"Kalian sudah berapa lama?" tanya Naura tanpa menatap kami.
"Kalian?" tanyaku memastikan. "Iya, kamu dan Intan." jawab Naura datar. "Kami tidak ada hubungan apa-apa, Mbak," jawab Intan gugup, wajahnya terlihat cukup pucat. Naura tertawa, seperti tawa yang dipaksakan. "Iya, kalian sudah berapa lama mengenal? Kenapa jadi ke mana-mana jawabannya." Beberapa saat aku merutuki kebodohan jawaban Intan. Kami malah terlihat seperti ada apa-apa jika seperti ini. Aku juga bisa melihat Intan semakin gugup dibuatnya. "Kami tidak terlalu kenal sebelumnya. Mas cuma mengenal kakak Intan, baru kali ini saja cukup banyak mengobrol. Biasanya setiap Mas ke rumah kakaknya, Intan di dalam kamar saja," aku menjelaskan dengan santai, agar terlihat tidak mencurigakan. Naura mengangguk-angguk saja. "Naura kira sudah lama mengenal, karena kalian terlihat begitu tahu satu sama lain," jawab Naura ceplas-ceplos. Intan menggeleng cepat, gelengan yang patah-patah dan terkesan aneh. "Tidak, Mbak, kami tidak begitu akrab," Intan menimpali. Setelah selesai makan-makan, kami semua kembali ke kamar masing-masing. Sekarang aku sedang melihat Naura menyiapkan pakaian yang akan dia bawa menginap. Ternyata mereka berangkat hari ini. Sebenarnya, rumah mertuaku masih satu kota, hanya beda daerah saja. Hanya memerlukan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk tiba di sana. "Kamu yakin tidak mau Mas antar?" aku bertanya untuk kesekian kalinya, memastikan. Naura menggeleng tegas. "Tidak usah, Mas, Naura bisa sendiri." Setelah selesai menyiapkan baju dan perintilan yang akan dibawa, Naura berpamitan, begitu juga dengan Layla. Layla terlihat senang sekali karena akan bertemu neneknya. Aku menatap mobil yang semakin hilang dari pandangan, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Aku mendapati Intan tengah duduk di sofa sembari menonton televisi. Dia menggunakan baju rumahan yang cukup seksi. "Mas, kamu sudah janji ajak aku jalan-jalan!" Aku terkekeh sebentar melihat wajah cemberutnya, "Mau ke mana memang, Sayang?" "Aku mau ke mal, mau beli baju. Baju Intan sudah jelek," jawab Intan, sembari memanyunkan bibirnya. Jurus andalan membuatku gemas bukan kepalang. "Yasudah, ayo kita ke mal." Intan tersenyum sumringah, sangat girang. Dia segera berlari ke kamar untuk berganti baju. Setelah beres kami segera berangkat. Intan sangat cantik menggunakan bajunya yang berwarna merah. Jarak antara rumah dan mal tidak jauh, hanya memerlukan waktu kurang lebih dua puluh menit. Setiba di pusat perbelanjaan itu mereka langsung memasuki sebuah toko yang menjual aneka ragam pakaian dalam wanita. Intan membeli beberapa yang menurutnya aku akan suka. Intan sangat memikirkan kesenanganku, sangat berbeda dengan Naura. "Kalau motif macan seperti ini kamu suka tidak, Mas?" Aku menatap pakaian dalam bermotif macan itu, seketika fantasi nakal berkeliaran di kepala. Membayangkan betapa cantiknya Intan menggunakannya. "Bungkus, Sayang!" jawabku semangat. Intan terkekeh sebentar. Selesai berburu pakaian dalam, kami memasuki toko selanjutnya. Toko yang menjual tas-tas wanita. Bisa aku lihat wajah senang Intan. "Mas, aku boleh ambil berapa tas?" bisik Intan hati-hati. Aku tertawa pelan, "Kamu mau berapa?" tanyaku sedikit menggoda. "Berapa saja deh." "Ambil sepuas kamu, Sayang, yang penting kamu bahagia," aku menjawab dengan penuh keyakinan. Bisa aku lihat lagi-lagi senyum yang mengembang di wajah Intan tidak bisa ditutupi. Dia sangat bahagia hari ini. Intan memilih dua buah tas dengan harga yang cukup mahal, tapi tidak mengapa, yang penting istriku bahagia. Setelah melakukan pembayaran, kami beranjak ke toko selanjutnya. Toko yang menjual baju-baju wanita. Intan asyik memilih baju-baju, sudah ada beberapa yang dia masukkan ke dalam keranjang. Aku duduk saja di sebuah sofa di dalam toko itu, sambil memperhatikan