Share

9 Freya Mendadak Muncul

“Elo ngeluh mulu ya isinya?” komentar Deo. “Kalo sumpek kan masih bisa main, lo pergi cuci mata sama temen-temen cewek lo juga nggak masalah. Ke mal, bioskop, pasar, bonbin ...”

“Elah, ngapain juga gue ke kebon binatang?” tukas Veren cepat-cepat. “Mau nyamain rupa?”

“Itu elo yang ngomong lho, ya? Bukan gue,” sahut Deo. “Sabar dikit lah Ver, dua tahun itu nggak kerasa kalo nggak lo itung-itung. Gue aja juga nahan diri buat nyari gebetan baru setelah putus dari kakak ipar.”

“Oh iya, ngomong-ngomong soal Kak Freya sama Kak Aro, entar mereka setelah nikah bakalan serumah sama nyokap lo atau pindah ke rumah sendiri, Yo?” tanya Veren penasaran.

“Kalo lihat Kak Aro yang udah mapan sih keknya mereka bakal langsung misah deh,” jawab Deo. “Kenapa, lo mau ngikut?”

“Ogah, ngapain juga gue ngintilin mereka. Kek kurang kerjaan aja ...”

“Gue numpang tidur bentar, ya, Ver?” kata Deo sambil merebahkan tubuhnya ke tempat tidur Veren. “Gue ngantuk berat.”

“Eh Yo, jangan lama-lama tidurnya!” seru Veren. “Gue nggak bebas mau ngapa-ngapain kalo ada elo di kamar gue.”

“Ya ampun, Ver! Pas elo nebeng di rumah ortu gue aja gue perlakuin lo ibarat ratu, lho.” Deo memprotes. “Masa sekarang gue numpang tidur bentar aja dilarang?”

“Ya udahlah.” Veren manyun. “Tapi lo jangan berantakin isi kamar gue, ya, Yo? Jangan megang-megang benda apa pun tanpa seizin gue. Lo tau lah yang namanya cewek pasti privasinya lebih luas.”

Tidak ada sahutan. Veren menoleh dan melihat Deo sudah terkapar dan tidur pulas di kasurnya.

***

Serapat apa pun Deo berusaha menyembunyikan status pernikahannya yang mendadak, tetap saja berita itu terendus juga ke beberapa temannya di kampus.

“Kok lo berani banget nikah di usia dini, Yo?” tanya Septian, salah satu kawan sekelas Deo di fakultas pertanian.

“Daripada gue cuma ngejagain jodoh orang mulu, Sep.” Deo beralasan. “Mendingan gue kawinin sekalian, ngurangi dosa ...”

Septian mengangguk paham.

“Kok ya kebetulan Freya mau lo kawinin?” komentarnya.

“Bukan sama Freya, gue kan udah putus sama dia dua minggu sebelum gue nikah sama isteri gue yang sekarang,” kata Deo menjelaskan. “Lo laper nggak, Sep? Makan ayam penyet, yuk?”

“Ayok lah!” Septian menyambut ajakan Deo dengan penuh semangat.

Saat mereka berdua akan pergi meninggalkan tempat tongkrongan mereka, Freya mendadak muncul dari belokan tangga dan menghampiri Deo.

“Kamu masih ada kelas nggak, Yo?” tanya Freya ingin tahu.

“Ada Kak, padet banget malah!” jawab Deo buru-buru.

“Eh Yo, kita kan cuma ada dua ... aduh!” Septian merintih tertahan ketika siku Deo menyabet rusuknya.

“Ya udah, Kak. Aku sama Septian pergi dulu,” pamit Deo sambil bergegas menarik bahu Septian agar mengikutinya.

Freya tidak menyangka penolakan terang-terangan yang ditunjukkan Deo kepadanya barusan.

“Yo, kok buru-buru banget, sih?” protesnya sambil membuntuti Deo dan Septian yang belum begitu jauh. Freya membuntuti keduanya sampai ke warung ayam penyet depan kampus mereka.

Deo pura-pura tidak menyadari kalau Freya mengikutinya. Dia dan Septian asyik makan sampai cewek itu datang mendekat ke meja mereka.

Ketika makanan sudah hampir habis, ponsel Deo berbunyi. Cowok itu memeriksa ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Kemudian cepat-cepat dibereskannya ayam penyet itu sampai ludes.

“Sep, gue duluan ya. Istri gue minta dijemput!” seru Deo sambil meninggalkan selembar uang kertas seratus ribuan di atas meja. “Bayar punya lo sekalian, deh!”

