Rania tersenyum kecil, ketika menatap sebuah kotak merah kecil sudah bisa di duga jika isi kotak itu adalah perhiasan, karena penasaran Rania membuka kotak itu, sebuah cicin emas, di tengahnya ada mata kecil, terlihat berkilau, seperti berlian.
“Apakah ini untukku, sebagai hadiah anniversary yang ketujuh belas,” gumam Rania dengan mata berbinar.
Satu bulan lagi tepatnya, di tanggal 1 Januari adalah ulang tahun pernikahannya, dan pasti suami Rania memberikan kado yang teristimewa untuknya. Rania menyimpannya kembali di bawah tumpukan kemeja suaminya, tempat dimana ia tak sengaja menemukan kotak perhiasan itu.
“Mah!” panggil seorang gadis, lalu terdengar langkah menuju kamar.
“Iya sayang ada apa?”
“Sore ini Safa, akan pergi Mah, nanti pulangnya bareng Papah,“ ucap gadis yang berusia enam belas tahun itu, dengan pakaian modisnya.
“Iya, hati-hati,” balas Rania sambil mengulurkan tangan, dan Safa pun mencium tangan mamahnya dengan takzim, Safa melangkah meninggalkan rumah minimalis berlantai dua yang terletak di tengah perumahan.
Tiba-tiba langkah Safa berhenti dan menoleh ke arah Rania, dengan tatapan nanar.
“Ada apa?” tanya Rania.
“Mamah harus mengubah penampilan Mamah, cobalah untuk menjadi wanita yang mengikuti perkembangan jaman, jangan kalah dengan wanita di luar sana Mah.”
Ucapan Safa, membuat Rania terkejut. ”Apa ada yang salah dengan penampilan Mamah?”
Rania memindai tubuhnya sendiri, yang saat itu mengenakan daster lebar di bawah lutut.
“Ahhh sudahlah, Mamah bisa menilai sendiri penampilan Mamah,” balas Safa, lalu gadis belia itu melangkah cepat menuju pintu luar, dan menaiki ojek online yang suduh menunggu di luar.
Setelah kepergian Safa, Rania berdiri berjalan kearah cermin yang tertempel didindinh kamarnya, ia berdiri didepan cermin dan menatap pantulan tubuhnya, selama ini jika di dalam rumah, daster satu-satunya pakaian yang ternyaman, di sela kesibukannya mengurus rumah.
“Apa ada yang salah dengan penampilanku, di rumah ‘kan, semua ibu-ibu rumah tangga juga berpakaian seperti ini,” gerutu Rania mengedikan bahu.
Malam beranjak naik, wanita yang saat ini berusia 37 tahun itu, menunggu duduk diruang tengah, yang menyatu dengan ruang makan. Makan malam telah siap, tapi sang suami dan putrinya tak kunjung datang, ponsel mereka pun kompak tidak aktif, sementara perutnya sudah keroncongan minta di isi. Waktu menunjukkan jam sembilan malam, Rania mulai cemas, ia takut terjadi apa-apa dengan putri dan suaminya itu, sementara ponsel juga tidak aktif. Akhirnya ia menghubungi sang mertua. Tapi baru saja akan menekan nomor ponsel, tiba-tiba suara mobil sudah ada di depan pintu pagar, Rania bernapas lega, bergegas ia melangkah cepat untuk membuka pagar.
Mobil masuk dan berhenti, Safa keluar dari mobil setelahnya Faiz suami Rania turun.
“Kenapa sampai malam Safa, terus kenapa ponsel kalian tidak aktif, bikin Mamah khawatir,” cerca Rania.
“Namanya saja acara ulang tahun, ya pasti lama ,” balas Safa sambil berlalu.
Rania hanya bisa menggelengkan kepala, melihat tingkah anak gadisnya beranjak dewasa, lebih sering berkumpul dengan teman-temannya daripada di rumah.
“Mas Faiz, makan dulu, pasti capek ‘kan nungguin Safa,” tawar Rania pada sang suami yang berjalan masuk ke dalam rumah.
“Ran, aku sudah makan tadi, aku mau langsung tidur saja, Safa juga pasti sudah kenyang, tadi di pesta ulang tahun kami sudah makan banyak,” jawab Faiz datar.
“Lho, jadi Mas Faiz ikut makan-makan disana?”
“Iya sekedar makan, ditawari, masak nggak mau.”
“Ya sudah, bersih-bersih dan istirahat.”
Rania meraih tas kerja suaminya, lau mengikuti langkah sang suami menuju kamar, tercium aroma mawar khas sekali dengan parfum seorang wanita. Rania membuang jauh pikiran yang buruk yang tiba-tiba menghampirinya.
Ia menghela napas pelan dan menghembuskannya lalu pergi ke ruang makan, dan sendiri memakan menu makan malam yang sudah disiapkannya sedari sore.
