “Aku bisa menangani hotelku, Yah! Kalau saja Sean tidak lebih dulu melangkah mendahuluiku,” Sean kembali berdecak. Kali ini ia menatap saudara tirinya sinis. “Oh, jadi itu kesalahan saya? Begitukah maksudmu, Niko?” ledeknya.“Sea
Zia baru membuka matanya. Hal pertama ia lakukan adalah meraba samping kasurnya. Sepertinya, ia masih ingat kalau malam tadi Sean tidur di sampingnya. “Paman!” Tangan Zia tak menemukan sosok lelaki itu. Ia mengedarkan pandangannya sejenak, lalu bangkit duduk. Indera penglihatannya berkeliling pada setiap kamarnya. Tentu saja ia tak akan menemukan keberadaan Sean. Zia berpikir sejenak, lalu memastikan pakaiannya tak ada yang tertanggal. Ia lantas mencoba memutar mundur ingatannya seraya memainkan bibir bawahnya. Kedua bola matanya bergulir ke kanan dan kiri secara perlahan. Benar, tak ada yang ia lakukan dengan Sean, dirinya ingat tertidur pulas dalam pelukan Sean. “Kapan si paman keluar dari kamarku?” gumannya dengan tatapan heran. Saat ia tenggelam dalam heran dan bingungnya, ponselnya berbunyi. Cepat-cepat ia meraih ponselnya yang berada di atas nakas samping ranjangnya. Zia yakin itu salah pesan dari Sean. Benar saja, senyuman gadis itu langsung mengembang sempurna saat menatap
Ya, hampir saja ia lupa kalau tujuannya berada di mansion Sean untuk bekerja. Padahal ia baru saja merasa melayang bisa bertemu dengan lelaki yang membuatnya nyaman. Gadis itu menghembuskan napas berat.“Ada apa, Gadis Kecil? Apa ada masalah?” tanya Sean menyadari suara hembusan napas Zia.“Tidak ada, Paman. Aku hampir lupa kalau aku ini penulis biografimu,” suara Zia terdengar lesu.“Maafkan saya, Gadis Kecil. Sepertinya setelah ini saya akan sibuk, dan akan sulit meluangkan waktu untuk melakukan sesi interview, karena itulah saya mengirimkan portofolio. Jika ada yang membuatmu bingung, kamu bisa tanyakan saja yah!” Suara Zia kembali berhembus berat nan panjang lagi. “Baiklah.” “Untuk sekarang, kamu fokus dengan pekerjaanmu dan saya fokus dengan pekerjaan saya! Kita selesaikan tugas kita masing-masing, yah! Pasti sangat merindukan kamu, Gadis Kecil,”Penjelasan Sean langsung membuat Zia memasang wajah berat. Walaupun ia dapat mendengar suara pamannya terdengar berat. Padahal, ia ma
“Apakah ada masalah, Tuan?” Pertanyaan pak Sadin membuyarkan renungan Sean. Sedari tadi lelaki itu memainkan ponselnya, memutar-mutarnya dengan satu tangan seraya memasang tatapan berat. Tentu saja, pak Sadin mengiranya ada masalah berat.“Tidak ada pak Sadin. Fokus saja menyetir!” sahut Sean seraya mengukir senyuman.“Kita mau sampai, Tuan,” “Benarkah?”Indera penglihatan Sean beredar pada arah kanan dan kirinya. Ia tersenyum tipis menyadari ucapan asisten pribadinya benar. Kemudian ia merapikan jas dan dasinya dan mempersiapkan dirinya untuk segera turun.“Apakah Bagas sudah siap?” tanya Sean setelah mobil yang dikemudikan pak Sadin memasuki jalanan menuju lobi hotel Alanda, hotel yang dikelola Niko sebelumnya.“Sudah, Tuan,” jawab pak Sadin cepat. Wajah pak Sadin terlihat ragu dan sungkan saat ia baru saja menginjak pedal rem mobilnya, sementara Sean sudah bersiap turun. Lelaki paruh baya itu secepatnya memutar bahunya, menoleh ke arah belakang. “Tuan Sean!” panggilnya.“Ada apa
