"Tapi aib kamu itu memang pantas di umbar, Mas," balasku tak mau kalah. Meskipun suaraku bergetar. Ku tahan sekuat-kuatnya agar air mata tidak lagi luruh di depan bajingan ini.Birana memberi kode kepada Nira untuk membawa Xabi masuk ke dalam kamar. Akhirnya, si sulungku itu tidak jadi ikut dengan ayahnya. Aku lega. Mas Adam tidak membawa Xabi pergi."Kamu ya! Kalau aja dua sahabat kamu ini nggak ada di sini, sudah tak habisin kami." Mata Mas Adam memerah. Aku seperti disambar petir di siang bolong begini. Tega hati Mas Adam mengucapkan kalimat itu setelah tujuh tahun pernikahan tidak pernah kasar kepadaku.Aku tidak berdaya membalasnya. Tentu saja Bira yang mengambil alih. "Heh! Gila kamu ya, Adam! Kami lihat, nggak ada tuh itikad baik kamu untuk sekedar minta maaf sama Ghinda. Dimana urat malu kamu itu. Udah putus ya!""Dia nggak akan butuh maaf dari aku, suami yang cuma bisa jadi benalu di hidup dia. Iya kan?" Mas Adam menatap mataku. Ia menyindir dirinya sendiri. Benar dugaanku, p
"Ghin, yakin mau datang ke rumah orang tuanya Mas Adam?" tanya Bira lagi. Pertanyaan itu berulang kali ia ucapkan padaku. Padahal aku sudah mantap menjawabnya. "Iya, Ra. Aku mau kesana sekarang juga. Ikut ya. Jagain aku kalau mendadak pingsan lagi.""Kamu mau ngapain kesana? Mau kasih tahu orang tuanya kalau anaknya selingkuh? Kan bisa lewat telepon aja, Ghin." Bira tahu, jarak ke kampung Mas Adam lumayan jauh. Sekitar 3 jam perjalanan darat. Aku tahu dia bukan mempermasalahkan jarak, tapi dia mencemaskanku.Kami akan berkunjung berdua kesana. Ke kampung halamannya Mas Adam. Sementara Tara harus pulang lebih dulu ke rumahnya karena aku yang meminta. Aku tahu dan paham, Tara punya suami dan anak yang harus ia urus. Berbeda dengan Bira, sahabatku yang satu ini belum pernah menikah. Usianya sama denganku. Tapi pilihan hidupnya begitu. Katanya, ada seseorang yang masih dia tunggu."Iya aku mau kasih tau ke keluarganya. Sekalian silaturahmi. Udah dua tahun nggak kesana." Aku menghitung wak
Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ketika aku melihat ibuk, aku segera mencium tangannya dengan takzim. Aku berusaha untuk tersenyum di depannya. Meskipun saat ini tangisku akan meledak karena sakit yang kurasa tidak bisa tertahankan lagi. Aku menjawab pertanyaannya. "Iya, Bu. Aku baru aja sampai ke sini. Ini teman aku. Kenalin Bu, namanya Birana."Birana langsung mengulurkan jabatan tangannya kepada Ibuk. Lalu, dia memperkenalkan dirinya sendiri. "Perkenalkan, aku Birana. Sahabat dekatnya Ghinda, Bu.""Oh iya salam kenal, Birana," jawab ibuk dengan ramah. "Ayo kita masuk dulu," imbuhnya lagi mempersilahkan kami masuk.Aku dan Bira melangkahkan kaki mengikuti Ibuk dari belakang untuk masuk kedalam rumahnya. Benar yang dikatakan Mbak Ayu, di dalam rumah itu sudah banyak makanan yang tersaji dan juga sanak keluarga jauh yang sempat ku kenal hadir di sini. Ada sebagian dari mereka tampak kebingungan ketika melihatku. Mungkin mereka bertanya-tanya mengapa aku bisa hadir di acara persia
Aku langsung menjawab. "Iya, Mas. Ini aku Ghinda yang masih berstatus menjadi istrimu, perempuan yang kamu selingkuhi."Dengan ketus aku bersuara lagi. "Kenapa, Mas? Kok kaget? Nggak boleh ya aku datang kesini? Kan aku mau ngelihat gimana proses acara pernikahan kalian, meskipun aku nggak dikasih tahu apa-apa."Urat leher mas Adam tampak memerah. Dia menelan air liurnya berulang kali. Sementara perempuan di sebelahnya hanya bisa menunduk. Dari kemarin sejak aku menggerebek mereka di hotel, aku belum pernah mendengar suara Tere berbicara kepadaku..Padahal aku menantangnya. Aku ingin tahu mengapa dia bisa merebut suamiku."Kamu ngapain kesini, hah? Kamu mengundang keributan aja. Tuh lihat orang-orang pada kepo," kata Mas Adam sembari menunjuk ke arah luar, dimana tetangga ibuk semuanya berkumpul mengerubungi rumah yang tidak terlalu besar ini.Memang sudah banyak para tetangga yang melihat kami. Mungkin mereka penasaran kenapa ibuk menangis sejadi-jadinya dan bertanya-tanya kenapa pula
