Setelah Shaniya dan Ghanidan berumur lima bulan, aku kembali pulang ke Jakarta. Tepat saat Keysha juga masuk ke sekolah dasar. Mas Andra masih sering bolak-balik dari kota ke kampung. Tentu saja jika tengah weekend. "Sudah disiapkan semuanya, Nduk?" "Sudah, Bu. Nanti malam mungkin baru sampai ke sini.""Hati-hati di sana ya, Nduk. Jaga bener-bener Shaniya sama Ghanidan. Kalau perlu, kamu minta pindah kamar jadi di bawah saja." Aku tersenyum mendengar penuturan Ibu. Lalu mengamit lengannya dan bermanja sebentar. "Apa Ibu mau tinggal di sana saja?" tanyaku. "Eh, nanti Bapakmu sama Murni gimana? Ibu cuma kasih saran aja. Maaf kalau kamu tersinggung, Ning." "Nggak, Bu. Ngapain Nining tersinggung? Terima kasih banget Ibu sudah mau peduli sama Nining."Ibu mengangguk, lalu mengelus lembut kepalaku. Memang ya, kalau ada di dekat ibu kita itu, rasanya sangat nyaman. "Mbak, ini kacangnya cuma dapat lima kilo," ucap Murni begitu datang dari sawah. ."Nggak papa, Mur. Berapa semua?" "Ena
"Itu, loh, yang bekas rumahnya Pak Dato, sekarang ada yang menempati. Dia punya anak kecil seumuran Keysha, jadi anak itu betah." Aku mengangguk saja. "Jadi, temannya itu lebih berharga dari pada aku ya, Mas? Padahal aku udah kangen berat sama Keysha, loh." "Haha, kamu cemburu sama temannya Keysha, Ning? Bagaimana kalau nanti anak sulung kita besar dan punya pacar?" "Ish, Mas, beda konteks, lah!" "Wih, istriku sekarang lebih maju, ih. Tau konteks segala." Aku memutar bola mata jengah. Aku memang tahu, Mas. Masa tidak? Rugi lah aku sekolah di toktok, hahaha. -Pukul delapan pagi, kami berpamitan pada Bapak dan Ibu. Ada rasa berat sebenarnya, tapi bagaimana lgi ya, kan? "Ini nanti salah satunya gimana?" tanya Mas Andra. Ah, iya. Aku kebingungan juga karena tidak memikirkan hal ini. "Bu, mau nemenin dulu, nggak? Nanti minggu depan, Mas Andra anterin lagi," ucapku. "Duh, gimana, ya." "Kamu sih, Mas. Harusnya ajak Desi ke sini." "Aku dan Desi itu bukan mahromnya, Ning. Masa se
Seorang perempuan keluar dari kamar mandi yang terletak di samping ruang tv. Aku memandangnya sekejap, serasa tak asing. Tapi siapa? Lalu anak ini, kenapa dia juga memanggil Mas Andra dengan sebutan Papa? Sebenarnya, selama aku pergi, apa yang terjadi? "Halo, Mbak. Istrinya Pak Andra, ya?"Aku mengangguk, lalu mengulurkan tangan, menjawab uluran tangannya. "Saya Nesha, tetangga depan rumah. Maaf ya kalau Aura manggil Pak Andra Papa, dia keikut sama Keysha." "Oh, iya. Bu, Nining ke kamar dulu, yaa.""Key ikut." Aku tersenyum, lalu menyerahkan Shani pada Bik Minah, sementara Mas Andra menyerahkan Ghani pada Ibu. Kugandeng tangan Keysha untuk masuk ke dalam kamar, sangat rindu dengannya yang sudah hampir satu bulan tak bertemu. "Key, kenapa nggak ikut Papa pas kemarin ke kampung?" tanyaku. "Key terlalu banyak bolos, Ma. Makanya nggak dibolehin ikut sama Papa." Iya, sih. Meskipun Mas Andra mengunjungiku dan si kembar pas weekend, tapi tentu saja pas hari seninnya, Keysha pasti ta
"Eh?" Mas Andra menurunkan Aura setelah anak kecil itu berhasil mengambil es krim yang dimau. "Maaf, Mbak Nesha, saya dan istri mau istirahat." "Oh, begitu, ya. Ya sudah, Aura, kita pulang, yuk. Sepertinya Papa mau istirahat sama Keysha." Deg! Ada yang terbakar di dalam sini ketika mendengarnya memanggilkan Papa untuk Aura. "Maaf, Mbak Nesha. Tapi saya rasa, jangan biasakan Aura memanggil Papanya Keysha dengan sebutan Papa. Apalagi jika itu keluar dari mulut Mbak Nesha. Saya sebagai istri Mas Andra, merasa tidak ridho." Wajah Nesha memerah. Entah malu, atau dia merasa tersinggung. Tapi jikalau tersinggung, kenapa? Ia tak memiliki hak apapun. "Iya, permisi." Aku pun mengangguk, lalu membuka kulkas, saat berbalik, kulihat Mas Andra tengah menatapku tajam. "Kenapa, Mas?" "Kenap kamu kaya gitu tadi, Ning?" "Loh, Mas gak terima?" "Bukan, tapi ... Apa istriku ini sedang cemburu?" "Cih." Aku mendecih. "Mama, kenapa larang Aura buat manggil Papa dengan sebutan yang sama dengan
