Share

8 Sepakat untuk Bersandiwara

“Buat apaan?” tanya Veren ingin tahu.

“Buat gue tuker sama cendol seember, ya buat digandeng lah!” tukas Deo. “Gitu doang pake nanya.”

“Lah, emang gue truk gandengan?” sahut Veren sambil membuntuti Deo keluar kamar.

Saat mereka sampai di dapur, Freya sudah berada di meja makan bersama Gennaro dan mama.

“Pagi, Ma!” Deo dan Veren memasang tampang cerah saat bergabung di meja makan.

“Pagi, manten baru!” sahut mama ceria. “Veren, kenalin ini calon mantu mama juga. Namanya Freya.”

Veren mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Freya.

“Halo Kak!”

Freya menjabatnya sebentar sambil tersenyum singkat.

“Lo mau bikin sarapan apa, Ver?” tanya Deo menyela.

“Yo, sama istri sendiri kok ngomongnya kayak sama temen?” tegur mama. “Yang halus gitu kenapa?”

“Nggak papa, Ma. Aku sama Veren nggak terbiasa halus-halusan,” sahut Deo.

“Iya Ma, kita nggak terbiasa pake aku-kamu sejak awal ketemu.” Veren menimpali.

“Kalian berdua ini bener-bener ...” Mama menggeleng-gelengkan kepala. “Ya udah, mama balik ke kamar dulu.”

Begitu mama berlalu, Veren menoleh memandang Deo.

“Lo mau apa, teh? Kopi? Susu?” katanya menawari.

“Kopi susu satu,” sahut Deo dengan nada seperti sedang memesan minuman di angkringan.

“Bentar ya,” kata Veren sambil berlalu ke dapur untuk membuatkan pesanan Deo.

“Kamu nggak bulan madu ke mana gitu, Yo?” tanya Freya basa basi.

“Enggak, sibuk kuliah.” Deo menjawab tanpa memandang Freya. Dia sedang sibuk bermain ponsel sementara menunggu Veren membuatkan kopinya.

“Kita nanti pake bulan madu kan, Mas?” tanya Freya sambil melirik Gennaro yang sedang melihat-lihat baju pengantin di layar ponselnya.

“Emang kamu pengin bulan madu ke mana?” tanya Gennaro tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

“Ke Bali,” jawab Freya. “Pernikahan kan cuma sekali seumur hidup, jadi bulan madunya mesti di tempat yang istimewa.”

Freya melirik Deo yang masih sibuk memainkan ponselnya seolah tidak mendengar obrolannya dengan Gennaro.

Gennaro sendiri tidak segera menjawab pertanyaan itu dan malah tetap fokus memelototi layar ponselnya, hingga membuat Freya jengkel sendiri. Ditatapnya kakak dan adik yang sama-sama sibuk dengan ponselnya masing-masing.

Sebenarnya Deo bukannya tidak mendengar, tetapi dia memilih untuk bersikap tidak peduli pada urusan mereka berdua.

Veren mendadak muncul dari dapur dengan membawa secangkir kopi susu dan segelas teh hangat ke hadapan Deo.

“Diminum ya, Yo ...” katanya sambil tersenyum manis.

“Wangi banget kopinya, Ver?” komentar Deo sambil menghirup aroma kopi susu yang masih panas mengepul. “Gimana ya rasanya minum kopi buatan istri sendiri?”

“Beda pastinya, karena kopi ini nggak dijual bebas di warung-warung,” sahut Veren dengan hidung yang mengembang karena bangga. “Diminum dong, Yo.”

“Entar, masih panas ini. Lo mau lidah gue melepuh?” sahut Deo sambil mengipas-ngipas kopinya dengan tangan.

“Maksud gue entar pas kopinya udah anget, Bambang ...” balas Veren sambil meraih tatakan cangkir kemudian menuang sebagian kopinya di situ.

“Lo apain tuh kopi gue?” tanya Deo heran.

Veren memberikan tatakan berisi kopi susu kepada Deo.

“Coba deh lo minum, Yo,” katanya. “Dijamin nggak kerasa panasnya.”

Deo menerima kopi itu dengan tangannya. Saat dia mau meminumnya, tatakan itu miring dan membuat kopi di atasnya tumpah sedikit ke baju Deo.

“Waduuh, basah gue ...”

