"Ya sudah, aku pulang dulu, Mas," ucap Paman. "Iya, aku nggak janji, ya." "Loh, kok gitu? Tadi katanya Insya Allah," ucapnya tak terima, sementara aku dan Ibu hanya saling pandang. Tak tahu dengan permasalahannya. "Iya Insya Allah kan belum tentu jadi. Siapa tahu nanti ada acara mendadak," jawab Bapak. "Walah, Mas. Gaya banget acara-acaraan. Wong kamu ini paling mentok acaranya di sawah. Ini lagi, Nining. Udah nikah sama bos katanya, tapi masih aja di sini. Ngerepotin orang tua. Pikir dong, Ning, udah nikah itu harusnya nyenengin orang tua, bukannya nyusahin," ucapnya padaku. Lah, kok jadi ke aku? "Leh, yang sadar diri kalau ngomong! Anakku nyusahin apanya? Aku malah seneng ngerawat cucuku di sini, karena nanti juga mereka balik lagi ke kota. Kamu itu yang nyusahin, dulu habis nikah, kamu masih numpang sama orang tuamu, bahkan kebun bagian bapaknya Nining aja kamu embat. Mana? Katanya mau ngeganti?" ucap Ibu yang langsung membuat Paman Saleh terkejut. Bukan hanya dia saja yang
Seorang gadis kecil keluar setelah mobil parkir di sebelah rumah yang memang masih lahan kosong. Senyumku merekah seketika. Ya Allah, anak gadisku... "Mama!" Aku yang tengah menggendong Ghani langsung berjalan ke arahnya, Keysha memelukku erat. Ibu yang tadi masih di dalam, menyiapkan Shani mau dijemur pun akhirnya keluar. "Nenek!" "Eh, ya Allah, ada Keysha.""Key, kalau mau masuk ke rumah orang bilang apa?" ucap Mas Andra yang baru turun dari mobil, ia menyeret dua koper besar di belakangnya. Masya Allah suamiku, aku rindu. "Assalamu'alaikum, Mama, Nenek." "Wa'alaikum salam, Sayang." Keysha langsung masuk ke dalam bersama Ibu, sementara Mas Andra mengambil alih Shani dan duduk di sampingku yang tengah menggendong Ghani. "Kenapa, Ning?" tanyanya. "Aku rindu, Mas." Mas Andra mengacak rambutku. Duhai hati, tolong jangan berontak dulu, malu. "Sam, Mas pun rindu." Jika ada cermin, mungkin sudah dapat kulihat betapa meronanya pipi ini. Ghani menggeliat, seakan tahu jika papanya
Mbak Dita memajukan bibirnya, membuatku ingin sekali terkekeh. Ia memang perawan tua, tapi kalau sedang bicara tentang pernikahan, jodoh, dan juga hubungan seseorang, ia seakan lebih tahu. Makanya, tak jarang orang mengejeknya. "Emang iya apa, Ning?" tanya Mbak Dita akhrnya, hemm penasaran banget dia. "Mbak Dita pengen tahu?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan olehnya. "Rasanya ... Ah, mantap!" ucapku sambil mengacungkan jempol, lalu membayar belanjaan yang sudah kukumpulkan. "Kembaliannya lima belas ribu ya, Ning," ucap Mak Sowi. "Buat Mak aja. Duluan ya," ucapku. Aku pulang lebih dulu, karena takut jika dijadikan bahan ghibah. Padahal aku masih mendengar sisa-sisa obrolan mereka saat aku menjauh. "Nining semenjak nikah beda, ya? Belanjanya aja selalu seratus ribu lebih," ucap Bu Ria. "Iya lah, Bu, namanya ada suami. Mana suaminya kaya lagi. Tuh, Dit, makanya nikah sana. Biar kaya Nining." Aku hanya menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan mereka yang malah mengghibahi
Setelah Shaniya dan Ghanidan berumur lima bulan, aku kembali pulang ke Jakarta. Tepat saat Keysha juga masuk ke sekolah dasar. Mas Andra masih sering bolak-balik dari kota ke kampung. Tentu saja jika tengah weekend. "Sudah disiapkan semuanya, Nduk?" "Sudah, Bu. Nanti malam mungkin baru sampai ke sini.""Hati-hati di sana ya, Nduk. Jaga bener-bener Shaniya sama Ghanidan. Kalau perlu, kamu minta pindah kamar jadi di bawah saja." Aku tersenyum mendengar penuturan Ibu. Lalu mengamit lengannya dan bermanja sebentar. "Apa Ibu mau tinggal di sana saja?" tanyaku. "Eh, nanti Bapakmu sama Murni gimana? Ibu cuma kasih saran aja. Maaf kalau kamu tersinggung, Ning." "Nggak, Bu. Ngapain Nining tersinggung? Terima kasih banget Ibu sudah mau peduli sama Nining."Ibu mengangguk, lalu mengelus lembut kepalaku. Memang ya, kalau ada di dekat ibu kita itu, rasanya sangat nyaman. "Mbak, ini kacangnya cuma dapat lima kilo," ucap Murni begitu datang dari sawah. ."Nggak papa, Mur. Berapa semua?" "Ena
