Sementara Karmila tenggelam dalam lamunannya sendiri sembari menjagai Hendi di kamar perawatan rumah sakit, malam beranjak semakin larut. Beberapa lampu di lorong rumah sakit sudah dimatikan. Suasana sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu keluarga mereka yang sakit duduk-duduk dalam diam di bangku-bangku selasar. Satu-dua perawat yang berjaga duduk di balik nurse station sambil terkantuk-kantuk. Udara malam itu sedikit dingin karena hujan tengah turun deras membelah langit malam.Beberapa kali kilat menyambar diikuti suara geluduk. Sedikit lampu yang masih menyala berkedap-kedip. Tetapi tak ada orang yang terlalu peduli, menganggapnya itu hanya reaksi elektris biasa karena cuaca buruk.Pintu lift di lantai tempat kamar Hendi dirawat berdenting terbuka. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Selama beberapa detik pintu lift masih terbuka, kemudian saat pintunya hendak menutup rapat, sepotong tangan berwarna hitam keunguan seperti daging busuk keluar dari celah pintu dengan tib
Tangis Karmila berganti gelak tawa. Setelah lelah dengan semua ironi dan tragedi yang terjadi di dalam hidupnya, Karmila mendadak merasa kisah hidupnya adalah sebuah komedi.“Karmila.” Andaru memanggilnya. Ada getaran kecemasan dalam suaranya yang parau.Mendengar ayahnya memanggil namanya, Karmila tahu bahwa sosok yang datang itu memanglah ayah sejatinya. Tidak setiap saat ada sosok ghaib, bukan manusia yang mengaku sebagai ayahnya.Karmila menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan, merasa debar kencang di dadanya sedikit berkurang, barulah dia berbalik, menghadap ayahnya, Andaru. Wajah ayahnya memang sudah rusak, tetapi Karmila masih mengenali sepasang bola mata itu karena saat dia menatapnya, dia merasa seperti sedang memandangi cermin, memandang balik ke bayangannya sendiri yang ditangkap oleh cermin. Ya, sepasang mata Andaru, mengingatkannya akan sepasang matanya sendiri.“Sialan! Kau benar ayahku!” Karmila tersenyum simpul.“Apa berlebihan kalau aku menginginkan sebuah
Tubuh Karmila gemetar mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Dengan wajh pucat dia menatap Andaru, bertanya, “Benar, kan?”Andaru tidak berkata apa-apa, tetapi kebisuannya itu sendiri sudah bisa memberikan Karmila jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia dengar.“Kembalilah pulang,” kata Andaru akhirnya setelah jeda cukup panjang di antara mereka.Karmila mendesah, melirik Hendi yang masih koma.“Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk orang itu.” Kembali Andaru berkata.“Apa yang Ayah tahu tentang Bang Hendi? Apa Ayah tahu penderitaan apa saja yang sudah ditanggungnya?”“Semua yang terjadi kepadanya tidak ada hubungannya denganmu, denganku, atau dengan keluarga kita. Dia hanya orang asing, untuk apa kau begitu peduli kepadanya?” Gigi Andaru gemeretak. Dari dalam dadanya berkobar bara api saat melihat sendiri bagaimana putrinya membela seorang laki-laki yang menurutnya sangat lemah. “Aku kira, Dirga kekasihmu, bukannya dia.”“Dirga? Jadi Ayah sudah bertemu dengan dia?” Ka
Di dunia gaib tempat Hendi berkelana tanpa bisa mengingat dirinya, Anggita juga memanggil-manggil namanya.“Siapa yang memanggilku?” gumam Hendi di batas kesadarannya. Di dalam benaknya yang bagaikan sebuah mimpi itu dia mendengar dua suara berbeda memanggil-manggil satu nama yang sama, Hendi. “Siapa yang harus kujawab?”Anggita meniup wajah Hendi dengan sihirnya, membuat pikirannya kembali jernih dan hanya bisa mendengar satu suara, suara milik Anggita.“Bangun, Hendi, buka matamu,” perintah Anggita lembut.Hendi mengerjapkan mata melihat Anggita. Kepalanya masih berdenyut sakit.“Lihat aku saja, dengar suaraku saja,” ujar Anggita, “dengan begitu sakit di kepalamu akan perlahan hilang.”Suara Anggita begitu lembut merayu, terdengar bagai musik indah di telinga Hendi membuatnya pasrah, menyerah sepenuhnya kepadanya. Sedikit demi sedikit Hendi membuang semua kecemasannya, semua usahanya yang tak perlu akan ingatan yang telah hilang.“Yang sudah hilang, biarlah hilang, mungkin sedari aw
