Khalifa menatap pantulan dirinya di cermin, menyentuh bibirnya yang teringat bagaimana cara Alby menciumnya untuk yang pertama kali. Sungguh, untuk pertama kalinya ia merasakan bagaimana rasanya ciuman. Pipi Khalifa mendadak merah merona, rasa panas tiba-tiba menjalar ke area pipinya itu. “Ish! Apa yang aku pikirkan!” Khalifa menggeleng kecil, ia senyum-senyum sendiri. “Alif?” Panggilan Alby yang tiba-tiba membuat Khalifa terperanjat kaget. Perempuan itu refleks berdiri dari duduknya yang menghadap ke cermin. Alby menatap Khalifa yang juga menatapnya. Alby tersenyum tipis. “aku bawain makan, kita makan di sini ya,” ucap Alby yang memang tengah membawa nampan berisi piring yang sudah ia isi dengan nasi, sedang lauk-pauknya di pisah. Alby menyimpannya di atas meja, “ayo Alif, kenapa malah melamun?” tanya Alby mulai duduk di kursi sofa. Khalifa dengan gugup berjalan menuju Alby, entah kenapa tapi jantung Khalifa saat ini dibuat berdetak sangat cepat. Lagi dan lagi, jika berdekatan
“Jadi, hal apa yang membuat kamu ingin meminta bantuan kami, Khalifa?” tanya Aavar. Di tengah-tengah meja yang melingkar, ke empat orang tersebut saling menatap satu-sama lainnya. Aavar, pria itu menatap Khalifa, termasuk Lusi juga yang menatap Khalifa, Alby? Ia hanya diam mendengar perkataan apa yang akan keluar dari bibir istrinya. Ada rasa cemas sebenarnya, Alby takut jika Khalifa nantinya malah meminta cerai atau apa? Atau mungkin setelah Khalifa buka suara tiba-tiba Aavar yang mengambil kendali. “Pastinya ini mengenai Khanza. Ada hal yang tidak aku mengerti tentangnya.”“Bisa jelaskan apa yang kamu maksud?” tanya Aavar. Perlahan, Khalifa menarik napas, kemudian mulai membuka suara kembali. “Saat hari pernikahan itu. Kalian tau kalau Khanza memilih kabur daripada menikah. Khanza pergi karena keinginannya sendiri, bukan karena orang lain apalagi ada kasus penculikan. Hal itu memicu kekhawatiran untuk Mama dan Papa, namun yang aku temukan setelah membaca surat dari Mama. Kalau
“Non Khanza, minum dulu obatnya ya, setelah itu Non bisa main,” ucap Bi Wawa tersenyum kecil, menyerahkan beberapa obat yang sering Khanza minum. “Kha? Kenapa sih, setiap habis makan, kamu sering banget minum obat? Gak bosen?” Pertanyaan Khalifa mengundang tatapan dari Bi Wawa dan Khanza. Ketiga orang itu berada di meja makan, lebih tepatnya Khanza dan Khalifa habis menyelesaikan makan siangnya. Dan sekarang kedua kembar itu telah selesai makan dengan Khanza yang harus minum obat selepas makan selesai. “Bosen sih, tapi mau gimana lagi, kalo enggak diminum mana bisa aku jagain kamu yang lemah itu,” ucap Khanza meledek. “Ih, aku beneran Kha!” Khalifa cemberut. Kembarannya selalu seperti itu, tidak pernah mau berkata jujur padanya. “Non Khanza kan pengen kuat, makannya minum obat penambah kuat,” ucap Bi Wawa ikut terkekeh. Wanita itu menatap Khanza yang mulai meminum obatnya. “Kalau begitu aku juga mau dong, biar aku kuat, enggak lemah! Biar pas ada yang jahatin aku, aku bisa lawan
“Sakit Pa….” Khanza menangis tertahan, suaranya tercekat akibat tangisan itu. Sakit, sesak, perih, Aarav begitu pilu mendengar nada suara yang dikeluarkan oleh Khanza, amat memilukan. Teringat bagaimana dulu ia sering menangis, menahan sakit yang selalu dirasa tiap hari. Mamanya memperjuangkan dirinya agar bisa menemukan jantung yang cocok, berbagai tempat, namun jantung yang cukup langka membuat Mamanya dahulu begitu susah dalam menemukan. Dan sekarang semua itu harus dialami pula oleh putrinya. Aarav … belum bisa menemukan jantung yang cocok untuk Khanza. “Yang sabar ya, Papa janji, Papa bakal cari jantung yang cocok buat kamu. Sampai Papa bisa menemukannya, kamu pasti bakal sembuh lagi putriku.”“Kapan?” tanya Khanza dengan suara parau. Aarav terdiam. “Papa sering keluar kota, Papa selalu janji bakal dapetin jantung buat Khanza sembuh. Tapi sampai sekarang … Papa selalu berbohong. Jantung Khanza semakin sakit, Pa….”Aarav benar-benar bungkam. Anak kecil seperti Khanza tidak bis