Aku terpaksa turun ke bawah untuk menemui dua laki-laki yang dimaksud Nira itu. Setelah sampai di lantai utama, ku buka pintu luar dan kemudian aku melihat dua laki-laki sedang berdiri di teras rumahk. "Maaf, cari siapa ya?" tanyaku dengan heran.Kemudian dua laki-laki itu secara kompak membalikkan badannya ke arahku. "Apakah benar ini rumah Ibu Ghinda Addri?" Salah satu dari mereka bertanya padaku.Aku mengangguk. "Iya benar. Saya sendiri Ghinda Addri.""Selamat siang, Bu Ghinda Addri. Kami dari debt collector pinjaman online ingin menagih hutang Bapak Adan. Kami sudah menghubungi bapak Adam tetapi tidak ada jawaban. Tidak ada itikad baik beliau untuk membayar semua hutangnya. Maka kami mendatangi alamat ini. Apa benar ini alamat Bapak Adam?"Aku mengangguk sembari tercengang. Lalu pria itu melanjutkan kalimatnya lagi. "Di aplikasi pinjaman tertera bahwa di sini merupakan alamat Bapak Adam dan beliau mencantumkan nama Ibu Ghinda sebagai walinya untuk membayar hutang.""Hah?" kataku s
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi." Aku langsung mematikan sambungan telepon ketika mendengar suara wanita itu."Nomornya mas Adam nggak aktif," batinku kesal.Aku segera naik ke atas kamar untuk beristirahat. Badanku akhir-akhir ini sangat terasa lelah sekali. Mungkin faktor dari kehamilanku yang masih sangat muda ini.Namun, ketika aku hendak merebahkan tubuh di atas kasur, teleponku berdering. Rina yang merupakan manajer ku sedang menghubungiku. Aku segera mengangkatnya. "Iya, Rin. Ada apa?" tanyaku.Di seberang telepon sana Rina menjawab, "Maaf, Bu. Saya ingin memberitahu informasi bahwa hari ini Kev Company ingin meminta untuk meeting dadakan bersama ibu, karena kita akan ada pemilihan bahan tekstil baru, Bu. Jadi perlu adanya persetujuan diantara kedua belah pihak."Aku menghela nafas lelah. "Jam berapa, Rin?"Sejak aku masuk ke rumah sakit, aku memang tidak berangkat ke kantor. Aku minta Rina yang menghandle aktivi
"Wah, selamat ya Ghinda atas kehamilan kamu," ucap Mas Ginan kepadaku. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum. Kemudian dia bertanya lagi, "Jadinya ini anak kamu yang ketiga?" tanyanya.Aku menggangguk. "Iya, Mas. Betul." Mas Ginan tahu bahwa ini anakku yang ketiga karena kemarin waktu pertama kali aku bertemu dengannya di Kev Company, ia sempat menanyakan tentang jumlah anakku. Lalu aku menjawab bahwa aku memiliki 2 anak.Tiba-tiba Mas Ginan mempertanyakan kabar Mas Adam. "Gimana kabar suami kamu? siapa namanya? kalau nggak salah Adam ya?" katanya memastikan.Ekspresi wajahku yang tadi tersenyum, kini berubah menjadi masam. Aku terdiam sejenak, memikirkan bagaimana caranya aku menjawab pertanyaan ini. Namun sepertinya Mas Ginan dapat membaca raut wajahku."Kenapa, Ghinda? Apa pertanyaanku ada yang salah?" tanyanya. Wajah Mas Ginan terlihat sungkan ketika menatapku. Mungkin ia merasa bersalah menanyakan hal tadi.Aku menelan saliva, dan berusaha mengontrol diri agar tidak keceplosan t
Aku tetap diam, membiarkan dia sujud di bawah kakiku. Ku lipatkan kedua tangan di atas dada. Aku memandangnya dengan sinis. "Bisa-bisanya kamu baru minta maaf sekarang, dan mohon-mohon setelah semua aset ku ambil alih.""Dek, mohon kasih Mas kesempatan lagi," pintanya membalas. Air matanya kini turun membasahi pipi. Sedangkan aku tetap tidak peduli.Kemudian aku bersuara lagi. "Kamu nangis? Baru sekarang nangisnya? Lap itu air mata buaya kamu. Aku enggak butuh. Aku nggak percaya lagi, Mas. Sakit banget tau nggak! Kamu nggak kamu nggak hanya selingkuhin, aku tapi keluargamu juga mengkhianati aku dan membohongiku. Ngak tahu terima kasih!""Udah, Mas! Tolong pergi dari rumahku kita! Aku akan mengurus perceraian dengan segera. Besok pagi aku mau ke kantor pengadilan agama untuk urus itu kalau kamu memang nggak sempat."Ku tambahkan lagi. "Urus saja acara persiapan pernikahan mu dengan perempuan jalang itu!" kataku lagi menambahkan."Kamu mau keluar sendiri? Atau aku paksa untuk keluar?" t