Intan dari kejauhan. Ponselku berdering, sebuah pesan masuk. [Aku sudah sampai di rumah ibu, Mas] Pesan dari Naura. Aku memilih untuk tidak membalasnya. Tidak begitu penting, yang penting dia sudah sampai di sana dengan selamat. Aku lihat dari kejauhan Intan berjalan ke arahku. Sepertinya dia sudah selesai dengan belanjaannya. "Sudah, Mas, waktunya kamu bayar," ucap Intan sambil tersenyum. "Mau tidak ya Mas bayar?" aku menjawab sambil seolah terlihat berpikir. Intan mencubit aku pelan, "Kalau kamu tidak mau bayar, aku nanti ditahan di sini. Kamu mau?" Aku terkekeh ringan, lalu segera beranjak menuju kasir, menggesek kartu debit untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa puluh juta yang aku keluarkan untuk Intan hari ini. Yang terpenting bagiku adalah kebahagiaannya. Kami segera keluar dari toko, berniat mencari makan terlebih dahulu baru melanjutkan aktivitas berburu lagi. Kami berjalan beriringan, sambil menautkan tangan. Tanganku sibuk dengan semua paper bag milik Intan. "Zain!" seseorang memanggil namaku dari belakang, aku dan Intan refleks menengok. Jantungku lagi-lagi rasanya berhenti. Wanita yang di depan ku saat ini adalah Mika, sahabat karibnya Naura. Bisa-bisanya kami bertemu di saat seperti ini.Jantungku lagi-lagi rasanya berhenti. Wanita yang di depanku saat ini adalah Mika, sahabat karibnya Naura. Bisa-bisanya kami bertemu di saat seperti ini."Apa kabar, Mik?" aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat gugup dan mencurigakan."Baik kok! Ini siapa?" tanya Mika bingung, menunjuk ke arah Intan."Ini saudara sepupuku, datang dari luar kota." jawabku cepat.Mika terlihat percaya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kamu sudah jarang sekali main ke rumah, sibuk banget ya?" tanyaku kemudian.Mika menggeleng, perubahan ekspresi terlihat jelas dari wajahnya, "Aku kan bertengkar dengan Naura, kamu tidak tahu?"Aku cukup terkejut mendengar itu, kenapa Naura tidak pernah mengatakan apa pun kepadaku?"Panjang lah ceritanya, yang jelas sudah satu tahun kebelakang ini kami sudah tidak pernah lagi berhubungan," jelas Mika."Yasudah ya, Zain, aku sedang buru-buru, kapan-kapan kita mengobrol lagi."Aku mengangguk, lalu Mika berlalu, meninggalkan kami berdua. Aku menghela napas le
"Mas, itu CCTV ya?" pertanyaan Intan membuat keningku berkerut.Lalu aku melihat ke arah telunjuk Intan, mataku menyipit sempurna, memperhatikan benda itu. CCTV? Sejak kapan ada CCTV? Kami benar-benar tidak pernah memasang CCTV di kamar.Aku melepaskan pelukan kami dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arah CCTV tersebut. Benar saja, itu adalah CCTV. Setelah aku periksa, CCTV itu menyala. Perasaanku campur aduk. Aku menggaruk kepala gusar dan tanpa berpikir panjang segera menarik tangan Intan untuk keluar kamar.“CCTV itu menyala,” aku duduk di sofa. Keningku berkerut, siapa lagi yang memasang itu jika bukan Naura? Dengan gerakan cepat, aku menelpon Naura.Tiga kali percobaan tidak ada jawaban, percobaan keempat baru mendapatkan jawaban.“Ada apa, Mas?” terdengar suara Naura dari seberang sana.“Sejak kapan kamar kita ada CCTV?” aku langsung memburu Naura dengan pertanyaan itu, tanpa basa-basi.“Sudah lama sih, jaga-jaga saja agar jika ada maling dia takut karena ada CCTV.” jawab Naura
Intan mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia celupkan ke cairan urine."Apa hasilnya, Sayang?" aku bertanya, tidak sabar. Karena melihat Intan diam saja, tidak bergeming."Sayang?" aku kembali mendesak Intan yang masih saja diam sambil menatap alat itu."Mas, Intan hamil," jawab Intan. Dia terlihat syok dengan fakta itu. Dia menyerahkan alat tes kehamilan itu kepadaku. Garis dua, walau samar.Aku mengacak-acak rambut frustrasi."Tidak apa-apa kamu hamil, kita menikah secara sah, namun apa nanti kata Naura kalau tahu kamu hamil?""Terpaksa kamu harus pindah dari rumah ini," aku memberikan solusi yang masuk akal. Dengan Intan pindah rumah, akan lebih mempermudah bukan? Dia bisa dengan leluasa merawat dan membesarkan kandungannya tanpa harus sembunyi-sembunyi."Intan tidak mau pisah rumah sama Mas!" jawab Intan bersikukuh. Kepalaku pusing. Intan sangat keras kepala, ide-idenya sangat membahayakan dan terkesan egois kedengarannya."Akan susah, Sayang," jawabku lembut, sebisa mungkin