Malam semakin larut, Rania terhenti di kamar Safa, karena terlihat pintu sedikit terbuka, dan lampu kamar menyala, Rania membuka pintu.
“Safa, kamu belum tidur?”
“Belum Mah, Safa mematikan ponselnya, ketika tahu mamahnya masuk ke dalam kamar.
“Tadi kamu pergi ke ulang tahun siapa, dan Papahmu juga ikut makan disana,?
“Iya Mah, Safa di undang oleh Tante Kinan, Tantenya Nayla, teman sekelas Safa.”“Ooo begitu, ya sudah tidur, sudah malam,” suruh Rania.
“Mah, Tante Kinan, itu sangat cantik, pakaian selalu modis, ia juga memiliki butik dan salon, hebatkan ya Ma. Safa sering datang kesana, dan gratis mendapat perawatan disana, padahal Tante Kinan seorang janda tapi sangat mandiri ,” seloroh Safa.
“Janda”
“Iya, Tante Kinan bercerai dengan suaminya dua tahun yang lalu,” timpal Safa sambil memegangi tas barunya.
“oh.”
Lalu Rania beranjak keluar dan menutup pintu kembali, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, terlihat Faiz sang suami sudah tertidur. Rania menatap sejenak, wajah tampan suaminya, meskipun usianya sudah 40 tahun justru suaminya semakin terlihat gagah dan tampan, tubuh tinggi dan tegapnya juga badan yang berotot, didapatnya, karena sering berolah raga, beda dengan Rania, usia Rania terpaut empat tahun lebih muda dengan sang suami, tapi terlihat lebih tua, karena Rania tidak perduli dengan penampilannya.
Tapi perkataan Safa tadi pagi membuatnya terusik. Lalu Rania berjalan di depan cermin, mengerai rambut hitam sebahu dan menatap tubuhnya.
Apakah penampilanku begitu membosankan hingga putriku sendiri mencibirnya, tapi Mas Faiz tidak pernah mengeluhkan tentang penampilanku,” batin Rania.
Hari berganti, Rania sibuk membuat kue tart, hari ini adalah ulang tahun pernikahannya, ia akan memberi kejutan untuk sang suami, selama ini memang hari spesial itu berlalu begitu saja, tapi khusus tahun ini adalah spesial, Anniversery sweet seven teen, sungguh suatu kebanggaan bagi sepasang suami istri telah melewati tujuh belas tahun pernikahan. Dengan berbagai ujian, suka dan duka terlewati, bagi Rania mendampingi Faiz selama tujuh belas tahun adalah suatu kebahagian.
Tangan Rania membuat ceke, cokelat berbentuk hati tentu saja dengan penuh cinta ia membuatnya, sesekali senyum menghiasi bibirnya merah muda alami tanpa balutan lisptik.
Sebuah chat masuk di ponsel Rania.
{Ran hari ini aku belum bisa pulang, tugas luar kota diperpanjang dua hari lagi}
Wajah Rania berubah kecewa, ia menatap cake yang sudah jadi, ia mencoba menghubungi Faiz, tapi ponsel tidak aktif.
“Yah, dua hari cakenya keburu basi,” gumam Rania sedih. Di saat hatinya galau tiba-tiba sapaan Safa mengejutkannya.
“Mah, Safa pergi dulu,” pamit gadis itu memakai gaun warna pink lembut dengan tas kecil dijinjingnya.
“Kamu mau kemana? Ke pesta lagi?” cerca Rania.
“Iya Mah, ke pesta pernikahan,” sahut Safa.
“Siapa yang menikah?”
“Tante Kinan.”
“Oh syukurlah, Tante Kinan sudah mendapatkan jodoh lagi.”
Safa mencium tangan Rania, dan bergegas pergi, di luar sudah ada taksi online yang menunggunya.
Rania berjalan ke lantai atas, tiba-tiba ia melihat ponsel Safa, yang tertinggal di meja kamar, dengan cepat meraihnya, dan terdengar bunyi panggilan ponsel, Rania menyalakannya.
Belum sempat menyapanya suara di seberang ponsel, terlebih dahulu terdengar.
“Safa, kamu sampai dimana, cepat sedikit, Papahmu sudah menunggu, cepat ya.”
Tut...tut, sambungan ponsel terputus. Rania menatap dan meneliti kembali siapa yang barusan menelpon, nama Nayla, keponakan dari Kinan yang katanya akan menikah hari ini.
“Tapi kenapa Mas Faiz menunggu disana, bukankah ia barusan bilang masih di luar kota ?” tanya Rania pada dirinya sendiri.
