Mas Andra terkekeh, mungkin dikiranya aku sedang bercanda. Aku memang tak memberi tahu soal pembicaraanku dengan Mbak Rosa waktu di restoran tadi, karena aku beralasan ke toilet dulu sebentar. "Kenapa?" tanyanya sambil merengkuh tubuhku. "Pusing, Mas." "Rosa?" Aku mendongak. Apa dia bisa membaca pikiranku? Ngeri juga kalo iya. "Kok Mas nebaknya gitu?" Mas Andra tersenyum, tubuhnya semakin dirapatkan padaku. "Maafkan Mas ya, Ning.""Tak perlu minta maaf, Mas. Semuanya aku jalani dengan ikhlas," jawabku. Mas Andra tersenyum, kemudian mengajakku untuk pindah ke kamar atas karena Keysha sudah terlelap. Mas Andra membawaku ke peraduan, namun saat hendak naik ke atas ranjang, sesuatu terasa dari perut. Astaghfirullah."Ning, kenapa?" tanya Mas Andra. "Mas, sakit," lirihku. "Apanya?" "Aw, Mas!" "Ning? Nining? Kamu kenapa?""Perutku sakit. Aw!" Mas Andra nampak panik, ia segera keluar. Ya Allah, kenapa semakin lama semakin terasa sakit? Lalu pandanganku menggelap. --Aku terban
Mas Andra terus menatapku, ditambah kini dengan tatapan setajam elang. Membuatku menghela napas dan akhirnya mengalah. "Jadi, tadi itu aku nggak ke kamar mandi, Mas," ucapku mengawali. "Ya, Mas tahu." Aku membeliakkan mata. Dia, tahu? Sungguh? Aku mengerjapkan mata sekali lagi. "Benar, Mas?" "Ya, kamu berbohong. Karena saat kamu tak kunjung kembali, Mas mengecek ke dalam. Ternyata kamu sedang bersama Rosa. Awalnya Mas ingin mendekat, takut jika ia melakukan hal yang buruk. Tapi kemudian Mas sadar, kalau kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijaga dua puluh empat jam. Tapi, Mas menyesal karena telah mengambil pilihan itu. Andai saja, Mas nggak ninggalin kamu, mungkin saat ini kamu takkan di sini," ucap Mas Andra sambil menundukkan kepalanya. Kuusap kepalanya, lelaki sedingin kulkas itu telah pergi. Berganti dengan sesosok suami yang teramat peduli pada istrinya. Dan aku bangga, sudah bisa mengubah sikapnya padaku, menjadi selembut ini. "Ini bukan salah Mas. Memang semua ini sa
"Lain kali jaga kesehatanmu, Ning. Jangan hiraukan Rosa. Ibu ga suka, selain membahayakan kehamilanmu, Ibu juga ga suka dia mengusik keluarga kita," ucap Ibu setelah Keysha dibawa pergi Sinta. "Iya, Bu. Maafin Nining ya, kemarin lepas kontrol." "Iya. Ibu sudah mengirimkan supir ke kampung kamu, Ning.""Loh? Ngapain, Bu?" "Ya jemput keluargamu, lah. Jangan bikin mereka khawatir karena memikirkan kamu yang masuk rumah sakit. Mending mereka datang, melihatmu secara langsung. Lagipula, semenjak pernikahan kalian, Ibu belum bertemu lagi dengan keluargamu." "Tapi, apa nggak papa, Bu? Nanti repotin." "Hus, kamu ini kaya sama siapa aja! Ibumu itu kan keluarga Ibu juga. Jadi jangan ngomong kaya gitu lagi, ya?" "Hehe, iya, Bu." Pukul dua belas siang, Ibu, Keysha dan Sinta pulang. Tentu saja setelah drama Keysha nangis karena tak mau pulang. "Kamu apakan sih Keysha itu, Ning? Lengket banget sama kamu?" tanya Mas Andra. "Jangankan Keysha, papanya aja bisa lengket banget. Padahal dulu kan
"Key mau ke bawah dulu ya, Ma." "Key sini saja. Nanti kita ke bawah bareng. Mama mau ke kamar mandi dulu." Anak itu mengangguk. Dorongan untuk buang air besar kian terasa karena seharian ini memang belum membuang hajat. Saat keluar, tak kudapati Keysha di atas ranjang. Hemm, bocah itu memang selalu saja kepo. Dengan pelan, aku menuruni tangga. Terlihat Ibu tengah terduduk lemas, sementara Bik Minah di sampingnya. Aku mendekat pada Desi dan Sinta yang bersembunyi. Selepas mengantarku, Mas Andra pamit mau ke kantor sebentar. Mengingat jam menunjukkan pukul tiga, masih ada sisa satu jam sebelum kantor tutup. "Kalian ngapain di sini?" tanyaku saat sampai di bawah. "Eh, astaghfirullah. Ibu, ngagetin aja!" ucap Sinta sambil mengelus dadanya. Aku nyengir, rasa bersalah menyergap. Harusnya aku tak mengejutkan mereka. Tapi penasaran juga, kenapa Ibu sampai begitu? "Ada apa, Des?" "A-anu, Bu...""Anu apa?" Aku semakin penasaran. "Keysha mana?" tanyaku lagi karena mereka terlihat gugup
