Tubuhku limbung ke belakang, beruntung sedang berdiri di depan sofa. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil masuk. Terdengar dari suaranya, seperti suara mobil Mas Andra. Hendak bangun, namun tubuhku terasa lemas. Hingga Mas Andra datang, ia menatapku sebentar, lalu menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Pandangannya menerawang, aku tahu, pikirannya tentu tengah berat. Apalagi ini menyangkut anak yang sudah dirawatnya dari bayi. Tentu sayangnya sudah seperti anak sendiri. "Ning," panggilnya. Aku segera menoleh. "Ya, Mas?" "Mas sudah menemukan keberadaan Rosa." Mataku membulat seketika, benarkah itu? Tapi, di mana Keysha? "Keysha tak ada bersama Rosa. Aku tadi berhasil menghubungi Rosa. Ia ingin bertemu, dengan dalih akan membawa Keysha. Namun ternyata, saat sampai tak ada Keysha di sana." Aku menatapnya nanar, berarti Keysha belum bertemu. Hatiku lagi-lagi mencelos. Ini sudah hampir magrib, di mana anak itu? Biasanya di jam segini, aku dan dia sedang bermain bersama."Mas, maafkan ak
"A-apa maksudmu?" "Aku sudah tahu, Mas. Kenapa kamu menyembunyikan hal semacam ini dariku?" "Maaf, Ning." "Jadi?" "Aku harus bagaimana?""Terserah Mas saja. Tapi untuk melepaskan, Nining nggak akan mau," jawabku tegas. Tanpa diduga, Mas Andra memelukku. Ia mengusap pelan rambutku, membuat hatiku seketika menghangat, pun dengan kedua mataku. "Loh, kok nangis?" "Aku pikir, Mas akan meninggalkanku. Apalagi tadi, Mas garang banget," ucapku. "Maaf ya, Ning. Mas hanya panik saja tadi." "Andra, gimana Keysha?" Suara Ibu tiba-tiba mengagetkanku. "Tadi Andra ketemu Rosa, Bu. Tapi nggak bawa Keysha." "Sebaiknya kita laporkan polisi aja, Ndra." "Tapi kan belum 24 jam, Bu. Apalagi, bagaimana respon polisi nanti saat tahu bahwa yang menculik Keysha adalah ibunya sendiri?" "Ya, kita bisa bawa dokumen-" Seketika Ibu melirik ke arahku, lalu melirik lagi ke arah Mas Andra. "Nining sudah tahu, Bu," ucap Mas Andra. "Oh. Tinggal bawa dokumen adopsi aja. Polisi pasti akan gerak cepat." "T
Dengan cepat, Mas Andra mengemudi mobil hingga akhirnya sampai di rumah sakit. Tubuhku bergetar seiring dengan langkah kaki yang terasa amat berat. Allah, selamatkan Keysha. Mas Andra memelukku ketika Keysha diperiksa. Sungguh, andai bisa ditukar, lebih baik aku yang merasakannya daripada anak sekecil itu yang merasakan. "Wali anak Keysha?" "Saya, Dok." Mas Andra berdiri, buru-buru aku pun ikut berdiri. Namun sayang, cekalan di tangan Ibu langsung membuatku duduk kembali. Aku menunduk, perih menjalar. "Nak, apakah nanti Oma akan menyayangimu seperti beliau menyayangi Kak Keysha?" tanyaku bermonolog. Aku menggeleng. Tak seharusnya aku cemburu begini nantinya. Kasih sayang orang tua itu sama porsinya, hanya saja bukankah selalu ada yang lebih menonjol. Ah, pikiran macam apa ini? Waktu seakan lambat berputar. Mas Andra dan Ibu belum juga kembali. Aku melirik ke arah ranjang Keysha. Anak kecil itu terbaring lemah tak berdaya. Jarum infus sudah menancap di tangannya. "Ning." Suara
Lima belas menit kemudian, terlihat jari-jari tangan Keysha bergerak. Mataku membeliak, gegas kupanggil dokter. "Jadi bagaimana, Dok?" tanyaku. "Pasien Keysha sudah cukup pulih, Bu. Setelahh dia sadar nanti, tolong beri ia minum karena cairan di tubuhnya berkurang banyak." Aku mengangguk, sudah pasti banyak, karena sedari kemarin sore Mbak Rosa pasti tak memberi minum pada anakku. Benar-benar tak punya hati. "Ma?" Suara Keysha membuyarkan lamunanku. Kuhampiri ia dan kupeluk juga ia. "Sayang, maafkan Mama ya, Nak? Maaf karena sudah meninggalkan Keysha sendirian sehingga harus dibawa oleh Mama Rosa."Keysha sesenggukan. Aku takut, mentalnya terkena karena kejadian kemarin. "Ma, Papa mana?" tanyanya. "Ada, Nak. Papa sebentar lagi datang." "Assalamu'alaikum," tepat aku selesai berbicara, Mas Andra datang dan langsung menghampiri. Adegan haru biru itu membuatku menitikkan air mata. Ya Allah, jangan lagi beri ujian kami lewat anak, karena rasanga sungguh sedih. --Setelah menginap