Sejenak Rania terdiam, berpikir dan kemudian meletakan ponsel Safa, tiba-tiba terdengar langkah kaki, seseorang menaiki tangga, Rania segera masuk ke kamarnya, dan sejenak berada di belakang pintu, lalu ia mendengar Safa tengah berbicara di ponsel. “Hallo, alamatnya di Green Kafe jalan Pahlawan ‘kan?” “Oke, otw kesana.” Begitulah yang di dengar Rania, Safa balik ke rumah karena menyadari ponselnya ketinggalan. Rania begitu penasaran dengan perkataan Safa, merasa janggal tentang chat suaminya, dan telepon dari Nayla untuk Safa putrinya. “Apa mereka akan memberikan kejutan ulang tahun pernikahanku, seperti yang banyak terjadi, tapi mengapa belum ada chat atau telepon dari Mas Faiz, ada apa sih sebenarnya, gumam Rania, sambil mondar-mandir di dalam kamarnya. Rania teringat dengan cicin yang ada ditumpukan baju suaminya, lalu ia berjalan ke arah lemari, membukanya dan mencari kotak itu, tapi tak didapatinya kotak kecil merah yang berisi cicin. Menit berlalu, Rania sudah kehilanga
“Oh jadi Mas Faiz perduli pada reputasi, kenapa berani bermain api, apa karena selama ini aku menjadi istri penurut. Pengabdianku, mendampingimu dari titik nol, hingga sekarang kamu menjadi pegawai dengan jabatan tinggi di instansi pemerintah membuatmu khilaf, melupakan wanita yang pertama kamu ajak merangkak dengan segala duka ini,” ucap Rania, air mata luruh seketika.“Ran, maafkan aku, tapi aku tak berniat menceraikanmu atau menyingkirkanmu, dari hidupku, cukup kamu restui pernikahanku dengan Kinan, semua fasilitas dan uang nafkah batin dan lahir tidak akan berkurang sedikitpun, aku janji padamu,” suara Faiz terdengar memohon.Rania tak bergeming, ia terisak menangis sambil menutup wajahnya.“Kamu dengar ‘kan Ran, kedudukanmu di masyarakat tetap sama, istri dari Faiz.” Sela Larasati dengan pelan.”Safa juga bisa hidup tenang tanpa di ganggu dengan perceraian orang tuanya,” tambahnya lagi.Rania sudah kehabisan kata-kata, dadanya sesak, ketika orang di sekelilingnya justru tidak b
Perkenalan antara Dinda dan pemuda tampan yang berprofesi sebagai dokter pun dilaksanaakan, secara resmi pria yang mengenakan kemeja batik itu, meminang Dinda, dan keluarga Dinda pun menerima dengan rasa bahagia, dan penuh kebanggaan.Rania hanya mengelengkan kepalanya, ia sungguh tak menyangka jika adik iparnya itu bisa bermuka dua, baru kemarin malam menghabiskan malam dengan seorang pria dan saat ini menerima pinangan dari pria lain.“Sungguh menjijikan,” gerutu pelan Rania.Kedua keluarga menentukan tanggal pertunangan, dan disepakati satu minggu lagi pertunangan akan di adakan. Lalu kedua keluarga melanjutkan makan malam.“Saya sangat senang menjalin silaturahmi dengan kelurga Bu Larasati,” ucap bariton pria dengan tubuh tegapnya.”Saya satu–satunya kakak Bastian, jadi semua urusan pernikahan ini saya yang akan bertangung jawab, kedua orang tua kami telah meninggal,” lanjutnya lagi dengan nada sopan.“Lalu istri Pak Fathan, tidak ikut?”“Istri saya telah meninggal satu tahun yang
Rania berjalan menyusuri lorong jalan, ia mencari sebuah alamat, akhirnya bernapas lega ketika tempat yang dicarinya ada di depannya.’Butik Kinan’ tertampang tulisan yang besar dan elegan di depan pintu, dengan menghembuskan napas pelan, Rania berjalan memasuki pintu kaca, seorang karyawan menyapanya dengan sangat sopan.Rania tersenyum, lalu berjalan ke arah baju-baju yang gantung rapi, lalu memilih asal baju, dan menuju ruang pas, tapi Rania tidak mencoba baju yang dipilihnya melainkan meletakan sebuah kotak, yang tutupnya dibuka sedikit.Setelah itu keluar dari ruang pas.“Bagaimana Kak, apakah cocok?” tanya karyawan.“Maaf, gaun ini kurang pas di badan saya,” balas Rania.Rania lalu berjalan keluar pintu, tepat di depan pintu keluar ia berpapasan dengan Kinan.“Kinan..” sapa sinis Rania.“Rania, apa yang kamu lakukan disini, jangan harap kamu bisa membeli gaun di butikku ini,” balas Kinan.“Aku memang tidak bermaksud membeli baju di butikmu. Aku hanya ingin melihat bagaimana bi