Zia sukses membuat konsentrasi Sean teralihkan. Ia terus memandangi layar ponselnya selama pak Sadin membawanya kembali ke hotel holfive, tempat seharusnya ia berada. Lelaki itu meneliti wajah gadis kecilnya yang terlampir pada layar ponselnya.Ya, Zia mengirimi dirinya dua foto dengan wajahnya. Gadis memasang tatapan mengancam, dengan bibirnya yang maju. Kemudian pada foto kedua, gadis itu memasang tatapan bayi yang memelas, dan bibirnya tetap maju.Lelaki itu bahkan sampai harus menggaruk rambut depannya, memaksa otaknya bekerja keras untuk mengartikan ekspresi gadis kecilnya. “Sebenarnya kamu marah atau memang menggoda saya?” gumannya tak jelas.“Ada apa, Tuan?” tanya pak Sadin dengan tatapan cemas. “Apakah Bagas melakukan kesalahan?”Sean tersadar kalau lelaki tua di hadapannya terus memperhatikan dirinya. Tentu saja, sejak ia keluar dari ruang meeting tadi, dirinya sibuk dengan ponselnya dan tak mengajak pak Sadin bersuara. Jika sedang begitu, pak Sadin pasti mengira dirinya seda
“Siapa?” Suara ketukan pintu membuyarkan kegiatan Zia yang tengah berkutat dengan laptopnya. Gadis itu mengalihkan pandangannya pada jam dinding di samping kanannya, sebelum menatap ke arah depan, tepatnya pada pintu kamarnya. Keningnya mengkerut menyadari jam dinding sudah menunjukkan jam sembilan malam.Seperti itulah Zia saat ia sudah memutuskan fokusnya pada tulisannya. Ia kerap kali lupa waktu, hingga tak sadar waktunya sudah terlewat jauh. Gadis itu lalu beranjak menuju pintunya yang terus berbunyi. “Kalau ketukannya begini, aku yakin bukan bi Asti,” gumannya seraya meraih handle pintu kamarnya.Dugaannya benar. Bukan bi Asti, melainkan Sean. Gadis itu langsung memasang wajah datar, lalu membuang wajahnya dari lelaki di hadapannya.“Kamu sudah makan, Gadis Kecil?” tanya Sean sebagai sapaan. Zia hanya berdeham santai, isyarat dirinya masih bertahan merajuk. Tentu saja, Sean paham. Tangannya langsung menunjukkan paper bag kecil pada gadis di hadapannya.“Apa ini?” tanyanya deng
Sean bagaikan anak kecil yang terus disuapi oleh Zia dengan es krim bawaanya. Namun, keceriaan di wajahnya dan wajah Zia tergambar jelas tak ada beban. Kemudian Zia memilih melanjutkan pekerjaannya, menyelesaikan tulisannya agar ia bisa segera menyerahkan sedikit demi sedikit hasil tulisannya pada Risma, editornya.“Paman, kalau mau istirahat, istirahat saja! Aku biasa kerja sendirian dan sampai larut,” saran Zia dengan tatapan sungkan.“Tidak apa-apa, saya ‘kan sudah berjanji akan menemani kamu sampai selesai,” ucap Sean diakhiri senyuman tulusnya.Tentu saja gadis itu tidak tega melihat wajah lelah Sean. Apalagi lelaki itu baru saja melepaskan jas formalnya dan menyisakan kemeja putih dengan lengan panjang. Pasti ia langsung menemuinya dahulu tanpa bertukar pakaian dulu ke kamarnya.“Tidak usah pedulikan saya! Saya ingin tahu bagaimana kamu bekerja hingga k
Wajah Zia berubah tegang. Ia merasakan seluruh tubuhnya terasa membeku, tetap detak jantungnya berpacu cepat dan tak beraturan. Zia bahkan kesulitan memejamkan matanya, atau mengalihkan tatapan matanya dari kedua mata Sean.Sean tersenyum tipis, membuat napas Zia terasa berhenti berdetak. Ia kemudian menyibakan helaian rambut gadis kecilnya yang menghalangi wajahnya. Kedua tangannya lalu bergerak menutupi kedua telinga Zia.“Jika nanti ada yang mengatakan hal yang buruk tentang saya atau kamu, jangan dengarkan! Percayalah, saya tulus padamu dan saya akan berusaha semampu saya untuk melindungi kamu,” ucap Sean lembut diakhiri senyuman manisnya. “Kita mungkin akan jarang bertemu, tapi saja janji akan menyempatkan diri menemuimu setiap pulang kerja.”Lelaki tampan itu menyadari kisah cintanya de