“Mari makan, Masuga,” tawar Sutan Kobeh. “Tolong, jangan sungkan. Ini pertama kalinya kau mendatangi rumahku ini. Jadi, biarkan aku memberikan layanan terbaik sebagai tuan rumah.”
“Anda hanya terlalu merendah saja, Datuk.”
Meski begitu, demi menghormati sang tuan rumah, Masuga meraih sepotong singkong rebus.
“Aku terkesan dengan anak sulungmu itu, Datuk.”
Seketika wajah Sutan Kobeh seperti ditarik paksa untuk menatap pria di samping kanannya itu. Untung saja Masuga sedang dalam keadaan menundukkan kepala sebab menyuap potongan kecil singkong rebus ke dalam mulutnya sendiri.
‘Apakah dia benar-benar sudah tahu?’ Tanya Sutan Kobeh di dalam hati. ‘Apa yang harus aku lakukan?’
Sementara itu, tangan kanan Sutan Kobeh sudah gemetar. Gemetar dalam pengaliran tenaga dalamnya tanpa ia sendiri menyadari. Semua, hanya karena insting untuk melindungi keluarganya.
“Maksud
Dan ketika telapak tangan pemuda itu sudah mulai kurang ajar dengan menangkup buah dadanya, Lamina tidak punya pilihan lain selain mendorong dada pemuda itu dengan kasar sehingga Darna jadi menjauhinya. “Hentikan, Darna!” dengan wajah merah yang bercampur malu tak terhingga. “Dasar wanita munafik!” Darna menyeringai. “Jaga mulutmu!” Darna Dalun mengangkat satu tangannya. Sorot mata sang ibu tiri seperti hendak mencekik lehernya. “Kau hendak menamparku, hah?” ucap Lamina dengan mata berkaca-kaca namun ia masih menekan suaranya agar tidak didengar oleh orang lain alih-alih Sutan Kobeh sendiri. Lamina benar-benar merasa dipermalukan oleh anak tirinya itu. Tidak di hadapan orang lain melainkan di mata para Dewa dan Dewi di Swarga sana. “Lakukan saja, Darna!” ujar Lamina dengan air mata yang bergulir menuruni lereng wajahnya. “Lakukan, agar orang gagah Hulubalang Kerajaan itu mendengarkan suara jeritanku!” “Apa kau bilang?”
“Maafkan pengetahuan diri yang masih sejengkal pinggalan[1] ini…,” ujar Darna Dalun pada Masuga. Darna melirik pada sang ayah, bagaimanapun, ia menemukan kecemasan yang besar dari diri sang ayah yang berarti tamu mereka tersebut tidak bisa dianggap enteng. Meskipun Sutan Kobeh menutupi itu dengan suara tawanya tersebut, namun Darna cukup mengetahui sifat dan karakter ayahnya. Dan ya, itulah yang ia rasakan pula. “…Datuk Hulubalang yang mana satukah Datuk ini?” tanya Darna dan kemudian merendahkan kepalanya. “Maaf.” Masuga tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Darna. “Kau tidak perlu bersopan seperti itu. Namaku, Masuga.” “Maaf,” kembali Darna Dalun menundukkan kepalanya. “Benar kata orang-orang tua, kaki ini belum jauh melangkah, itu sebab tak mengenal rimba tak tahu rantau.” “Sudah, sudah,” ujar Masuga menggeleng-gelengkan kepala. “Kau bijak, sama seperti Datuk Kobeh ketika muda. Mengenalku pun bukanlah sebuah keharusa
“Apakah Datuk Hulubalang hendak menuju ke sana,” tanya Darna Dalun. “Biarlah saya yang mengantarkan Datuk.” “Tidak,” kata Masuga. “Sudah tidak berguna lagi.” “Maksud kau, Masuga?” Sutan Kobeh melirik pada Darna yang juga melirik kepadanya. “Itulah yang sangat aku sayangkan,” Masuga menghela napas dalam-dalam, wajahnya membayangkan kesedihan dan kemarahan sekaligus. “Rumah Sialang Babega sudah rata dengan tanah, dibakar seseorang.” “Hah…?!” Sutan Kobeh dan Darna Dalun benar-benar pandai memainkan peranan mereka. Berpura-pura terkejut dan tidak mempercayai ucapan Masuga. “Kau bergurau kan, Masuga?” ujar Sutan Kobeh dengan tangan gemetar menunjuk-nunjuk Masuga. “Tidak, aku tidak sedang bergurau.” “Tidak mungkin, Masuga!” ujar Sutan Kobeh, bahkan ia sampai terlonjak dari duduknya. “Sialang Babega itu punya kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng.” “Ayah!” Darna Dalun pun ikut berdiri. “Lebih baik kita ke sana seka
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Sutan Kobeh menyandarkan punggungnya, ia terlihat seperti benar-benar menyesali atas kematian Sialang Babega. “Aku telah kehilangan Wali Jorong terbaik yang aku punya. Kehilangan kawan baik.”“Ayah, sabarlah,” ujar Darna Dalun. “Aku yakin, cepat atau lambat, pasti akan terkuak jua.”“Katakan padaku, Masuga,” ujar Sutan Kobeh sembari memijat keningnya. “Adakah sesuatu yang sudah kau dapatkan sebagai petunjuk atas apa yang terjadi pada Sialang Babega?”Masuga menggeleng. “Aku hanya penasaran.”“Tentang?”“Para tetangga yang menguburkan jasad-jasad itu pagi tadi tidak menemukan jasad Zuraya dan anak sulung Sialang Babega di antara mayat-mayat yang ada.”“Apa ada yang tahu ke mana keduanya pergi?”“Entahlah,” kata Masuga. “Aku rasa, siapa pun pelaku yang telah memb
Darna Dalun menyeringai menanggapi ucapan Sutan Kobeh yang berlalu kembali masuk ke dalam rumah. Pemuda itu pun bergegas berlari ke arah belakang dengan memutar ke sisi kiri rumah dan berharap kedua orang gurunya itu menunggu di dangau-dangau belakang.Tapi, tidak.Darna tidak menemukan Rumada dan Daro di sana.‘Guru, apa yang sedang kalian rencanakan?’ wajah pemuda itu langsung pucat pasi.Bagaimanapun, Darna juga mengetahui seperti apa sepak terjang si utusan Kerajaan Minanga yang bergelar Kuciang Ameh tadi itu.Cemas akan sesuatu, Darna Dalun kembali berlari menuju rumah utama dan langsung ke sisi kanan.Bergegas ia melepaskan ikatan seekor kuda berwarna coklat dari dua ekor yang ada di sisi itu. Dan dalam waktu yang sekejap pula, ia menggebrak kudanya.Sementara itu, Masuga ternyata kembali ke lokasi rumah Sialang Babega. Ia turun dari atas kudanya dan kembali memeriksa kondisi di sekitar.Halaman rumah yang ter
Pria besar dengan senjata golok kembarnya itu menggeram lebih kencang lagi. Bahu kanannya dirobek cakar Masuga, dan dadanya sedikit terasa sesak sebab tendangan si utusan kerajaan itu menderat telak sesaat setelah cakarnya itu tadi.Rumada kembali bangkit dan mengejar ke arah Masuga.Sementara itu, Masuga sendiri langsung mendapat serangan dari Daro sesaat setelah tendangannya melemparkan Rumada.Desg!Desg!Empat cakar saling bertemu, dua kekuatan saling bentrok.Daro mencoba mengerahkan tenaga dalamnya lebih tinggi lagi, memforsir ke kesepuluh jari tangannya, dan menekuk lebih dalam kuku-kukunya untuk melukai punggung tangan si Kuciang Ameh.Tapi tenaga dalam si Kuciang Ameh jelas lebih unggul. Dari mulut Daro terdengar suara bergeretak, tidak ingin tangannya hancur dimakan cakar si Kuciang Ameh, Daro lantas melentingkan tubuhnya ke belakang seiring satu kaki menendang mengincar dagu pria tersebut.Mau tidak mau, Masuga melep
Kembali kepada Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak. Pemuda itu memacu lebih kencang lagi kuda tunggangannya. Tujuannya, adalah lokasi rumah Sialang Babega sebab Darna punya firasat bahwa Rumada dan Daro pastilah berniat melakukan sesuatu kepada si utusan kerajaan itu.Dan si utusan kerajaan itu, pasti akan kembali lagi ke lokasi rumah Sialang Babega guna mencari petunjuk.Itulah yang dipikirkan oleh Darna Dalun ketika meninggalkan rumahnya tadi.‘Berengsek!’ maki Darna di dalam hati. ‘Kenapa kalian tidak memberi tahu padaku terlebih dahulu, hah?! Kenapa tidak menungguku saja?!’Dari balik pakaiannya, di sekitar pinggang, Darna menarik lepas sebuah sabuk dari untaian perak murni seperti kalung yang ia pakai di lehernya itu.Sabuk itu panjang dan berlapis dua, dengan masih menjaga kecepatan lari kudanya, Darna memisahkan kedua bagian dari sabuk perak tersebut. Satu bagian dililitkan ke tangan kirinya, dan satu bagian
Siladiang Kamba mungkin merasa senang karena berhasil mendaratkan satu tendangan ke dada si Kuciang Ameh. Sayangnya, gerakan itu justru memang disengaja oleh si Kuciang Ameh, sesaat sebelum tendangan Siladiang Kamba mencecah dadanya, si Kuciang Ameh dengan sangat cerdik menahan telapak kaki lawannya itu dengan punggung tangannya.Yang dilihat oleh Siladiang Kamba alias Rumada bahwa si Kuciang Ameh meremas dadanya sendiri akibat terkena tendangannya itu.Tubuh si Kuciang Ameh terpental jauh ke belakang, itu juga merupakan hal yang memang disengaja pria gagah tersebut untuk bisa mendekati Sijundai Bakuku Api alias Daro.Terbukti ketika tubuh si utusan kerajaan itu masih melayang ke arah belakang, Sijundai Bakuku Api langsung menyongsong.Dua tangan mengembang ke samping siring tubuh yang melesat mengejar ke arah si Kuciang Ameh. Sepuluh kuku menekuk dan semakin memerah saja laksana dikobari bunga api.“Mati kau, Kuciang Ameh!” Sepuluh kuk