"Sebenarnya, tadi Bu Rosa datang baik-baik ingin menjemput Keysha. Minta izin juga untuk membawanya menginap sampai tiga hari. Tapi Nyonya melarang, Ning. Bu Rosa sepertinya kepancing, sampai ribut. Nggak lama kemudian Keysha datang. Lelaki yang bersama Bu Rosa langsung membawa Keysha pergi ke mobilnya. Lalu Bu Rosa ngikutin dari belakang. Nyonya sudah mengejar keluar, tapi kan dari fisik pun sudah kalah, Ning. Mereka masih muda, lari dari sini ke luar itu mudah. Sementara Bibik tadi lagi nyuci piring. Tahu sendiri kalau asisten rumah tangga pantang untuk ikut campur keluarganya," jelas Bik Minah. "Laki-laki? Mbak Rosa datang ke sini kapan memangnya, Bik?" "Tepat saat kamu naik, Ning." "Tapi, Bik, rasanya berlebihan sekali. Apalagi kan Mbak Rosa adalah ibu kandung dari Keysha. Masa iya, mau nyakitin gitu aja?" Bik Minah hanya menunduk, seolah ada yang ingin disampaikan, namun urung. "Ada apa, Bik?" "Nggak apa-apa, Ning. Ya sudah, Bibik sama yang lain ke belakang dulu. Tadi Pak
"A-apa?" "Bik, bawa Nining ke kamar. Saya mau ke luar lagi. Pastikan dia nggak ke mana-mana." "Baik, tuan.""Mas!" "Ayo, Ning, kita ke kamar." "Tapi Bik." Bik Minah tak mengindahkan perkataanku, dia tetap menarik tubuh ini ke atas. Aku pun menurutinya, mungkin nanti aku bisa menanyakan hal ini pada Bik Minah di kamar. Saat sampai kamar, segera kucekal tangan Bik Minah saat hendak meninggalkanku, meskipun berat, akhirnya ia mau duduk juga. "Bik, Nining mau nanya," ucapku. "Tanyalah Ning," ucap Bik Minah. "Sebenarnya, apa maksud Mas Andra lagi? Keysha, bukan anak Mbak Rosa?" Bik Minah menghela napas. Ia seperti melepas beban yang seakan berat di pundaknya. "Bibik takut nanti dimarahi sama Pak Andra dan Nyonya, Ning." "Nining janji, nggak akan kasih tahu Ibu, Bik. Janji!" ucapku sungguh-sungguh. Meskipun ragu, akhirnya Bik Minah mulai membuka mulutnya. Menceritakan kembali saat kedatangan Keysha ke sini. "Jadi, Keysha itu bukan anak Pak Andra maupun anak Bu Rosa. Dulu, Bu R
Sampai sore hari, Mas Andra belum juga pulang. Aku ingin menghubunginya terlebih dahulu, namun takut jika nanti aku dimarahi. Apalagi wajah Mas Andra tadi sangat geram mengetahui Keysha dibawa oleh Mbak Rosa. Aku duduk di sofa, menanti kedatangan suami yang belum juga kelihatan mobilnya. Ibu sedari tadi di kamar, bahkan terdengar juga isak tangisnya sesekali jika aku melewati kamarnya. Wajar kurasa, karena Keysha merupakan kesayangan mereka. Mengingat cucu satu-satunya keluarga ini, dilihat dari pandangan orang lain. "Bu, tadi Bapak menelepon Nyonya, saya dengernya kalau Keysha belum juga ditemukan." Aku menghela napas, makin pelik saja. Sudah seharian ini dicari, namun tak kunjung ketemu. "Bapak juga sudah cari ke rumah saudara Bu Rosa, tapi tak ada tanda-tanda Bu Rosa membawa Keysha ke sana." "Iya, makasih ya, Des." "Iya, Bu." Kupijit pelipis, terdengar suara mobil masuk. Aku langsung berdiri dan mengeceknya. Namun harus menelan pil kecewa karena ternyata yang datang adalah
Tubuhku limbung ke belakang, beruntung sedang berdiri di depan sofa. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil masuk. Terdengar dari suaranya, seperti suara mobil Mas Andra. Hendak bangun, namun tubuhku terasa lemas. Hingga Mas Andra datang, ia menatapku sebentar, lalu menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Pandangannya menerawang, aku tahu, pikirannya tentu tengah berat. Apalagi ini menyangkut anak yang sudah dirawatnya dari bayi. Tentu sayangnya sudah seperti anak sendiri. "Ning," panggilnya. Aku segera menoleh. "Ya, Mas?" "Mas sudah menemukan keberadaan Rosa." Mataku membulat seketika, benarkah itu? Tapi, di mana Keysha? "Keysha tak ada bersama Rosa. Aku tadi berhasil menghubungi Rosa. Ia ingin bertemu, dengan dalih akan membawa Keysha. Namun ternyata, saat sampai tak ada Keysha di sana." Aku menatapnya nanar, berarti Keysha belum bertemu. Hatiku lagi-lagi mencelos. Ini sudah hampir magrib, di mana anak itu? Biasanya di jam segini, aku dan dia sedang bermain bersama."Mas, maafkan ak