Lima belas menit kemudian, terlihat jari-jari tangan Keysha bergerak. Mataku membeliak, gegas kupanggil dokter. "Jadi bagaimana, Dok?" tanyaku. "Pasien Keysha sudah cukup pulih, Bu. Setelahh dia sadar nanti, tolong beri ia minum karena cairan di tubuhnya berkurang banyak." Aku mengangguk, sudah pasti banyak, karena sedari kemarin sore Mbak Rosa pasti tak memberi minum pada anakku. Benar-benar tak punya hati. "Ma?" Suara Keysha membuyarkan lamunanku. Kuhampiri ia dan kupeluk juga ia. "Sayang, maafkan Mama ya, Nak? Maaf karena sudah meninggalkan Keysha sendirian sehingga harus dibawa oleh Mama Rosa."Keysha sesenggukan. Aku takut, mentalnya terkena karena kejadian kemarin. "Ma, Papa mana?" tanyanya. "Ada, Nak. Papa sebentar lagi datang." "Assalamu'alaikum," tepat aku selesai berbicara, Mas Andra datang dan langsung menghampiri. Adegan haru biru itu membuatku menitikkan air mata. Ya Allah, jangan lagi beri ujian kami lewat anak, karena rasanga sungguh sedih. --Setelah menginap
"Loh, kenapa Keysha ngomong kaya gitu? Siapa yang ajarin?" tanya Bapak. "Mama Rosa yang ngomong, Kek. Key takut. Kalau nanti Papa dan Mama beneran lebih sayang ke adek, gimana? Nanti Key nggak punya temen." "Astaghfirullah. Tak mungkin itu, Nak. Mama akan selalu sayang Kakak Keysha. Jangan dengerin omongan Mama Rosa karena itu tak benar," ucapku sambil duduk di sampingnya. "Beneran, Ma?" "Tentu. Mama sedih sekali karena Key ngomong kaya gitu. Bagi Mama dan Papa, Kakak Keysha tetap anak menggemaskan dan kesayangan. Begitu pun dengan calon adek nantinya. Dia juga akan jadi kesayangan. Karena Kakak dan Adek adalah sama. Sama-sama kesayangan Mama." Keysha mengangguk, lalu memelukku. Kuraba keningnya, suhu badan dia sepertinya sudah normal kembali. "Sayang, kita jalan-jalan, mau?" "Ke mana, Ma?" "Bagaimana kalau ke ancol?" Keysha terlonjak langsung, ia mengangguk, wajah cerianya sungguh membuat hatiku menghangat. Setelah memastikan Keysha mau, aku segera menghubungi Mas Andra, na
"Nining harus kasih pelajaran buat Mbak Rosa, Pak. Nggak rela rasanya dia sudah mengotori pikiran polos Keysha," ucapku. "Bapak antarkan, ya?" Aku melirik ke arah Keysha yang sudah tertidur di belakang, lalu mengangguk. Sepertinya menerima tawaran Bapak tidak lah buruk. Berulang kali aku mengecek ponsel, namun nyatanya belum ada pesan ataupun panggilan dari Mas Andra. Apakah meetingnya belum selesai? Ini sudah lebih dari satu jam. "Hati-hati ya, Pak." "Iya, kamu juga hati-hati, Nduk."Mobil yang dikendarai Bapak melaju meninggalkan aku yang sudah berdiri di depan kantor polisi. Membayangkan bagaimana wajah Mbak Rosa, membuat aku ingin sekali mencakarnya. "Aw!" Perutku mengencang. Astaghfirullah, sabar, Ning. Kontrol emosimu, jangan sampai kejadian yang lalu terulang kembali. Aku masuk dengan hati berdebar, karena baru kali ini aku masuk ke kantor polisi. Seorang polisi menghampiriku, mungkin karena melihatku yang tengah kebingungan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya. "
"Jangan bercanda, Mbak!""Untuk apa aku bercanda, Ning? Memang kenyataannya gitu. Kamu nggak bisa melihat, kalau Keysha begitu mirip Mas Andra?" Aku terdiam. Keysha memang mirip dengannya, oleh sebab itu aku tak meragukan bahwa dia bukan anak kandungnya. Tapi, bagaimana mungkin? "Mbak kira, aku akan percaya begitu saja? Tidak. Aku sudah paham bagaimana sifat asli Mbak Rosa, pun dengan lidah Mbak yang super tajam. Mbak pikir, aku akan termakan begitu saja? Maaf, aku sedang hamil. Jadi aku takkan melepaskan Mas Andra begitu saja. ""Cih, bucin sekali kamu, Ning. Apakah Mas Andra juga sebucin ini sama kamu?" "Te-tentu." "Bohong. Hahaha. Kamu tak seberuntung aku, Ning. Dulu, mau ke mana pun, aku pasti akan diantar oleh Mas Andra. Tidak seperti kamu gini, yang ke mana-mana sendirian. Bahkan aku nggak pernah disuruh masak." Aku tersenyum. "Itulah bedanya aku dengan Mbak Rosa. Aku memperlakukan Mas Andra sebagai suami, sementara Mbak Rosa memperlakukannya layaknya ajudan pribadi. Ya su