Perjalanan Anggita dan Hendi berakhir di balik bukit, di mana sepasang air terjun bertemu dan menumpahkan airnya yang memantulkan kilau warna-wani pelangi. Sungai lebar di bawahnya jernih bagai kaca, menampakkan ikan-ikan besar-kecil yang berenang meliuk-liuk di dasarnya yang berbatu. Pemandangan yang bagai lukisan itu semakin bertambah pesonanya oleh rimbunan hijau dedaunan dari barisan pepohonan dan tanaman merambat.Hendi tak bisa berkata-kata saling takjubnya.Anggita berlari kecil mendahuluinya dengan langkah-langkah ringan. Perempuan siluman itu masuk ke dalam air yang tingginya tak lebih dari lutut orang dewasa. Tanpa ragu dia melepaskan semua pakaian yang melekat di badannya, lalu berendam. “Sini, ikut mandi bersamaku!” teriaknya kencang kepada Hendi.Hendi tertunduk dengan wajah bersemu, dia sempat melihat tubuh polos Anggita. Anggita bertubuh mungil dengan sepasang buah dada yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, berpucuk merah muda. Tubuhnya putih pucat seperti por
Turk berusaha melawan, dia membanting tubuh Anggita, menghempaskannya ke dasar sungai berbatu sampai-sampai tulang belulang Anggita berderak karenanya, mungkin beberapa ruas tulangnya telah patah menghantam bebatuan.Anggita menjerit kesakitan. Luka di tubuhnya membuatnya semakin murka. Dengan beringas dia lanjut melancarkan serangan ke tubuh Turk, tendangan, pukulan bertubi-tubi tanpa ampun. Kemarahannya membuat tenaganya menjadi berkali lipat. Turk babak belur, lemah, tak lagi sanggup melawan, tetapi Anggita tidak berhenti sampai di sana. Diambilnya sebuah batu kali sebesar kepala manusia, diangkatnya tinggi-tinggi sampai ke atas kepalanya, lalu dilemparkannya ke tubuh Turk.Turk mengaduh. Tubuhnya terbelah jadi dua lantaran sedemikian dasyatnya hantaman batu dari Anggita. Sungai yang tadinya mengalir air jernih, segera berubah menjadi semerah darah, darahnya Turk. Setelah itu, ikan-ikan berwarna-warni yang tadinya jinak dan indah, terpicu oleh darah siluman Turk, berubah menjadi ga
Setelah mendapatkan penjelasan dokter yang menenangkan hatinya, Karmila setuju untuk pulang. Dia baru sebentar saja kembali ke villa, belum sempat melakukan penyelidikan apa-apa mengenai apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Kandita yang berhubungan dengan kebangkitan Andaru. Apa pun itu, Karmila meyakini kalau Dirga juga terlibat.Karmila membonceng motor Dirga untuk pulang. Namun, di tengah perjalanan Karmila meminta Dirga untuk berbalik arah. Perlahan-lahan Dirga menghentikan motornya di tempat aman, merasa heran atas permintaan Karmila yang tiba-tiba dan di luar rencana.“Ada apa lagi? Apa ada tempat lain yang mau kamu datangi?” tanya Dirga. Dia menyatakan keberatannya, tak sabar ingin cepat pulang untuk menyusun rencananya selanjutnya, menawarkan darah Hendi kepada Kandita.“Ya, tapi kalau kau enggak mau anter aku, juga enggak apa-apa, sih. Aku bisa, kok, naik kendaraan umum.” Karmila berkata kesal sambil turun dari motor.“Hei! Apa-apaan, sih? Gitu aja udah langsung ngambek.
Beberapa orang perawat datang tergopoh-gopoh. Mereka memegangi Nurlaila, memaksanya kembali ke ranjangnya, menahannya, lalu salah satu dari mereka dengan cepat dan lihai menyuntikkan obat penenang ke lengan Nurlaila. Perlahan-lahan Nurlaila menjadi tak berdaya dan lebih tenang, sebelum akhirnya perawat-perawat itu membaringkannya ke ranjang.“Apa ini? Kenapa Mama malah jadi kumat lagi?” tanya Karmila cemas.“Pasien dengan gangguan jiwa seperti Nyonya Nurlaila memang rawan kambuh kembali, apalagi kalau ada pencetusnya, sesuatu yang mengingatkannya akan masalah atau ketakutan-ketakutan penyebab depresinya,” ujar perawat itu, “untuk lebih jelasnya, Anda bisa menanyakan langsung dengan dokter spesialis yang menangani kasus pasien ini. Untuk saat ini, kami mohon maaf, kami terpaksa meminta Anda untuk tidak dekat-dekat dengan pasien sebelum kondisinya kembali stabil.”Karmila mengangguk pasrah, dia lalu menyeret Dirga keluar. Dia terus menyeret Dirga sampai ke bagian rumah sakit yang tersem