[Khalifa ini Mama. Surat ini Mama tuliskan terkhusus buat kamu sayang. Maaf, Mama nggak bisa tulis panjang untuk memberi tahu sesuatu sama kamu tapi, hari ini … hari ini perasaan Mama enggak tenang. Mama nggak tau kenapa tapi, Mama benar-benar merasakan perasaan tidak tenang. Untuk mengurangi rasa tidak tenang itu Mama ingin memberitahukan kamu. Sayang, putri bungsunya Mama. Maafin Mama dan Papa ya, maaf karena memaksa kamu buat menikah dengan lelaki bukan pilihan kamu. Maafin Mama sebab maksa kamu buat menggantikan pernikahan yang tidak seharusnya kamu jalan ini. Mama minta maaf. Tapi, ada satu hal yang harus kamu ketahui Nak. Kemarin Khanza menelpon mama lewat telepon luar. Dan yang paling mengejutkan saat itu adalah dia berkata jujur bahwa dia kabur di hari pernikahan itu. Dia tidak menginginkan pernikahan itu. Mama enggak tau apa yang terjadi dengan jalan pikiran Khanza, tapi kamu tau kan seperti apa dia? Khalifa, sebagai orang tua Mama merasa gagal dalam membesarkan kalian be
“Ja--jantungku berdetak sebab hidup, kalo enggak ya mati!” jawab Khalifa setengah gugup. Perempuan itu sedikit menjauh untuk memberi jarak namun dengan tiba-tiba Alby justru memeluknya dari belakang membuat Khalifa terdiam bak patung tanpa nyawa. Khalifa melebarkan pupil matanya, tangan Alby yang melingkar di perutnya serta dagunya yang tersimpan di bahu kiri membuat jantung Khalifa semakin berdetak tak karuan. Benar-benar gugup sekaligus canggung. “Alif kamu tau nggak?” tanya Alby, pria itu tampak nyaman dalam posisinya. “ada hal yang paling istimewa dari diri kamu. Hal yang bikin aku makin cinta dan percaya kalo kamu nantinya bakal balas cinta aku,” ucap Alby. “tau hal istimewa apa itu?” tanyanya untuk yang kedua kali. Dengan jantung berdebum hebat Khalifa merespon dengan gelengan kecil. Sungguh, hembusan napas Alby berhasil membuat Khalifa meremang, merasakan desiran yang kian aneh. “Hal istimewa itu … aku suka cara kamu dalam menunjukkan ekspresi. Kamu cuek, tapi di sisi lain
Khalifa menatap pantulan dirinya di cermin, menyentuh bibirnya yang teringat bagaimana cara Alby menciumnya untuk yang pertama kali. Sungguh, untuk pertama kalinya ia merasakan bagaimana rasanya ciuman. Pipi Khalifa mendadak merah merona, rasa panas tiba-tiba menjalar ke area pipinya itu. “Ish! Apa yang aku pikirkan!” Khalifa menggeleng kecil, ia senyum-senyum sendiri. “Alif?” Panggilan Alby yang tiba-tiba membuat Khalifa terperanjat kaget. Perempuan itu refleks berdiri dari duduknya yang menghadap ke cermin. Alby menatap Khalifa yang juga menatapnya. Alby tersenyum tipis. “aku bawain makan, kita makan di sini ya,” ucap Alby yang memang tengah membawa nampan berisi piring yang sudah ia isi dengan nasi, sedang lauk-pauknya di pisah. Alby menyimpannya di atas meja, “ayo Alif, kenapa malah melamun?” tanya Alby mulai duduk di kursi sofa. Khalifa dengan gugup berjalan menuju Alby, entah kenapa tapi jantung Khalifa saat ini dibuat berdetak sangat cepat. Lagi dan lagi, jika berdekatan
“Jadi, hal apa yang membuat kamu ingin meminta bantuan kami, Khalifa?” tanya Aavar. Di tengah-tengah meja yang melingkar, ke empat orang tersebut saling menatap satu-sama lainnya. Aavar, pria itu menatap Khalifa, termasuk Lusi juga yang menatap Khalifa, Alby? Ia hanya diam mendengar perkataan apa yang akan keluar dari bibir istrinya. Ada rasa cemas sebenarnya, Alby takut jika Khalifa nantinya malah meminta cerai atau apa? Atau mungkin setelah Khalifa buka suara tiba-tiba Aavar yang mengambil kendali. “Pastinya ini mengenai Khanza. Ada hal yang tidak aku mengerti tentangnya.”“Bisa jelaskan apa yang kamu maksud?” tanya Aavar. Perlahan, Khalifa menarik napas, kemudian mulai membuka suara kembali. “Saat hari pernikahan itu. Kalian tau kalau Khanza memilih kabur daripada menikah. Khanza pergi karena keinginannya sendiri, bukan karena orang lain apalagi ada kasus penculikan. Hal itu memicu kekhawatiran untuk Mama dan Papa, namun yang aku temukan setelah membaca surat dari Mama. Kalau
"Lahirkan anak untukku!" ucapnya dengan datar nan dingin. Pemuda dengan pahatan yang tampak sempurna itu menyodorkan uang merah pada perempuan di depannya."Apa Pak? Melahirkan?" Terdapat rona keheranan dari seorang wanita berjilbab tersebut."Maaf, Pak. Saya hanya ingin pinjam uang 200 juta untuk pengobatan ibu saya. Bukan berarti saya ingin mengorbankan keperawanan saya!" Perempuan bernama lengkap Kinara Ariana menggeleng pelan, dia menatap heran sang atasan.Kinara yang terjebak dalam masalah ekonomi membuat dia bertekad menemui sang atasan. Bukan karena apa-apa, tapi saat ini sang ibu tengah terbaring di atas kasur. Dengan rasa sakit yang dia derita membuatnya harus segera ditangani.Dokter menyarankan untuk melakukan operasi sang ibu, namun tentu ada administrasi untuk semuanya. Dan hal yang paling Kinara menyerah adalah masalah uang. Dia tidak mempunyai simpanan banyak untuk operasi Ibunya."Anggap saja ini sebuah tawaran. Saya akan memberimu uang lebih dari 200 juta kalau kau ma
"Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu. "Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun. "Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya. Apa maksudnya? Menikahinya? "Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav. Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini. "Bu, i--ini bukan---""Saya akan
Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris. Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera. Selang beberapa jam kemudian. "Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara. Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu. Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong. Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya. Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karen
"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggunakan baju ini?" tanya Kinara sembari menatap baju merah pekat tersebut. Baju yang kurang bahan, terdapat bolong-bolong di setiap inci baju tersebut. Bahkan jika dipakai pun terlihat sudah seperti tengah telanjang. Bagi Kinara yang setiap harinya memakai jilbab menutup seluruh tubuh jelas membuatnya uring-uringan sendiri. Antara mengiyakan permintaan Aarav atau mungkin ... mencari alasan agar malam ini tidak terjadi? "Ah! Apa yang harus aku lakukan?" Kinara frustasi sendiri. Dia meremas kepalanya dengan resah nan gelisah. Diusianya yang sudah berkepala tiga membuat dirinya semakin takut saja. Padahal seharusnya dia bersyukur karena sudah menikah, tidak dikatakan perawan tua lagi. Apalagi oleh para tetangga yang sukanya menjudge dirinya. Bukankah ini kesempatan bagus untuk menutup mulut mereka yang selama ini menghina dirinya? Tapi, membalas dendam pun bukanlah jalan terbaik. Karena yang jadi masalahnya ... Ia akan dile