"Key mau ke bawah dulu ya, Ma." "Key sini saja. Nanti kita ke bawah bareng. Mama mau ke kamar mandi dulu." Anak itu mengangguk. Dorongan untuk buang air besar kian terasa karena seharian ini memang belum membuang hajat. Saat keluar, tak kudapati Keysha di atas ranjang. Hemm, bocah itu memang selalu saja kepo. Dengan pelan, aku menuruni tangga. Terlihat Ibu tengah terduduk lemas, sementara Bik Minah di sampingnya. Aku mendekat pada Desi dan Sinta yang bersembunyi. Selepas mengantarku, Mas Andra pamit mau ke kantor sebentar. Mengingat jam menunjukkan pukul tiga, masih ada sisa satu jam sebelum kantor tutup. "Kalian ngapain di sini?" tanyaku saat sampai di bawah. "Eh, astaghfirullah. Ibu, ngagetin aja!" ucap Sinta sambil mengelus dadanya. Aku nyengir, rasa bersalah menyergap. Harusnya aku tak mengejutkan mereka. Tapi penasaran juga, kenapa Ibu sampai begitu? "Ada apa, Des?" "A-anu, Bu...""Anu apa?" Aku semakin penasaran. "Keysha mana?" tanyaku lagi karena mereka terlihat gugup
"Sebenarnya, tadi Bu Rosa datang baik-baik ingin menjemput Keysha. Minta izin juga untuk membawanya menginap sampai tiga hari. Tapi Nyonya melarang, Ning. Bu Rosa sepertinya kepancing, sampai ribut. Nggak lama kemudian Keysha datang. Lelaki yang bersama Bu Rosa langsung membawa Keysha pergi ke mobilnya. Lalu Bu Rosa ngikutin dari belakang. Nyonya sudah mengejar keluar, tapi kan dari fisik pun sudah kalah, Ning. Mereka masih muda, lari dari sini ke luar itu mudah. Sementara Bibik tadi lagi nyuci piring. Tahu sendiri kalau asisten rumah tangga pantang untuk ikut campur keluarganya," jelas Bik Minah. "Laki-laki? Mbak Rosa datang ke sini kapan memangnya, Bik?" "Tepat saat kamu naik, Ning." "Tapi, Bik, rasanya berlebihan sekali. Apalagi kan Mbak Rosa adalah ibu kandung dari Keysha. Masa iya, mau nyakitin gitu aja?" Bik Minah hanya menunduk, seolah ada yang ingin disampaikan, namun urung. "Ada apa, Bik?" "Nggak apa-apa, Ning. Ya sudah, Bibik sama yang lain ke belakang dulu. Tadi Pak
"A-apa?" "Bik, bawa Nining ke kamar. Saya mau ke luar lagi. Pastikan dia nggak ke mana-mana." "Baik, tuan.""Mas!" "Ayo, Ning, kita ke kamar." "Tapi Bik." Bik Minah tak mengindahkan perkataanku, dia tetap menarik tubuh ini ke atas. Aku pun menurutinya, mungkin nanti aku bisa menanyakan hal ini pada Bik Minah di kamar. Saat sampai kamar, segera kucekal tangan Bik Minah saat hendak meninggalkanku, meskipun berat, akhirnya ia mau duduk juga. "Bik, Nining mau nanya," ucapku. "Tanyalah Ning," ucap Bik Minah. "Sebenarnya, apa maksud Mas Andra lagi? Keysha, bukan anak Mbak Rosa?" Bik Minah menghela napas. Ia seperti melepas beban yang seakan berat di pundaknya. "Bibik takut nanti dimarahi sama Pak Andra dan Nyonya, Ning." "Nining janji, nggak akan kasih tahu Ibu, Bik. Janji!" ucapku sungguh-sungguh. Meskipun ragu, akhirnya Bik Minah mulai membuka mulutnya. Menceritakan kembali saat kedatangan Keysha ke sini. "Jadi, Keysha itu bukan anak Pak Andra maupun anak Bu Rosa. Dulu, Bu R
Sampai sore hari, Mas Andra belum juga pulang. Aku ingin menghubunginya terlebih dahulu, namun takut jika nanti aku dimarahi. Apalagi wajah Mas Andra tadi sangat geram mengetahui Keysha dibawa oleh Mbak Rosa. Aku duduk di sofa, menanti kedatangan suami yang belum juga kelihatan mobilnya. Ibu sedari tadi di kamar, bahkan terdengar juga isak tangisnya sesekali jika aku melewati kamarnya. Wajar kurasa, karena Keysha merupakan kesayangan mereka. Mengingat cucu satu-satunya keluarga ini, dilihat dari pandangan orang lain. "Bu, tadi Bapak menelepon Nyonya, saya dengernya kalau Keysha belum juga ditemukan." Aku menghela napas, makin pelik saja. Sudah seharian ini dicari, namun tak kunjung ketemu. "Bapak juga sudah cari ke rumah saudara Bu Rosa, tapi tak ada tanda-tanda Bu Rosa membawa Keysha ke sana." "Iya, makasih ya, Des." "Iya, Bu." Kupijit pelipis, terdengar suara mobil masuk. Aku langsung berdiri dan mengeceknya. Namun harus menelan pil kecewa karena ternyata yang datang adalah