"Itu, loh, yang bekas rumahnya Pak Dato, sekarang ada yang menempati. Dia punya anak kecil seumuran Keysha, jadi anak itu betah." Aku mengangguk saja. "Jadi, temannya itu lebih berharga dari pada aku ya, Mas? Padahal aku udah kangen berat sama Keysha, loh." "Haha, kamu cemburu sama temannya Keysha, Ning? Bagaimana kalau nanti anak sulung kita besar dan punya pacar?" "Ish, Mas, beda konteks, lah!" "Wih, istriku sekarang lebih maju, ih. Tau konteks segala." Aku memutar bola mata jengah. Aku memang tahu, Mas. Masa tidak? Rugi lah aku sekolah di toktok, hahaha. -Pukul delapan pagi, kami berpamitan pada Bapak dan Ibu. Ada rasa berat sebenarnya, tapi bagaimana lgi ya, kan? "Ini nanti salah satunya gimana?" tanya Mas Andra. Ah, iya. Aku kebingungan juga karena tidak memikirkan hal ini. "Bu, mau nemenin dulu, nggak? Nanti minggu depan, Mas Andra anterin lagi," ucapku. "Duh, gimana, ya." "Kamu sih, Mas. Harusnya ajak Desi ke sini." "Aku dan Desi itu bukan mahromnya, Ning. Masa se
Seorang perempuan keluar dari kamar mandi yang terletak di samping ruang tv. Aku memandangnya sekejap, serasa tak asing. Tapi siapa? Lalu anak ini, kenapa dia juga memanggil Mas Andra dengan sebutan Papa? Sebenarnya, selama aku pergi, apa yang terjadi? "Halo, Mbak. Istrinya Pak Andra, ya?"Aku mengangguk, lalu mengulurkan tangan, menjawab uluran tangannya. "Saya Nesha, tetangga depan rumah. Maaf ya kalau Aura manggil Pak Andra Papa, dia keikut sama Keysha." "Oh, iya. Bu, Nining ke kamar dulu, yaa.""Key ikut." Aku tersenyum, lalu menyerahkan Shani pada Bik Minah, sementara Mas Andra menyerahkan Ghani pada Ibu. Kugandeng tangan Keysha untuk masuk ke dalam kamar, sangat rindu dengannya yang sudah hampir satu bulan tak bertemu. "Key, kenapa nggak ikut Papa pas kemarin ke kampung?" tanyaku. "Key terlalu banyak bolos, Ma. Makanya nggak dibolehin ikut sama Papa." Iya, sih. Meskipun Mas Andra mengunjungiku dan si kembar pas weekend, tapi tentu saja pas hari seninnya, Keysha pasti ta
"Eh?" Mas Andra menurunkan Aura setelah anak kecil itu berhasil mengambil es krim yang dimau. "Maaf, Mbak Nesha, saya dan istri mau istirahat." "Oh, begitu, ya. Ya sudah, Aura, kita pulang, yuk. Sepertinya Papa mau istirahat sama Keysha." Deg! Ada yang terbakar di dalam sini ketika mendengarnya memanggilkan Papa untuk Aura. "Maaf, Mbak Nesha. Tapi saya rasa, jangan biasakan Aura memanggil Papanya Keysha dengan sebutan Papa. Apalagi jika itu keluar dari mulut Mbak Nesha. Saya sebagai istri Mas Andra, merasa tidak ridho." Wajah Nesha memerah. Entah malu, atau dia merasa tersinggung. Tapi jikalau tersinggung, kenapa? Ia tak memiliki hak apapun. "Iya, permisi." Aku pun mengangguk, lalu membuka kulkas, saat berbalik, kulihat Mas Andra tengah menatapku tajam. "Kenapa, Mas?" "Kenap kamu kaya gitu tadi, Ning?" "Loh, Mas gak terima?" "Bukan, tapi ... Apa istriku ini sedang cemburu?" "Cih." Aku mendecih. "Mama, kenapa larang Aura buat manggil Papa dengan sebutan yang sama dengan
"Kok Mbak Nining ngomongnya gitu? Saya kan cuma minta tolong," ucapnya sambil menundukkan air matanya.Halah, paling akting!Aku menggeleng ke arah Mas Andra agar ia menolak permintaannya dan gegas berangkat ke kantor. Namun sepertinya suamiku itu tak peka, hingga akhirnya aku mendorong ia masuk dan menyuruhnya berangkat."Mbak Nining jahat banget sama kita. Padahal salah kita apa, Mbak? Cuma mau minta tolong nebeng sampe sekolahan.""Denger nih ya, Mbak. Kalau nebeng searah sih gapapa. Tapi ini kan lawan arah. Suami saya juga harus kerja. Saya nggak suka ya, kalau Mbak Nesha seperti ini.Jangan Mbak pikir bisa seenaknya masuk ke kehidupan kami. Ingat, Mbak ini janda, jadilah wanita yang bisa menjaga marwahnya. Saya minta maaf, tapi kita hanya bertetangga."Aku pun masuk ke dalam rumah dan meminta maaf sama Bu Mega karena telah menciptakan kegaduhan."Maafin Nining ya, Bu. Soalnya kesel sama dia.""Iya, nggak papa. Ibu juga gak suka sama dia. Kalau manggil Andra suka papa-papa, jadi k