“Ish, lo bisa minumnya nggak sih? Sini gue bantu.” Veren ikut memegang tatakan cangkir itu dan Deo mulai menyeruput kopinya pelan-pelan.

Freya mengalihkan wajahnya dari pemandangan di depannya ini dan menggeser duduknya menjadi semakin dekat dengan Gennaro yang masih sibuk bermain ponsel.

***

Meskipun sudah resmi menikah dan sepakat untuk bersandiwara di depan orang tua masing-masing, Deo dan Veren tetap memegang teguh prinsip mereka jika sedang berada di luar.

Deo sibuk dengan dunianya sendiri, begitu juga Veren yang kadang masih suka melirik cowok-cowok bening yang ditemuinya di kampus.

Sebenarnya Deo sudah sering mengingatkan bahwa meskipun mereka telah membebaskan pasangan masing-masing dari hak dan kewajiban suami istri pada umumnya, tetap saja ada hal-hal yang sejatinya tidak patut dilanggar.

Salah satunya adalah tidak melirik cowok atau cewek lain.

“Lo bawel banget sih, Yo ...” keluh Veren ketika Deo mendapat giliran menginap di rumah mertuanya. Deo tanpa sengaja melihat Veren sedang asyik video call dengan salah satu seniornya di kampus.

“Elo nyadar dong kalo kelakuan lo ini nggak pantes sama sekali,” kritik Deo sambil duduk di tempat tidur Veren. “Itu senior tau nggak kalo elo udah nikah?”

“Ya enggak lah, Yo. Masa iya gue mesti cerita sama orang-orang soal status gue ini?” tukas Veren, sesaat setelah video call dengan seniornya berakhir. “Lagian kan pernikahan kita ini cuma sementara.”

“Gue tau, tapi kan tetep aja kita nikah resmi. Dan itu tercatat di buku nikah negara,” kata Deo mengingatkan. “Lo nggak mikir apa, kalo elo suka jelalatan ke sana kemari terus mereka akhirnya tau status lo yang sebenernya, kira-kira apa yang akan mereka pikirin tentang lo selanjutnya?”

Veren mendadak terdiam.

“Apa mereka masih mikir kalo elo cewek baik-baik?” tanya Deo lagi. “Elo bisa dibilang selingkuh, lho. Dan bayangin kalo kelakuan lo ini sampe bikin ortu lo sama ortu gue dibully orang-orang. Apa lo nggak kasian?”

“Kasian juga sih.” Veren mengangguk muram. “Gue pikir setelah menuruti tuntutan warga sebelah, gue bisa bebas ...”

“Kita baru bisa bener-bener bebas setelah melewati masa dua tahun sejak tandatangan perjanjian itu,” kata Deo menjelaskan. “Setelah kita resmi cerai, terserah lo mau ngecengin cowok lain di luar sana, bebas. Tapi kalo sekarang, mau nggak mau lo mesti jaga tingkah dikit.”

Veren menutupi wajahnya dengan tangan ketika mendengar wejangan panjang lebar dari Deo.

“Dua tahun keknya lama banget, Yo ...” keluhnya. “Gue masih mau main, seneng-seneng sama temen-temen gue ...”

Deo menarik napas panjang.

“Gini lho, Ver. Gunanya kita bikin perjanjian pernikahan yang kemarin itu adalah biar kita masih bisa menikmati hidup kita masing-masing tanpa harus terbebani sama status kita,” ujar Deo sabar. “Cuma satu yang nggak bisa kita langgar seenaknya, seenggaknya dalam dua tahun ke depan.”

“Apa itu, Yo?” tanya Veren sambil menurunkan tangannya dan memandang Deo dengan sangat antusias.

“Jangan keganjenan sama lawan jenis,” jawab Deo tegas. “Karena elo resmi bersuami, elo bisa dicap tukang selingkuh kalo elo nekat ngecengin para cowok. Mau lo dikasih label tukang selingkuh?”

“Ya enggak lah!” Veren menggeleng buru-buru.

“Masalahnya entar gue juga yang ujung-ujungnya kena getahnya,” kata Deo lagi. “Dikiranya gue nggak bisa didik istri dengan baik dan benar.”

Veren tiba-tiba duduk di samping Deo.

“Gue sumpek dong kalo kek gini, Yo ...” katanya.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status