Baskoro sempat tersenyum, melihat bagaimana Intan merajuk kepadanya."Astaga, apa yang harus aku lakukan?" gumamnya kemudian.Lalu ia melangkah mengikuti Intan ke ruang utama yang sudah dipenuhi para tamu undangan.Baskoro mengambil posisi berdiri di samping Intan. Menyambut beberapa tamu dengan senyuman mengembang, memberikan ucapan selamat datang di sisi Intan.Sesekali ia melirik wanita di sampingnya, dan terkadang mereka saling bertemu pandang. Akan tetapi Intan selalu saja melengos kesal.Lalu Baskoro mengambil kesempatan untuk merangkul pundak Intan, tapi Intan dengan cepat menepisnya."Ssst...banyak orang melihat. Ingat loh...kita ini pasangan romantis.""Itu dulu, aku tidak perduli sekarang ini!" ketusnya."Hallo...Intan, kamu tambah cantik nih," kata seorang wanita berpenampilan glamor menyapanya. Dia adalah salah seorang kerabat ayahnya. "Oh ya, ini ya calon suamimu. Waah, kalian memang pasangan serasi loh. Kapan nih rencana merid?""Ah Tante...belum ada kok, belum ada renca
Dengan sekuat tenaga, Intan berhasil mendorong tubuh Baskoro menjauh. Kedua bola matanya melotot seperti mau keluar. Napasnya tersengal karena perlakuan Baskoro yang menghimpit tubuhnya."Kau tak berpamitan dengan aku, dan menerima telepon diam diam. Seharusnya kau bilang kemana dan dengan siapa kau akan bertemu."Baskoro tersenyum. Ia sadar, panggilan Wulan di tengah malam itu semenit setelah Intan memasuki kamar tidurnya. Jadi kemungkinan besar Intan menguping pembicaraannya untuk bertemu dengan seseorang.Ia ingin menjelaskan, akan tetapi sebenarnya ia berniat untuk menyelesaikan tanpa Intan harus tahu. "Kalau aku mengatakan akan menemui Wulan, kau pasti lebih cemburu lagi," katanya."Ah, alasan saja. Seharusnya kau bilang saja sehingga aku tidak punya praduga.""Aku mau cerita, tapi sulit sekali menghubungi mu saat itu. Kau bahkan memutuskan sambungan telepon dariku. Sebenarnya, ayah Wulan sedang sakit keras sehingga ia berharap aku datang menjenguknya meskipun cuma beberapa meni
Indra sedikit melihat ke arah Mellisa yang merasa marah kepadanya. Ia tahu, ucapannya terlalu kejam untuk Mellisa saat ini. Akan tetapi melepaskan diri dari menutup mata juga lebih sulit untuk saat ini.Demi kehidupan tanpa penyesalan, iapun harus berpikir lebih baik dan dewasa."Indra, aku mohon. Bisakah kau memikirkan lagi untuk kita?""Mellisa, aku justru memikirkan masa depanmu yang lebih baik. Kau tak boleh menyesali hidupmu. Untuk apa kau percaya pada pria sepertiku? Cinta bagiku tidak lebih penting dari karir yang akan kuraih. Aku juga tak ingin menyesal sehingga menyia nyiakan kesempatan untuk memiliki karir yang bagus. Mellisa, jangan buang waktumu untuk menungguku. Aku sungguh tidak punya kepastian dengan pernikahan dini di usiaku ini. Percayalah, aku telah memikirkannya."Mellisa merasa kesal. Lalu ia memukul keras lengan Indra."Berengsek!! Kau pengecut!!" pekik Mellisa dengan air mata yang bercucuran. Indra pasrah dengan kemarahan Mellisa. Sejujurnya, hatinya pun sangat
Mellisa melangkah pergi dengan perasaan tak menentu. Pilihan itu pada akhirnya membuat dirinya tak berdaya. Akan tetapi sedikit demi sedikit ia yakin bisa mengatasi perasaannya saat ini. Untuk itulah ia memilih berdamai dengan kenyataan. Sebuah kenyataan bahwa Dokter Yusac adalah satu satunya jalan untuk ia bisa menentukan sikap.Malam ini iapun akhirnya menghubungi dokter Yusac untuk menjemput dirinya di mansion Abraham. Ia berharap ia bisa bernapas sejenak dengan kekecewaannya saat ini atas keputusan Indra."Masuklah," sambut dokter Indra dengan membuka pintu mobil untuknya."Terimakasih," ujar Mellisa lirih.Sekian lamanya mereka hanya diam membisu."Ehmm, Mellisa, aku sangat lapar sekarang ini. Bisakah kita mampir ke restoran sebentar?"Mellisa hanya mengangguk, bahkan sebenarnya iapun belum sempat mencicipi makanan hidangan pernikahan Abraham tadi.Di restoran, Mellisa masih bersikap canggung dan diam. Hingga beberapa orang pramusaji menyiapkan menu makanan di hadapan mereka."Ta
