“Astaga, Oma? Apa yang terjadi, Vir?” seru Vela ketika mendapati sang nenek sudah berlutut di lantai. Sepupunya yang terlalu kurus itu sedang berjuang mati-matian untuk menahan tubuh Oma Stela agar tidak mendarat sepenuhnya.
“Oma mau ke toilet. Tapi tiba-tiba, jatuh begini,” terang Virgo dengan napas terengah-engah. Ketika Vela dan Eridan mengambil alih beban di tangannya, barulah perempuan itu membebaskan udara. “Ah, sakit pinggangku. Oma berat sekali.”
“Kenapa enggak panggil aku saja kalau kamu enggak kuat?” tanya Vela dengan kerut alis cemas.
“Mana kutahu kalau Oma bisa jatuh seperti itu? Kamu jangan cuma bisa menyalahkanku saja. Dari tadi, aku sudah menjaga Oma, sedangkan kamu asyik bermesraan di luar.”
Sadar bahwa ribut tidak akan menyelesaikan masalah, Vela pun mengabaikan ocehan sepupunya. Dengan hati-hati, ia membantu Eridan membawa sang nenek ke ranjang.
”Iiuuuh … disgusting!” guma
“Bagaimana hari ini, Vel? Apakah Virgo mengganggumu lagi?” tanya Eridan ketika mereka sedang makan bersama. Wanita yang sedang memutar-mutar sendoknya di atas nasi pun melirik sejenak.“Enggak,” sahutnya singkat. Ia enggan membahas tentang Sagita, khawatir jika air mata tidak mampu lagi dibendung.“Lalu, kenapa kamu murung? Dari tadi, kamu belum makan satu suap pun, sedangkan aku sudah hampir habis.”“Aku enggak lapar.”Napas Eridan pun berembus cepat. Setelah meletakkan kotak nasinya di atas meja, ia mengambil jatah Vela dan langsung menyuapinya. “Aaak ….”Vela menggeleng lalu menunduk, menyembunyikan mata merah di bawah bayang-bayang wajahnya.“Kamu marah karena aku baru datang jam tujuh malam?”“Enggak,” sahut sang istri datar. Getar suaranya tak mampu lagi ditutupi.“Kalau begitu, ada apa?”Tidak ada jawaban yang terdengar. Sang
Seorang laki-laki berpakaian olahraga berlari menyusul perempuan berseragam serupa. Begitu tiba, tanpa ragu ia menahan lengan si gadis.“Kok kamu ikut jalan santai sih, Vel?” tanya Eridan dengan nada khawatir. Ia tidak peduli dengan gadis lain yang sedang berbisik.“Memangnya kenapa?” Vela mengerutkan alis.“Kamu kan lagi datang bulan. Kalau pingsan, bagaimana? Pas upacara yang cuma berdiri diam saja kamu sering pingsan.”Rombongan yang semula berbisik spontan memekik. “Vel, kami jalan duluan, ya. Kamu bareng sama Eri saja. Da ….” Gadis-gadis lain pun berlari meninggalkan teman mereka yang tidak dibiarkan mengejar. Dengan tampang memelas, Vela membalas tatapan sahabatnya.“Ridan, kamu jangan membuatku malu, dong.”“Lebih malu mana dibandingkan dengan pingsan di jalan? Kamu mau diangkut orang-orang pakai tandu?”“Jangan berlebihan, deh,” celetuk Vela sambil menepuk t
Tubuh Eridan mulai merapat ke arah Vela. Semakin kecil jarak di antara mereka, semakin besar getaran dalam dada si wanita. Ketika bibir sang pria menyentuh miliknya, letupan kecil sontak melambungkan jiwa. Vela tidak sanggup memungkiri bahwa hatinya telah tunduk pada Eridan.“Engh, Ridan ….”Sang suami pun terpanggil untuk menatap kedua matanya. “Kenapa belakangan ini, pipimu cepat sekali merah?” tanya pria itu dengan senyum menggoda.“Aku juga enggak tahu. Mungkin, karena cuaca.”Setelah membunyikan tawa kecil, sang pria kembali melancarkan aksi. Vela semakin mabuk karenanya. Perlahan-lahan, pikiran wanita itu tertarik ke masa lampau, masa ketika ia pernah memiliki perasaan yang sama.*“Ayo, Vel. Kan kamu yang penasaran mau ke sini. Jangan sampai bensinku sia-sia. Perjalanan kita jauh, loh,” bujuk Eridan yang sedang berdiri di atas sebilah papan. Dengan tampang ngeri, Vela melihat
“Kenapa enggak jawab? Apakah kamu mencintaiku?” Vela mengulangi pertanyaannya. Pria yang sedang membalas tatapannya pun mengerjap.“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?” ucap Eridan seraya memasang senyuman. Ia takut jika matanya menyiratkan kejujuran.“Karena ucapanmu barusan bisa membuatku salah paham. Aku hampir mengira kalau kamu mencintaiku. Perkataanmu terlalu menyanjungku, Ridan,” terang Vela seraya menyeka air mata. “Bagus, Vela. Kamu berhasil mengendalikan situasi dengan cukup baik,” puji perempuan itu dalam hati.“Ck, apa yang kamu bicarakan? Aku hanya mengatakan yang sesungguhnya. Sudahlah, aku masuk saja. Biar aku yang memasak untuk makan malam. Kamu coba pertimbangkan data dariku itu. Siapa tahu, kamu benar-benar menemukan platform yang lebih sesuai.” Eridan langsung berdiri dan menghilang dari hadapan Vela. Si wanita hanya terdiam menatap punggungnya.“Lihatlah, Vel. Kamu menyakiti hatimu lagi,” batinnya sebelum mengembuskan napas pasrah.