“Aku sudah tak tahan dengan sikap Rania yang selalu memberontak Bu, aku ingin sekali memenuhi keinginannya untuk bercerai,” tegas Faiz pada sang ibu, yang saat itu berkujung ke rumahnya.“Memangnya apa yang Rania lakukan?” Larasati menatap ke arah putra sulungnya dengan dahi mengerut.“Rania, membuat onar di butik Kinan, ia menaruh kecoa di butiknya, ibu bisa bayangkan bagaimana pengunjung butik pada berlarian keluar, dan yang lebih parahnya, sudah viral di media sosial, itu berdampak buruk bagi butik,” jelas Faiz, dengan menunjukkan raut muka kesal.“Kurang ajar sekali Rania, Ibu juga kesal mendengar hal itu, tapi kita harus bisa menahannya, sampai Dinda dan Bastian menikah, kita harus terlihat seperti keluarga harmonis di depan keluarga Bastian, mereka benar–benar keluarga terpandang dan terhormat.”Tanpa sepengetahuan Faiz dan Larasati, perkataan ibu dan anak itu di dengar oleh Rania, yang sedari tadi sudah berada di teras depan, sengaja mendengarkan pembicaraan mereka.“Seandaiany
Acara pertunangan Dinda dan Bastian, berlangsung, tenda warna putih dan unggu sudah terpasang rapi di sepanjang jalan depan rumah Larasati, menu sajian untuk para tamu pun sudah di tata rapi, Rania berdiri di salah satu sudut rumah, mengawasi para paramusaji yang siap melayani para tamu. Terlihat Dinda mengenakan kebaya modern, gadis itu tampak semringah ketika para tamu memuji kecantikannya.“Wah, tak sia-sia kecantikanmu bisa memikat seorang Dokter, hidupmu bakalan terjamin, menjadi istri seorang dokter,” seloroh seorang ibu.“Iya, Bu Larasati juga beruntung berbesan dengan keluarga terpandang, rumah tangga Faiz dan Rania, juga harmonis, lengkap sudah ya Bu kebahagiannya,” timpal yang lainnya.“Iya, senang dan bangga pada kedua anakku, mereka bisa mengangkat derajat orang tua,” sahut Larasati dengan binar kebahagiaan.Mendengar hal itu Rania hanya mendengus pelan, hingga panggilan ibu mertuanya membuatnya melangkah me
Rania semakin meradang, tapi ia memilih tetap diam, biarlah adik iparnya itu semakin banyak membuat kesalahan hingga tiba waktunya nanti semua kesalahan–kesalahannya terbongkar di saat yang tepat. Rania diam-diam mengambil gambar kebersamaan Dinda dengan pacar gelapnya. Acara pertunangan telah usai, Rania masih bungkam akan kebusukan keluarga sang suami dan adik iparnya. Hari menjelang malam, Rania masih sibuk mencari tempat yang akan digunakan untuk tempat tinggalnya dan sekaligus usahanya dengan uang dari hasil menjual rumah peninggalan orang tuanya, wanita berparas cantik alami itu berdiri di depan ruko, letak ruko dua lantai itu sangat strategis, berada di kawasan padat penduduk, di sekitaran ruko juga terdapat perkantoran dan gedung apartemen, ini sangat cocok untuk usaha kuliner yang akan dijalankan oleh Rania. “Bu Rania,” suara bariton seorang pria membuyarkan lamunan Rania. Seketika wanita itu menoleh ke arah suara. “Dokter Fathan.” “Bu Rania sedang apa disini?” “Saya se
“Mamah.”“Ini masih jam sekolah ‘kan kenapa kamu keluyuran di mall,” sarkas Rania“Safa tadi terlambat sekolah Mah, daripada Safa kena sanksi lebih baik Safa bolos.”“Itu bukan jawaban yang benar Safa, lebih baik kamu diberi sanksi atas keterlambatanmu, daripada kamu menutupi kesalahanmu dengan kesalahan lainnya,” gertak Ranai, begitu marah dengan Safa.“Itu salah Mamah, kenapa sekarang tidak perduli lagi pada Safa dan Papah. Mamah sering kali tidak berada di rumah,” balas Safa tersulut emosi.“Ranai menarik napas pelan, tanganya mengepal, seakan ingin rasanya menampar Safa yang semakin hari semakin brutal.“Pintar sekali kamu ngomong, kalau kamu ada di posisi Mamah, kamu baru menyadari. Dan kamu tahu persis apa yang sedang terjadi antara Mamah dan Papah. Seharusnya kamu mulai berfikr dewasa, sekarang pulang ke rumah.” Rania menarik tangan Safa, gadis itu sempat berontak.“Safa lebih baik kamu turuti perkataan Mamahmu,“ ucap Nayla, yang merupakan keponakan Kinan.“Tidak Mah, bicaraka