“Thanks, Yo!” Septian mengangkat jempolnya.

Deo bergegas pergi dan melewati Freya begitu saja.

“Deo, tungguin gue dong!” Cewek itu bersusah payah mengejarnya.

“Apa lagi sih, Kak?” kata Deo sebal. “Nggak lihat apa orang lagi buru-buru gini?”

“Tadi kamu bilang ada kelas, kenapa sekarang tiba-tiba cabut?” tanya Freya berusaha mengimbangi langkah kaki Deo.

“Mau nyamperin istri, Kak. Siapa tau dia kenapa-napa, kan kasian.” Deo menjawab apa adanya.

“Tapi sikap kamu ke aku jangan nyelekit kayak gini juga,” protes Freya. “Biasa aja kenapa, kayak nggak pernah terjadi apa-apa gitu ...”

“Nggak terjadi apa-apa, Kakak bilang?” Mendadak Deo menghentikan langkahnya. “Justru itu aku pengin jaga jarak sejauh mungkin dari Kakak, karena statusku sekarang udah jadi suami orang. Kakak juga bentar lagi nikah sama Kak Aro, kan? Jadi mending kita nggak usah ketemuan lagi.”

Setelah mengeluarkan uneg-unegnya, Deo bergegas pergi meninggalkan Freya sendirian.

***

Veren menekuk wajahnya ketika Deo menghampirinya di kampus.

“Lo ‘napa?” tanya Deo heran sambil duduk di sampingnya.

“Gue tadi ketemu mantan gue, Yo ...” curhat Veren sendu.

“Gue juga ketemu terus sama kakak ipar, orang kita sekampus.” Deo mengangkat bahunya. “Masalahnya di mana? Wajar kalo sekampus jadi sering ketemu, kan?”

“Masalahnya dia ngatain gue, Yo. Di depan cewek barunya pula,” kata Veren memberitahu. “Mantan gue bilang kalo gue mendadak nikah karena bunting duluan, terus dia sesumbar katanya bersyukur banget putus sama gue. Bentar lagi anak-anak kampus pasti bakal gosipin gue juga.”

“Mantan lo busuk juga, ya,” komentar Deo. “Elo mestinya lebih bersyukur udah putus dari dia.”

“Bersyukur sih bersyukur, Yo. Tapi masalahnya entar gue dikira hamil sama anak-anak kampus,” protes Veren gelisah. “Padahal kan nggak kek gitu kejadian sebenernya.”

“Ya udah, lo jelasin aja ke orang-orang yang masih mau dengerin.” Deo menyarankan. “Buat yang nggak percaya, lo biarin aja. Entar lewat sembilan bulan, pasti mereka bungkam sendiri.”

Veren menarik napas.

“Kelamaan kalo nunggu sembilan bulan, Yo. Enam bulan aja udah kelihatan kok kalo beneran hamil,” ujarnya tidak bersemangat.

“Nah, itu lo yang lebih tau daripada gue.” Deo menukas. “Entar juga kalo udah lewat masa itu terus mereka lihat elo nggak terbukti hamil, pasti mereka malu sendiri. Udah lah Ver, nggak usah terlalu mikirin hal-hal yang belom tentu kejadian.”

Veren manggut-manggut.

“Iya deh, Yo. Makasih ya, elo udah mau nyamperin gue sampe kampus,” ucapnya sambil tersenyum. “Oh iya, emang lo nggak ada kelas?”

“Ada, udah kelar kok. Lagian juga gue sengaja mau ngehindarin kakak ipar,” kata Deo sambil mengeluarkan ponselnya. “Bukannya gue kegeeran sih, Ver. Tapi gue ngerasa dia itu masih aja berusaha deketin gue. Padahal kan dia udah mau nikah sama kakak gue sendiri.”

“Kali aja dia mau lebih akrab sama calon adik iparnya,” komentar Veren.

“Ngapain lagi mesti diakrabin?” tukas Deo tidak mengerti. “Dia kan udah kenal gue lebih dari lima tahun. Lagian kalo mau akrab-akraban, mestinya di depan Kak Aro sekalian. Bukannya di belakang kek gini.”

Veren kelihatan sedang berpikir keras.

“Atau kalo nggak, mungkin dia lagi celebek-celebek sama lo, Yo!” cetusnya sok tahu.

“Apaan tuh celebek?” tanya Deo sambil mengerutkan keningnya. “Yang dipake buat masak itu?”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status