"Ibu nggak mau kamu terlalu capek, tak mengurusi anakmu. Kaya di sinetron itu, anakmu nanti malah lebih dekat dengan baby sitternya." Aku terkekeh, pikiran Ibu terlalu negative menanggapi wanita zaman sekarang yang lebih memilih menjadi wanita karir. "Bu, tidak semua orang seperti yang di sinetron. Do'akan saja Nining bisa mengurus Ibu, Bapak, Bu Mega, dan juga Mas Andra." "Aamiin, pasti itu.""Nining mana, Bu?" "Ada di kamarnya, sama Murni." Aku mengangguk, lalu pamit menuju kamar Keysha. Saat kubuka pintu, ternyata Murni dan Keysha tertidur dengan posisi buku di atas perut Murni. Pasti ia habis diminta membacakan dongeng untuk gadis kecil ini. Aku memperhatikan sekeliling, lalu mulai menurunkan koper. Sebaiknya aku mulai menata baju-baju Keysha dari sekarang agar besok langsung tancap gas saja. "Loh, Mbak?" "Eh? Mbak ganggu ya, Mur?" "Nggak, kok, Mbak. Aku cuma kaget aja. Kirain apa," ucapnya. Aku terkekeg, lalu mulai mengeluarkan baju milik Keysha, berikut dengan pakaian
"Ehem, maaf. Apa yang anda lakukan pada istri saya?" "Istri?" "Ya, dia adalah istri saya. Jelaskan, kenapa anda bisa begitu entengnya memeluk istri orang lain?""Saya-""Ndra, kamu ngapain di sini?" tanyaku. Seketika rasa nyeri akibat ucapan Mbak Rosa kemarin datang lagi. Membuatku ingin memberi sedikit pelajaran untuk Mas Andra."Lagi check-in aja, ngomong-ngomong orang tuamu mana?" tanyaku. Sepertinya Indra tahu kode yang kukirimkan lewat tatapan mata. "Ada, lagi di toilet," jawabku. "Ning, kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa dia?" "Jangan kepo, Mas." "Ning!" Sungguh aku terkejut mendengar bentakannya. Apakah aku salah? Aku hanya ingin mempunyai satu rahasia saja, dibandingkan dengan dia yang justru ternyata memiliki banyak rahasia di belakangku. "Apa, Mas?' "Mas nanya baik-baik loh," ketusnya. "Kenalin, ini Indra." "Mas tanya, siapa dia?" "Ning!" ucapnya, tatapan tajamnya membuatku sedikit takut. "Kenalin, dia Indra, anaknya Paman Saleh," ucapku mengenalkan. "Pama
"I-iya, Mas. Nining cuma minta penjelasan, bukan sedang menuduh Mas masih memendam perasaan sama almarhumah ibunta Keysha." Mas Andra mencium keningku. "I love you, Ning." Ya Allah, Maaak, jantungku rasanya mau melompat saat mendengar ungkapan cinta Mas Andra barusan. "Iya, Mas." "Iya apa?" "Ya, I love you too." Lalu malam itu, ditutup dengan ibadah tersyahdu. Jomblo harap bersabar. --Enam bulan kemudian. "Aw, Mas!" Mas Andra yang sedang memakai kemeja segera menghampiriku, raut wajahnya terlihat sangat panik. "Kenapa, Ning?" "Mas, sepertinya aku mau melahirkan!" "Apa?" Mas Andra langsung menggendong tubuhku dan mengangkatnya menuju mobil. Sementara Ibu dan Bapak menyusul mengunakan mobil lain karena hendak bersiap dulu. "Mas, cepat!" "Iya, Ning, sebentar."Biasanya aku akan memukul Mas Andra jika ngebut, tapi untuk kali ini, aku akan biarkan karena rasa nyeri di perut semakin terasa. "Sus, tolong!" Suster datang membawa kursi roda, setelah di dudukkan di sana, aku
Aku menikmati sekali hari-hariku menjadi seorang ibu bagi kedua bayi kembarku. Untuk sementara waktu, aku tinggal dulu di kampung, rumah Bapak dan Ibu. Mas Andra pun harus rela bolak-balik karena harus memegang perusahaan, dan aku memaklumi itu. Tapi, semua berat bagiku karena harus berjauhan dengan Keysha. Anak gadis itu terus menangis saat akan pulang dari sini kali terakhir. "Nduk, berjemur dulu dedek bayinya," ucap Ibu. Dengan dibantu Murni, aku pun berdiri. Kemarin setelah melahirkan anak pertama, aku langsung pingsan hingga akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan janinku yang kedua. Sehingga sekarang jalanku masih tertatih. Aku duduk di depan rumah, menggendong Ghanidan, sementara Ibu menggendong Shaniya. Alhamdulillah, aku diberi sepasang anak kembar yang beda jenis kelamin. Sehingga hidupku kian terasa lengkap. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikum salam." Aku memalingkan wajah saat melihat Paman Saleh datang. Bukan apa-apa, aku hanya kesa