Indra masih meringkuk di bawah selimut tebal di kamarnya. Rasa letih membuatnya bangun kesiangan. Padahal ia sudah berjanji untuk menemui kelompok tim dan melakukan pengurusan keberangkatan secara gladi resik.Waktu yang semakin dekat, akan tetapi konsentrasi yang ia miliki sedikit kacau dengan adanya permasalahan dirinya dengan Mellisa. Mau tak mau ia harus menguatkan dirinya untuk melawan apapun yang melemahkan tekatnya.Intan menggelengkan kepalanya، melihat bagaimana Indra begitu santai sementara orang lain sudah tak bisa tidur memikirkan turnamen tersebut."Indra, cepat bangun. Hei!" Intan mencoba menggelitik pinggang Indra, hanya saja tubuhnya saja yang bergerak kesana kemari sementara matanya masih tetap terpejam.Sekali lagi ia menggelitik lebih keras, membuat tubuh Indra semakin menggeliat seperti cacing kepanasan. Kali ini bahkan sambil berteriak-teriak minta ampun."Bangun! Semua temanmu sudah menunggu!" teriak Intan di telinganya.Indra membuka matanya, menatap tajam dan s
Intan menautkan alisnya saat mendengar penuturan Baskoro. Tidak memahami apa maksud dari perkataan tidak peka terhadap orang lain juga merasa bodoh dan tak berguna, tidak mengerti apa maksud ucapan terimakasih untuknya."Berterima kasih? Untuk apa? Apa aku melakukan sesuatu?""Saat aku kembali ke kampung, aku ternyata bisa melihat atas apa yang kamu lakukan, dan aku berterima kasih kepadamu.""Ooh, jadi kamu berterima kasih karena bisa bertemu dengan Wulan?""Intan, dengarkan dulu perkataan ku. Aku tahu kau sangat marah karena Wulan disebabkan rasa cemburumu, meskipun yang terjadi tidak seperti yang kau pikirkan. Aku kesana sungguh hanya memenuhi panggilan ayahnya dan Waluyo yang sudah menjadi keluargaku selama ini. Tapi kau selalu dibakar cemburu dan menuduh aku melakukan yang bukan bukan."Intan melengos, menatap kesal keluar kaca mobilnya."Waluyo sudah menceritakan semuanya tentang bantuan yang kau berikan untuk mereka. Aku bahkan tak mengira kau melakukannya di belakangku. Sebena
Indra juga terpaku membisu dalam ucapan itu, akan tetapi ia tidak akan melampaui kesanggupannya. Ia harus bisa bersikap lebih rasional daripada egoisme seorang bocah lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis. Setidaknya pengorbanan saat ini akan lebih baik sebelum semuanya terlambat."Mellisa, aku sungguh mempercayai perasaanmu. Dan juga perasaanku, kau tak perlu meragukan lagi. Akan tetapi aku tetap tidak akan menempuh jalan yang tidak seharusnya. Kau boleh membenciku, menganggap ku pria buruk dan pengecut, kau boleh mengatakan aku brengsek atau apapun yang kau suka, tapi tolonglah, relakan aku untuk mengejar cita citaku. Seandainya nanti, di suatu waktu akan ada kesempatan untuk kita bersama, tentu saja kita akan mengingat janjiku saat ini, dan mungkin saja bagi kita untuk bersama kembali.""Aku tahu, tentu saja aku akan merelakan mu, dan kau merelakan aku. Jika suatu waktu kita dipertemukan kembali, aku berharap kita dalam kisah yang bahagia," kata Mellisa dengan menatap lembut ke
Hari yang ditunggu telah tiba. Indra menghadapi hari keberangkatan untuk ke Thailand bersama kontingen yang telah disiapkan.Abraham melihat putranya begitu bersemangat, binar kebahagiaan juga terpancar jelas di matanya."Apakah kau merasa gugup?" tanya Abraham pada putranya tersebut."Sedikit, tapi tentu saja aku tidak akan menyerah. Aku sungguh ingin pulang dengan membawa kemenangan, Ayah."Kedua orang tua angkat Indra juga sudah siap untuk pergi mendampingi putra angkat mereka. Senyuman indah selalu mengembang diantara mereka."Terimakasih karena telah merawat putraku dengan baik, aku bisa melihat bagaimana Indra tumbuh dengan sifat sifat yang baik. Aku merasa tak akan seperti itu jika aku yang mendidiknya. Aku adalah pria temperamen dan egois, sangat sulit untuk menerima kesalahan orang lain.""Tidak, tidak. Indra anak yang disiplin dan penuh tanggung jawab. Indra sangat mirip dengan Anda. Kami bahkan melihat jiwanya kokoh dan bisa memimpin, sangat jelas kebaikan itu ada pada Anda