"Loh, kenapa Keysha ngomong kaya gitu? Siapa yang ajarin?" tanya Bapak. "Mama Rosa yang ngomong, Kek. Key takut. Kalau nanti Papa dan Mama beneran lebih sayang ke adek, gimana? Nanti Key nggak punya temen." "Astaghfirullah. Tak mungkin itu, Nak. Mama akan selalu sayang Kakak Keysha. Jangan dengerin omongan Mama Rosa karena itu tak benar," ucapku sambil duduk di sampingnya. "Beneran, Ma?" "Tentu. Mama sedih sekali karena Key ngomong kaya gitu. Bagi Mama dan Papa, Kakak Keysha tetap anak menggemaskan dan kesayangan. Begitu pun dengan calon adek nantinya. Dia juga akan jadi kesayangan. Karena Kakak dan Adek adalah sama. Sama-sama kesayangan Mama." Keysha mengangguk, lalu memelukku. Kuraba keningnya, suhu badan dia sepertinya sudah normal kembali. "Sayang, kita jalan-jalan, mau?" "Ke mana, Ma?" "Bagaimana kalau ke ancol?" Keysha terlonjak langsung, ia mengangguk, wajah cerianya sungguh membuat hatiku menghangat. Setelah memastikan Keysha mau, aku segera menghubungi Mas Andra, na
"Nining harus kasih pelajaran buat Mbak Rosa, Pak. Nggak rela rasanya dia sudah mengotori pikiran polos Keysha," ucapku. "Bapak antarkan, ya?" Aku melirik ke arah Keysha yang sudah tertidur di belakang, lalu mengangguk. Sepertinya menerima tawaran Bapak tidak lah buruk. Berulang kali aku mengecek ponsel, namun nyatanya belum ada pesan ataupun panggilan dari Mas Andra. Apakah meetingnya belum selesai? Ini sudah lebih dari satu jam. "Hati-hati ya, Pak." "Iya, kamu juga hati-hati, Nduk."Mobil yang dikendarai Bapak melaju meninggalkan aku yang sudah berdiri di depan kantor polisi. Membayangkan bagaimana wajah Mbak Rosa, membuat aku ingin sekali mencakarnya. "Aw!" Perutku mengencang. Astaghfirullah, sabar, Ning. Kontrol emosimu, jangan sampai kejadian yang lalu terulang kembali. Aku masuk dengan hati berdebar, karena baru kali ini aku masuk ke kantor polisi. Seorang polisi menghampiriku, mungkin karena melihatku yang tengah kebingungan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya. "
"Jangan bercanda, Mbak!""Untuk apa aku bercanda, Ning? Memang kenyataannya gitu. Kamu nggak bisa melihat, kalau Keysha begitu mirip Mas Andra?" Aku terdiam. Keysha memang mirip dengannya, oleh sebab itu aku tak meragukan bahwa dia bukan anak kandungnya. Tapi, bagaimana mungkin? "Mbak kira, aku akan percaya begitu saja? Tidak. Aku sudah paham bagaimana sifat asli Mbak Rosa, pun dengan lidah Mbak yang super tajam. Mbak pikir, aku akan termakan begitu saja? Maaf, aku sedang hamil. Jadi aku takkan melepaskan Mas Andra begitu saja. ""Cih, bucin sekali kamu, Ning. Apakah Mas Andra juga sebucin ini sama kamu?" "Te-tentu." "Bohong. Hahaha. Kamu tak seberuntung aku, Ning. Dulu, mau ke mana pun, aku pasti akan diantar oleh Mas Andra. Tidak seperti kamu gini, yang ke mana-mana sendirian. Bahkan aku nggak pernah disuruh masak." Aku tersenyum. "Itulah bedanya aku dengan Mbak Rosa. Aku memperlakukan Mas Andra sebagai suami, sementara Mbak Rosa memperlakukannya layaknya ajudan pribadi. Ya su
"Ibu nggak mau kamu terlalu capek, tak mengurusi anakmu. Kaya di sinetron itu, anakmu nanti malah lebih dekat dengan baby sitternya." Aku terkekeh, pikiran Ibu terlalu negative menanggapi wanita zaman sekarang yang lebih memilih menjadi wanita karir. "Bu, tidak semua orang seperti yang di sinetron. Do'akan saja Nining bisa mengurus Ibu, Bapak, Bu Mega, dan juga Mas Andra." "Aamiin, pasti itu.""Nining mana, Bu?" "Ada di kamarnya, sama Murni." Aku mengangguk, lalu pamit menuju kamar Keysha. Saat kubuka pintu, ternyata Murni dan Keysha tertidur dengan posisi buku di atas perut Murni. Pasti ia habis diminta membacakan dongeng untuk gadis kecil ini. Aku memperhatikan sekeliling, lalu mulai menurunkan koper. Sebaiknya aku mulai menata baju-baju Keysha dari sekarang agar besok langsung tancap gas saja. "Loh, Mbak?" "Eh? Mbak ganggu ya, Mur?" "Nggak, kok, Mbak. Aku cuma kaget aja. Kirain apa," ucapnya. Aku terkekeg, lalu mulai mengeluarkan baju milik Keysha, berikut dengan pakaian