Tubuhku limbung ke belakang, beruntung sedang berdiri di depan sofa. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil masuk. Terdengar dari suaranya, seperti suara mobil Mas Andra. Hendak bangun, namun tubuhku terasa lemas. Hingga Mas Andra datang, ia menatapku sebentar, lalu menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Pandangannya menerawang, aku tahu, pikirannya tentu tengah berat. Apalagi ini menyangkut anak yang sudah dirawatnya dari bayi. Tentu sayangnya sudah seperti anak sendiri. "Ning," panggilnya. Aku segera menoleh. "Ya, Mas?" "Mas sudah menemukan keberadaan Rosa." Mataku membulat seketika, benarkah itu? Tapi, di mana Keysha? "Keysha tak ada bersama Rosa. Aku tadi berhasil menghubungi Rosa. Ia ingin bertemu, dengan dalih akan membawa Keysha. Namun ternyata, saat sampai tak ada Keysha di sana." Aku menatapnya nanar, berarti Keysha belum bertemu. Hatiku lagi-lagi mencelos. Ini sudah hampir magrib, di mana anak itu? Biasanya di jam segini, aku dan dia sedang bermain bersama."Mas, maafkan ak
"A-apa maksudmu?" "Aku sudah tahu, Mas. Kenapa kamu menyembunyikan hal semacam ini dariku?" "Maaf, Ning." "Jadi?" "Aku harus bagaimana?""Terserah Mas saja. Tapi untuk melepaskan, Nining nggak akan mau," jawabku tegas. Tanpa diduga, Mas Andra memelukku. Ia mengusap pelan rambutku, membuat hatiku seketika menghangat, pun dengan kedua mataku. "Loh, kok nangis?" "Aku pikir, Mas akan meninggalkanku. Apalagi tadi, Mas garang banget," ucapku. "Maaf ya, Ning. Mas hanya panik saja tadi." "Andra, gimana Keysha?" Suara Ibu tiba-tiba mengagetkanku. "Tadi Andra ketemu Rosa, Bu. Tapi nggak bawa Keysha." "Sebaiknya kita laporkan polisi aja, Ndra." "Tapi kan belum 24 jam, Bu. Apalagi, bagaimana respon polisi nanti saat tahu bahwa yang menculik Keysha adalah ibunya sendiri?" "Ya, kita bisa bawa dokumen-" Seketika Ibu melirik ke arahku, lalu melirik lagi ke arah Mas Andra. "Nining sudah tahu, Bu," ucap Mas Andra. "Oh. Tinggal bawa dokumen adopsi aja. Polisi pasti akan gerak cepat." "T
Dengan cepat, Mas Andra mengemudi mobil hingga akhirnya sampai di rumah sakit. Tubuhku bergetar seiring dengan langkah kaki yang terasa amat berat. Allah, selamatkan Keysha. Mas Andra memelukku ketika Keysha diperiksa. Sungguh, andai bisa ditukar, lebih baik aku yang merasakannya daripada anak sekecil itu yang merasakan. "Wali anak Keysha?" "Saya, Dok." Mas Andra berdiri, buru-buru aku pun ikut berdiri. Namun sayang, cekalan di tangan Ibu langsung membuatku duduk kembali. Aku menunduk, perih menjalar. "Nak, apakah nanti Oma akan menyayangimu seperti beliau menyayangi Kak Keysha?" tanyaku bermonolog. Aku menggeleng. Tak seharusnya aku cemburu begini nantinya. Kasih sayang orang tua itu sama porsinya, hanya saja bukankah selalu ada yang lebih menonjol. Ah, pikiran macam apa ini? Waktu seakan lambat berputar. Mas Andra dan Ibu belum juga kembali. Aku melirik ke arah ranjang Keysha. Anak kecil itu terbaring lemah tak berdaya. Jarum infus sudah menancap di tangannya. "Ning." Suara
Lima belas menit kemudian, terlihat jari-jari tangan Keysha bergerak. Mataku membeliak, gegas kupanggil dokter. "Jadi bagaimana, Dok?" tanyaku. "Pasien Keysha sudah cukup pulih, Bu. Setelahh dia sadar nanti, tolong beri ia minum karena cairan di tubuhnya berkurang banyak." Aku mengangguk, sudah pasti banyak, karena sedari kemarin sore Mbak Rosa pasti tak memberi minum pada anakku. Benar-benar tak punya hati. "Ma?" Suara Keysha membuyarkan lamunanku. Kuhampiri ia dan kupeluk juga ia. "Sayang, maafkan Mama ya, Nak? Maaf karena sudah meninggalkan Keysha sendirian sehingga harus dibawa oleh Mama Rosa."Keysha sesenggukan. Aku takut, mentalnya terkena karena kejadian kemarin. "Ma, Papa mana?" tanyanya. "Ada, Nak. Papa sebentar lagi datang." "Assalamu'alaikum," tepat aku selesai berbicara, Mas Andra datang dan langsung menghampiri. Adegan haru biru itu membuatku menitikkan air mata. Ya Allah, jangan lagi beri ujian kami lewat anak, karena rasanga sungguh sedih. --Setelah menginap