“Emang lo bisa ngerokin orang?” tanya Deo curiga. “Belom pernah, makanya ini mau nyoba.” Veren menjawab santuy. “Kok gue nggak yakin, ya?” Deo mengernyit. “Entar kalo sakit gue tambah parah gimana?” “Coba dulu baru komen,” kata Veren meyakinkan. “Sini, gue bantuin nyopot ...” “Nggak usah, gue bisa nyopot sendiri. Gue bukan bayi,” tolak Deo, yang kemudian membuka kancing kemejanya satu per satu. “Gue sambil nonton tivi ya, Yo?” kata Veren, beringsut mengambil remot dan menyalakan tivi yang ada di kamar Deo. “Serah,” sahut Deo sambil mengusap sisa-sisa keringat dengan kemejanya tadi. Veren menoleh dan melihat Deo yang sudah bertelanjang dada. Ketika dia sedang mencari minyak kayu putih dan uang koin seribuan, soundtrack Upin dan Ipin terdengar ke seantero kamar suaminya. “Lo mau duduk apa tengkurep?” tanya Veren. “Kalo duduk, gue bisa sambil nonton.” “Tengkurep aja deh,” jawab Deo. “Gue masih mau merem lagi.” Deo mengubah posisinya menjadi berbaring tengkurap. Dia bisa merasak
“Waduh, ini gimana urusannya?” keluh Deo. “Ver, lo angkat tubuh lo dikit bisa? Ini tangan gue dua-duanya kejepit.”“Belom bisa Yo, ini masih mati rasa ...” sahut Veren lemas. “Tapi keknya darahnya udah mulai ngalir lagi.”“Terus nasib gue gimana?” protes Deo. “Masa mau gini terus? Pegel dong gue.”“Nunggu tangan gue bisa digerakkin dulu, Yo. Yang sabar aja,” sahut Veren sambil melirik tayangan Upin Ipin dari balik bahu Deo.“Entar yang ada gantian gue yang kesemutan,” sergah Deo. “Lagian tadi Freya pake nyelonong masuk aja, nggak ngetuk pintu dulu ...”Veren mendadak menyadari sesuatu.“Berarti kakak ipar ngelihat kita dong?” katanya.“Ya iya lah, orang kita segede gini masa nggak bisa lihat?” sahut Deo.“Gue malu, Yo. Dia pasti mikir kalo kita udah ngelakuin hal yang nggak pantes,” keluh Veren. “Dia pasti juga ngira kalo gue udah nggak perawan lagi. Mau taruh di mana muka gue ini?”“Taruh aja muka lo di pantat,” suruh Deo. “Kita kan udah nikah, kita mau ngapain aja itu udah sepantasn
“Tapi kan gue udah ngerti,” sahut Deo santuy. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil handuk yang ada di lemari. “Lo mau ngapain?” tanya Veren heran melihat Deo menyampirkan handuk ke bahunya. “Mandi,” jawab Deo pendek. “Loh, elo kan abis kerokan Yo. Nggak boleh mandi dulu, percuma dong!” Veren mengingatkan. “Orang lagi masuk angin kok mandi.” Cklek! Deo mengunci pintu kamar mandi rapat-rapat dan Veren bisa mendengar kucuran air yang menyala di dalamnya. Beberapa saat kemudian Deo keluar dengan rambut basah dan bagian bawah tubuhnya terlilit handuk yang tadi diambilnya. Veren bisa mencium aroma harum sabun yang Deo pakai begitu cowok itu duduk di tepi tempat tidurnya. “Entar kalo elo masuk angin lagi gimana, Yo?” tanya Veren. “Lo keramas ya tadi?” “Cuma guyuran air doang,” jawab Deo sambil berdiri lagi untuk mengambil dompetnya yang ketinggalan di kamar mandi. “Entar kan gue bisa minta tolong nyokap buat ngerokin gue.” “Yaahhh, jangan dong Yo!” cegah Veren. “Masa lo ng
“Apa? Nggak salah?” Septian terbelalak menatap Deo. “Jadi ... Freya nikah sama kakak lo sendiri?” Deo mengangguk sambil tersenyum singkat. “Terus elo nikah sama Veren buat ... sejenis pelampiasan?” tebak Septian tidak mengerti. “Ya nggak gitu juga,” tukas Deo. “Secara kebetulan gue ketemu Veren pas gue selesai nganter kakak gue ngelamar Freya. Gue nolongin Veren pas tuh anak mau bunuh diri gara-gara diputusin. Karena ujan deres banget, gue sama dia neduh di pos ronda kampung sebelah.” Septian mulai memandang Deo dengan sangat antusias. “Ujannya kan lama, jadi gue sama Veren nggak sengaja ketiduran. Apesnya, ada warga yang ngelihat. Terus gue sama dia digerebek atas tuduhan perbuatan yang tidak pantas. Ujung-ujungnya mereka nyuruh gue nikah dalam waktu dua minggu.” Deo melanjutkan ceritanya. “Elo nurut gitu aja, nggak nolak?” tanya Septian penasaran. “Gue sama Veren udah mati-matian nolak,” jawab Deo. “Tapi percuma, warga kampung sebelah tetep maksa gue buat nikah, karena merasa