Aku diam saja, kembali duduk disofa. Persetan dengan Intan, aku harus memikirkan banyak hal sekarang."Mas, kenapa dia?" aku kaget, Naura berdiri didepan pintu, sejak kapan dia disana? Apa dia mendengar percakapanku barusan?“Sayang, kamu sudah pulang? Dimana Layla.” aku menjawab cepat, mengalihkan pembicaraan.“Layla ditempat temanya, aku titipkan tadi, dia tidak mau pulang. Intan kenapa?” tanya Naura bingung. Naura menatap koper yang tergeletak dilantai.“dia mau pulang, karena merasa tidak enak merepotkan tinggal disini,” aku bingung menjawab apa, habis sudah alasan yang ada dikepalaku ini. Naura diam saja, terlihat tidak mau tahu lebih lanjut. “Yasudah, Naura mau ganti baju dulu.” jawab Naura.Dia berlalu saja, tidak penasaran tentang apapun. Syukurlah. Aku mengambil koper Intan, meletakanya didepan pintu. Aku sedang tidak ingin membujuknya. Karena aku merasa tidak salah, harusnya suami dihormati bukan?Aku segera masuk kekamar. Suara air keran terdengar, Naura sedang mandi. Aku
[kalau mas memang gak mau janin ini, intan akan gugurkan]Aku menghela nafas kasar, apa lagi sih? Hidupku seolah tidak bisa tenang dibuatnya.Belum sempat aku membalas pesan itu, masukLagi pesan baru dari Intan juga.[mas kira aku gak sakit hati dengar desahan Naura? waktu aku lagi nangis, mas gak ada nenangin aku sama sekali, malah sibuk sama jalang itu]Aku menghela nafas kasar, memilih untuk tidak membalasnya. Aku memijat pelipisku. Pusing rasanya, "ada apa mas?" tanya Naura bingung melihat tingkahku yang seketika berubah. Aku menggeleng sambil tersenyum paksa. "Gak ada apa-apa, yuk kita jemput Layla, nanti keseorean," Naura mengangguk setuju, sekilas Naura tampak melihat jam yang ada ditanganya.Setelah membayar, aku segera melajukan mobilku, membelah jalanan kota yang sedikit basah karena hujan. Jarang tempuh antara restoran dengan rumah Ratu tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit.Setelah sampai dirumah Ratu, memastikan semua barang-barang Layla tidak ada yang tertinggal, da
Aku menatap Naura sebentar, kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang itu."Hamil?" tanyaku."Iya, kaya Intan." jawab Naura singkat, padat, mengagetkan."Eh, kok Intan sih. Maksudnya kaya Maura," Naura meralat, menyebutkan nama salah satu teman kami. "Maura hamil?" tanyaku, sedikit lega."Iya, sudah empat bulan.""Gapapa sih kalau kamu hamil, Layla punya adek deh.""Mas, mas gak selingkuh kan?" tanya Naura serius.Aku terkekeh, "emang mas bisa selingkuh dari istri yang bentukanya secantik ini?" tanyaku sambil menggoda.Naura tersenyum kecut, "jadi mas gak selingkuh?" Aku menggeleng yakin. "Tentu saja tidak." aku menjawab mantap. Naura mengangguk-anggukan kepalanya.Setelah itu Naura keluar kamar, dia ingin mengangkat jemuran. Hari sudah sore. Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Dimas, sahabat dekatku. Kami juga dulu selalu satu sekolah dari sekolah dasar sampai kuliah.[bro, malam ini sibuk gak? kumpul lah, dirumah Reza]Aku membalas pesan itu dengan cepat.[boleh, ngopi kita] ak
[besok Intan gugurin kandungan]Aku mengusap wajah gusar, apa lagi yang akan terjadi setelah ini?"Bro, intan mau gugurin kandungan," ucapanku membuat dua sahabatku itu menghentikan aktivitas mereka."Kenapa?" tanya Reza bingung."Ya, sebenarnya kami ada masalah lah." "Menurut kalian gimana? Biarin aja?" tanyaku bingung."Jangan bego." jawab Dimas cepat."Lo sudah nikah kan? