"Kamu tenang saja. Walaupun Beni berhasil kabur, tetapi dia tidak akan bisa menyakiti kamu lagi," ucap ibunya menenangkan. Kini ia dekap anak kesayangannya itu untuk sekedar memberi kekuatan.Saat ini, Murni sendiri nampak khawatir dan terlihat tegang. Bukan masalah Beni berhasil ditangkap ataupun kabur, tetapi ibunya tidak tahu Beni seperti apa, Beni pasti akan melakukan segala cara untuk menghancurkan hidupnya. Dirinya sangat mengenal siapa Beni sebenarnya, lelaki itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Walaupun di dalam penjara sekalipun, lelaki itu bisa saja melukai dirinya dan keluarga.Kini ia merasa hidupnya terancam, tidak ada lagi tempat mengadu kecuali pada yang memberi hidup."Baiklah, kami akan berupaya untuk bisa menangkap saudara Beni, dan kalau kalian ada yang mengetahui di mana tempat persembunyiannya atau mendengar info terbarunya, kalian bisa menghubungi kami," ucap polisi tersebut lalu pamit undur diri.Kini tinggal Murni yang terlihat lemas, tetangga pun suda
Entah kekuatan darimana, Murni berhasil melarikan diri. Ia lari dengan sangat kencang sambil berteriak meminta tolong. Sedangkan di belakangnya juga terdapat Via yang terus mengejar dan tak ingin targetnya itu berhasil meloloskan diri. Kakinya terus berlari tanpa mengenal lelah, di saat dirinya telah menangkap lengan Murni, tiba-tiba saja ada seseorang yang menariknya.Via nampak terkejut karena orang itu tak lain adalah Polisi, tak hanya itu di sana terdapat ibunya Murni dan juga sang adik."Ini sudah masuk tindakan kriminal, silahkan Ibu ikut dengan kami," ucap Polisi tersebut dan langsung membawa Via. Wanita itu tak bisa melawan juga tak bisa berkutik.Tetapi ia menatap tajam ke arah Murni seakan memberi isyarat kalau dirinya akan membalas kejadian ini suatu saat nanti."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya ibunya sambil memeluk sang anak yang masih terlihat syok."Tidak apa-apa, Bu." "Ada yang terluka?"Murni menggeleng, setelahnya sang Ibu membawa anaknya itu untuk pulang. Ia san
Ibunya Beni yang mendengar anaknya berada di rumah sakit karena terkena tembakan saat ingin melarikan diri, akhirnya dengan dibantu salah satu tetangga, datang melihat kondisi anaknya.Hati Ibu mana yang tidak hancur ketika melihat anaknya terbujur dengan mata terpejam, walau dia bukan anak kandung, tetapi dirinya sangat menyayangi Beni seperti anaknya sendiri.Sejahat apapun Beni, dia tetap anaknya dan kasih sayang itu tidak akan pernah pudar. Apalagi perlakuan lelaki itu selalu baik padanya.Hati wanita itu menjerit, rasanya tulang belulang itu sudah rapuh, berdiri saja ia sudah tak sanggup, hatinya teramat sakit, ingin masuk tapi masih belum bisa karena kondisi Beni katanya masih kritis.Dalam diam di tengah tangisnya, ia pejamkan mata, memohon pada yang memberi hidup untuk menyelamatkan anaknya dan memberi kesempatan untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik.Seketika ingatannya terbayang ketika Beni masih kecil, waktu di mana lelaki itu menggigil kedinginan karena demam yang tak
Hari berganti hari, bulan pun juga sudah berlalu. Kini usia kehamilan Tania sudah menginjak sembilan bulan dan tinggal menunggu hari saja untuk bisa melihat anaknya terlahir ke dunia.Hanif sendiri tidak bisa meninggalkan istrinya terlalu lama. Di setiap kesempatan, pasti ia akan menelfon istrinya dan menanyakan keadaan.Ia khawatir jika waktu istrinya merasakan tanda-tanda kelahiran, ia telat mengetahuinya, walaupun saat ini ada ibunya yang sementara waktu tinggal di rumahnya, tetapi ia tidak mau gagal menjadi suami siaga untuk istrinya.***Pukul setengah tiga pagi, Tania merasakan mulas seperti ingin buang air besar, tetapi saat dikeluarkan maka tidak akan keluar. Ia mengira tengah sembelit.Apalagi mulas itu semakin lama semakin terasa, akhirnya karena sudah tak tahan, ia pun membangunkan suaminya."Mas," panggil Tania pelan. Satu kali goncangan, suaminya itu belum membuka mata. Mungkin karena kecapean kerja makanya tidurnya terlalu pulas."Mas, bangun. Perutku sakit," ucap Tania
Keesokan harinya tepatnya di ruangan Tania dirawat, semuanya pada heboh karena bayi kecil itu baru saja dimandikan. Terlebih Hanif yang sangat antusias menggendong anaknya. Semalaman bayi kecil itu terjaga, walaupun tidak menangis, tetapi bayi kecil itu tidak mau tidur. "Anak Papa sudah wangi," ucap Hanif sambil menggendong anaknya, saat ini ia sedikit bersikap egois dan tidak mau digantikan menggendong putri tercintanya."Ya memang papanya, jam segini belum mandi," jawab ibunya. Ia sengaja berkata demikian agar Hanif segera beranjak mandi dan ganti dia yang menggendong cucu.Maklum saja, dia hanya mempunyai satu anak dan itu pun laki-laki. Jadi ketika cucunya terlahir dan diketahui berjenis kelamin perempuan, maka ia sangat bahagia. Ingin merasakan merawat anak perempuan, walaupun itu cucunya. "Nanti saja, ya? Walaupun nggak mandi, tapi mamanya masih suka nempel sama Papa," jawab Hanif dan langsung mendapatkan cubitan dari istrinya karena memang posisinya bersebelahan dengan Tani
Hanif yang mendengar keributan di luar langsung datang melihat, sedangkan Tania sendiri belum bisa beranjak karena anaknya sedang minum dan lambat laun tertidur.Dari atas Hanif melihat dua orang yang selama ini sangat dibencinya, berdiri diambang pintu sambil menatap ibunya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Setelah beberapa detik berdiri, ia pun langsung turun ke bawah dan menghampiri mereka."Mau apa ke sini?" tanya Hanif, bahkan ia menatap keduanya dengan tatapan tajam, menunjukkan kalau ia tak mengharapkan kehadiran mereka.Cukup waktu dulu mereka membuatnya bertengkar dengan istrinya, cukup bagi mereka untuk merusak rumah tangganya, ia pastikan hal ini tidak akan pernah terjadi lagi."Aku mau melihat anakmu, Mas. Sekalian ibuku mau minta maaf pada Tania," jawab Murni dengan lembut. Terlihat dari penampilannya saat ini kalau wanita itu jauh lebih baik dari sebelumnya."Tania tidak ada waktu untuk meladeni kalian," ketus Hanif. "Mas, aku mohon. Kami datang bukan untuk me
Dengan kesepakatan berdua, mereka memberi nama putri pertama mereka dengan nama Ainara Hanita. Nama dengan gabungan antara Papa dan mamanya. "Besok Mbak Sri datang ke sini, Mas," ucap Tania saat keduanya tengah bersantai di teras rumah. Anak mereka sedang bersama neneknya, sedangkan kakaknya sudah pulang dari kemarin sore.Walaupun begitu, rumah ini terlihat ramai karena Hanita sering kali menangis. Suara tangisannya pun sangat kencang, apalagi suaminya sering kali tidak membiarkan anaknya itu tidur dengan pulas."Sama Adam?""Katanya iya, Mas."Hanif mengangguk, kini ia mengambil tangan istrinya dan digenggam tangan itu."Kenapa, Mas?" tanya Tania sambil menatap ke arah suaminya."Nggak ada, suka aja kalau jemari kita saling bertautan kaya gini. Andaikan kita dipertemukan sejak masih sekolah, sudah kupastikan aku yang akan menjagamu waktu itu," jawab Hanif. "Gombal, udah nikah aja kaya gitu, nggak yakin kalau masih sekolah mau ngejaga aku.""Itu karena pertemuan kita terlambat, co
Kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, begitupun kehidupan Murni dan juga Randi. Mereka tidak tinggal di Blitar, melainkan tetap tinggal di Jakarta karena pekerjaan Randi yang menjanjikan berada di Jakarta.Di usia pernikahan yang ke dua tahun, mereka dikaruniai dua anak laki-laki kembar. Murni pun setiap harinya disibukkan dengan anak kembarnya tersebut, dengan bantuan Ibu dan juga adiknya, ia pun bisa mengurus anak dan juga rumah dengan baik.Sedangkan Randi sendiri terlalu sibuk dalam kerjaannya, bahkan sering kali lelaki itu pulang larut.Seperti hal nya hari ini, tetapi entah kenapa, akhir-akhir ini Murni sering kali marah kalau suaminya belum juga pulang. Berulang kali ia mengirimkan pesan tetapi tidak dibalas, dilihat pun juga tidak. Karena tak tahan, ia pun mencoba menelfon suaminya, terhubung tetapi juga tak diangkat.Murni memasang raut wajah kesal. Kini ia pun melempar ponsel itu di sembarang tempat, mood nya benar-benar anjlok."Murni, ini anakmu nangis lo, coba kamu kas