***“Di sini suhunya dingin, jadi pastikan kalian harus memakai syal, serta jaket yang tebal ya,” ucap Aavar pada kedua kembar. Kini mereka berada di rumah kediaman Aavar yang memang tinggal di Amerika. Perusahaan yang dibangun Aavar melenjit besar di sini, pria yang masih lajang itu sukses di usia mudanya. “Oh iya, Kinar. Lusi enggak ikut?” tanya Aavar setelah sadar bahwa tak ia temukan Lusi. “Bibi Lusi kan lagi ujian sekolahnya, jadi nggak bisa ke sini lah,” jawab Khalifa menjawab pertanyaan Aavar yang seharusnya Kinara jawab. “Ahaha, begitu, padahal ajak aja, Om rindu sama dia,” celetuknya berhasil membuat Kinara mengernyit, menaikan salah satu alisnya. “Ahahah, aku bercanda.”“Cieee, om Aavar nanyain Bibi Lusi. Hahahah. “ Kedua kembar itu tergelak tawa. Cekikikan cukup lucu. “Mereka yang bilang ya, Kinar. Bukan aku lho.” Seakann tahu tatapan Kinara, Aavar hanya cengar-cengir tak jelas. Kinara hanya tersenyum, tidak membalas atau membuka suara. Yah masalahnya Ia sudah tau bag
Khalifa terduduk seorang diri di atas batu dengan pandangan menatap lurus danau. Menatap kosong danau tersebut yang tampak tidak seperti biasanya. Ucapan Aavar kala itu terngiang di telinga Khalifa. “Ketahuilah Khalifa, setelah kecelakaan itu aku sudah menduga kalau dia bukan Khanza, melainkan jiwa orang lain yang masuk menguasai raganya. Ini bukan perpindahan jiwa seperti yang ada dibuku cerita, atau film yang menayangkan seseorang masuk kedunia lain. Bukan,” ucap Aavar. “ini seperti perpindahan sifat saja. Setelah melakukan operasi itu ada kemungkinan sebelumnya Khanza sudah meninggal? Namun, secara kebetulan pula ada seseorang yang sudah meninggal, meninggalkan satu organ yang masih berfungsi. Kamu pun tau Khalifa, saat itu Khanza memiliki penyakit jantung, setelah operasi itu, apa yang terjadi? Dia bahkan bisa sembuh dari penyakitnya? Tidak lagi merasakan sakit. Bukankah itu sebuah kebetulan? Artinya, kepribadian dan sifatnya sudah berkaitan dengan jantung yang ada di tubuh Khanz
"Lahirkan anak untukku!" ucapnya dengan datar nan dingin. Pemuda dengan pahatan yang tampak sempurna itu menyodorkan uang merah pada perempuan di depannya."Apa Pak? Melahirkan?" Terdapat rona keheranan dari seorang wanita berjilbab tersebut."Maaf, Pak. Saya hanya ingin pinjam uang 200 juta untuk pengobatan ibu saya. Bukan berarti saya ingin mengorbankan keperawanan saya!" Perempuan bernama lengkap Kinara Ariana menggeleng pelan, dia menatap heran sang atasan.Kinara yang terjebak dalam masalah ekonomi membuat dia bertekad menemui sang atasan. Bukan karena apa-apa, tapi saat ini sang ibu tengah terbaring di atas kasur. Dengan rasa sakit yang dia derita membuatnya harus segera ditangani.Dokter menyarankan untuk melakukan operasi sang ibu, namun tentu ada administrasi untuk semuanya. Dan hal yang paling Kinara menyerah adalah masalah uang. Dia tidak mempunyai simpanan banyak untuk operasi Ibunya."Anggap saja ini sebuah tawaran. Saya akan memberimu uang lebih dari 200 juta kalau kau ma
"Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu. "Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun. "Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya. Apa maksudnya? Menikahinya? "Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav. Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini. "Bu, i--ini bukan---""Saya akan