“Aku nggak bisa, Mas!” kata Freya gugup. “Kamu biasanya nggak nyuruh kayak gini, tapi kamu langsung ...”“Justru biar kamu terbiasa,” kata Gennaro lagi. “Aku mau kita lebih deket lagi sebagai pasangan, biarpun kita nggak pernah pacaran sebelumnya.”Freya menelan ludah. Dia harus mengakui bahwa berada di dekat Gennaro tidak senyaman saat dia berada di dekat Deo.Tetapi dia sudah memilih Gennaro untuk menjadi suaminya, mau tidak mau dirinya memang harus membiasakan diri untuk bisa seintim mungkin dengan laki-laki ini.***Ketika kuliahnya menginjak awal semester empat, Deo baru menyadari bahwa dia sekampus dengan Ertania, cewek belia yang dulu sering berdiri di depan pintu gedung futsal.Deo tidak sengaja bertemu Ertania saat dia sedang menunggu mata kuliah berikutnya di taman kampus. Untungnya Septian tidak sedang bersamanya, sehingga Deo bisa lebih leluasa menyapa cewek itu.“Ertania!”Cewek belia itu menoleh dan dengan cepat mengenalinya.“Amadeo? Kuliah di sini juga?” sapanya antusi
“Gue duluan ya, Sep? Veren mau nyamperin gue ke sini,” kata Deo sambil bersiap pergi. Septian menganggukkan kepalanya sementara Deo berjalan pergi meninggalkan kantin.Di taman kampus, Deo mengambil ponselnya dan bermain game selama menunggu kedatangan Veren. Seru sekali dia bermain sampai tidak peduli pada keadaan sekitar, termasuk ketika beberapa mahasiswa berbisik-bisik di dekatnya.“Mati lo! Mati lo! Mati lo!” bisik Deo menghayati game yang sedang dimainkannya.“... kasian, abis jatuh kali dia ...”“... itu darahnya nggak brenti-brenti ...”“... nggak berani nolong gue, takut tambah parah ...”Deo menoleh ketika bisik-bisik di sekitarnya semakin ramai. Dilihatnya seseorang sedang duduk di belakangnya dan sibuk mengusap wajahnya dengan tisu berhelai-helai.“Tania?” Deo melongok dan melihat cewek itu agak kerepotan menghentikan aliran darah yang keluar dari lubang hidungnya.“Deo?” Tania menoleh memandang Deo sambil menyumpal hidungnya dengan tisu agar darahnya mampet.“Kamu mimisa
“Oh, sebelomnya emang udah pernah ketemu?” komentar Veren. “Di mana?”“Pas gue latihan futsal,” kata Deo jujur.“Dia ikut main futsal?” tanya Veren polos.“Enggak, dia nunggu temennya di gedung futsal,” jawab Deo memperjelas.Septian pikir Veren akan mencak-mencak seperti di adegan-adegan film perselingkuhan yang sering ditonton ibunya di kala senggang. Namun ternyata reaksi Veren nampak biasa-biasa saja, meskipun Deo nyata-nyata telah menggendong cewek lain tepat di depan kedua matanya.Pasangan yang absurd, begitu pikir Septian.***Sepanjang perjalanan ke rumah orang tuanya, Deo dan Veren terdiam tanpa sedikitpun membicarakan soal Tania lagi. Seumur-umur, baru sekali itulah mereka terjebak dalam suasana kecanggungan yang sangat aneh.Veren yang biasanya cerewet, lebih memilih diam seribu bahasa saat Deo membawanya pulang dari kampus ke rumah orang tuanya. Deo sendiri merasa tidak punya hak untuk memulai pembicaraan, sehingga dia membiarkan saja kecanggungan ini terus terjadi.Sesa
Tanpa perlu melucuti pakaiannya, Deo menjatuhkan dirinya sendiri namun Veren berhasil berguling tepat waktu sehingga tubuhnya tidak tergencet.Veren buru-buru bangun dan turun dari tempat tidur, tapi Deo tidak kalah cepat. Dia mengulurkan tangannya dan berhasil menarik baju yang dipakai istrinya hingga robek.“Yo, lo udah gila?” pekik Veren histeris.Deo tidak mengerti setan apa yang telah merasukinya, dia terus menarik baju Veren yang sudah robek dan dalam sekali sentak, Veren berhasil jatuh menimpanya.“Pokoknya lo harus tanggung jawab kali ini,” kata Deo sambil memandang tajam Veren yang kini berada di atas tubuhnya.“Jangan Yo, gue nggak mau!” Veren menggeleng dengan rambut yang sudah sangat berantakan. “Lepasin gue!”Tetapi Deo sudah tidak peduli apa pun lagi, darah muda yang mengalir dalam dirinya sudah menggelegak tanpa mampu dikontrol olehnya. Endapan magma panas yang bergolak menuntutnya untuk segera diletuskan keluar.Dengan gerakan cepat, Deo membalikkan posisinya hingga Ve