Tawa Eridan sontak reda ketika Vela berlari tanpa sepatah kata. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu dibanting dari arah luar. “Loh? Kenapa dia mengambek? Aku kan cuma bercanda.” Sambil bertanya-tanya, Eridan pergi menghampiri tempat persembunyian istrinya.“Vel? Kamu marah?” tanya sang pria setelah mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada seorang pun yang menyahutnya.“Vel, aku minta maaf deh. Aku kan cuma bercanda. Jangan tersinggung, dong!” Lagi-lagi, keheningan yang menjawab. Eridan mulai mengaruk-garuk kepala. “Gawat! Dia benar-benar marah. Ck, apa yang harus kulakukan sekarang?”Setelah menimbang-nimbang sejenak, pria itu tidak lagi memanggil istrinya. Ia membiarkan Vela menyendiri hingga kemarahannya reda. Sementara itu, di balik pintu, Vela bersandar sembari mengelap air mata. Rasa dongkol telah memenuhi hatinya.“Lihatlah! Dia bahkan
“Kok bisa tidak diterima? Bukankah wawancaramu lancar dan pihak sekuritas memujimu dalam banyak hal? Ini benar-benar tidak masuk akal, Ridan,” protes Vela di depan suaminya yang memaksakan senyuman.“Sudahlah, Vel. Kita harus menerima hasilnya dengan lapang dada. Mungkin, aku memang enggak ditakdirkan bekerja di sana.”“Tetap saja, ini aneh Ridan. Kenapa mereka menolakmu kalau masih membutuhkan tenaga kerja? Lihat ini! Mereka masih memasang pengumuman lowongan kerja.” Vela menunjukkan poster dari website LMN Sekuritas.“Mungkin, mereka belum sempat menghapusnya.”“Enggak mungkin, Ridan.”“Vela, tolong jangan seperti ini. Sikapmu malah membuatku tak enak hati,” ucap Eridan mengungkapkan kejujuran. Hanya dengan dua kalimat tersebut, ia berhasil membungkam mulut sang istri. “Maaf kalau aku masih p
“Vela, kamu mau menunggu sampai kapan?” tanya Eridan sambil menekuk lutut di hadapan istrinya yang duduk di bangku panjang.“Sampai Pak Rion mau menerimamu bekerja di sini. Ini enggak bisa dibiarkan, Ridan. Ares selalu mengarang cerita yang tidak masuk akal. Aku heran kenapa orang-orang mau saja percaya padanya.”“Sst, pelankan suaramu. Enggak enak kalau sampai terdengar orang lain,” bisik Eridan seraya memeriksa sekeliling mereka.“Biarkan saja! Justru bagus kalau orang-orang mengetahui sifat aslinya.”Sang pria hanya bisa menghela napas menghadapi emosi istrinya yang berkobar terlampau besar. “Bagaimana kalau kita makan siang dulu? Ini sudah hampir jam satu, Vel. Jam istirahat kantor saja sudah hampir habis.”“Kamu saja yang makan. Aku enggak boleh pindah ke mana-mana. Kalau Pak Rion lewat ketika aku enggak di si
“Ridan, coba kamu pakai ini!” pinta Vela sambil memosisikan sehelai kemeja biru di depan tubuh sang suami.“Apa ini? Hadiah untukku?”“Coba saja dulu!” desak Vela sembari menarik kaus oblong sang pria. Eridan pun menurut.“Wah, pas sekali! Syukurlah,” gumam sang wanita dengan senyum kecil. Selang satu desah napas, ia memutar tubuh sang suami agar menghadap cermin. “Apa kamu suka?”Eridan mengangguk. “Suka …. Jadi, ini hadiah untukku?” tanyanya dengan sebelah sudut bibir terangkat lebih tinggi.Vela pun mengulum senyum. “Ya,” sahutnya ambigu. Nada bicaranya menyuarakan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Sebelum sang pria mengetahui kegundahannya, ia mengerjap dan membuka kancing kemeja baru itu. “Kalau begitu, biar kucuci sekarang. Jadi, kamu bisa memakainya di hari pertama kerja besok.”“Terima kasih, Vel,” ucap Eridan tulus.“Sama-sama.” Setelah menunjukkan senyum ke