"Kok Mbak Nining ngomongnya gitu? Saya kan cuma minta tolong," ucapnya sambil menundukkan air matanya.Halah, paling akting!Aku menggeleng ke arah Mas Andra agar ia menolak permintaannya dan gegas berangkat ke kantor. Namun sepertinya suamiku itu tak peka, hingga akhirnya aku mendorong ia masuk dan menyuruhnya berangkat."Mbak Nining jahat banget sama kita. Padahal salah kita apa, Mbak? Cuma mau minta tolong nebeng sampe sekolahan.""Denger nih ya, Mbak. Kalau nebeng searah sih gapapa. Tapi ini kan lawan arah. Suami saya juga harus kerja. Saya nggak suka ya, kalau Mbak Nesha seperti ini.Jangan Mbak pikir bisa seenaknya masuk ke kehidupan kami. Ingat, Mbak ini janda, jadilah wanita yang bisa menjaga marwahnya. Saya minta maaf, tapi kita hanya bertetangga."Aku pun masuk ke dalam rumah dan meminta maaf sama Bu Mega karena telah menciptakan kegaduhan."Maafin Nining ya, Bu. Soalnya kesel sama dia.""Iya, nggak papa. Ibu juga gak suka sama dia. Kalau manggil Andra suka papa-papa, jadi k
"Nanti sore Ibu sama Murni pulang, ya? Udah dua hari di sini, kasihan Bapak ditinggal sendirian di rumah."Aku mengangguk, meskipun sejujurnya sangat ingin Ibu dan Bapak tinggal di kota. Tapi mau bagaimana lagi?"Biar di antar sopir saja nanti ya, Bu," ucapku."Nggak perlu, Ning. Biar Ibu sama Murni naik bis saja," ucap Ibu."Ih kok naik bis? Nggak, Bu, diantar supir aja. Biar nanti gampang kalau mau buang air kecilnya," ucapku.Akhirnya Ibu mengangguk, aku pun membuka ponsel dan mengetik pesan untuk Mas Andra. Mumpung dia sedang online.[Mas, Ibu sama Murni mau pulang nanti sore. Bisakah pakai Pak Tusdi untuk mengantarnya?][Kok cepet banget, Ning?][Iya, Mas, katanya nggak enak sama Bapak. Mas, boleh nggak kalau Pak Tusdi mengantarmya?][Boleh, Sayang.]Aku tersenyum, bahagia karena memiliki suami baik seperti dirinya. Lelaki tampan dengan sejuta pesona, hihi.[Makasih, Mas.][Sama-sama.]--"Hati-hati di jalan ya, Bu," ucapku."Iya, Nduk, kamu jaga kesehatan di sini, ya."Aku menga
Aku berjalan mendekati mereka. Mas Andra terlihat salah tingkah saat mendapati aku tepat berada di depannya. "Kok bisa bareng?" tanyaku. "Tadi ketemu di jalan, Mbak," jawab Mbak Nesha. "Nggak nanya ke situ. Kenapa, Mas?" "Maaf, Ning. Tadi, aku keluar dari minimarket depan sana, pas banget ada Mbak Nesha di dekat mobil. Jadi Mas ajak aja sekalian," ucap Mas Andra dengan wajah yang bersalah. Aku menghela napas panjang, lalu menatap tajam pada janda satu anak centil bin ganjen itu. Bisa-bisanya, ia sengaja menunggu Mas Andra di minimarket? "Aku tahu, Mbak. Suamiku ini ganteng, kaya, baik. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menggodanya, ya! Nggak tahu malu banget. Bisa-bisanya di depan mata istri sah, kamu dengan santainya keluar dari mobil pria yang bukan mahram kamu!" ucapku padanya. Mbak Nesha malah asyik memainkan kuku. Lama-lama, jiwa kalem dalam tubuhku menghilang jika dihadapkan dengan wanita bak ular betina macam dia. "Denger gak lo, L*nte!" teriakku sambil menarik ram
Aku dan Keysha menoleh, ternyata ada Aura yang tengah berdiri di pintu. Aku melambaikan tangan, menyuruhnya masuk. Meski aku kesal dengan ibunya, tapi tidak dengan anaknya. "Key mau jalan-jalan, ya?" tanya Aura. "Iya, Ra," jawab Keysha. "Aku juga pengen jalan-jalan.""Ajak Mamamu, Sayang," jawabku, namun ia menggeleng. "Mana mau, Tante? Mama selalu marah kalau Aura merengek."Aku terdiam. Ternyata, sikap seolah sayang pada anak itu, ternyata hanya kebohongan semata? Padahal, jika di rumah sini, Mbak Nesha selalu bersikap baik pada Aura, nyatanya itu untuk menarik perhatian Mas Andra saja rupanya. "Sekarang, Mama lagi apa?" tanyaku. "Mama lagi main hape, Tante. Aura lapar." "Loh, ini sudah jam sepuluh, Aura belum makan?" Aura menggeleng. Aku menjadi iba. Apa saja yang dilakukan Mbak Nesha hingga menelantarkan anak ini? Segera kuajak Aura untuk makan, lalu menyuapinya. Anak itu makan dengan lahap. Aura setahun lebih tua dari Keysha, namun badannya amat lah kurus dan tak terawat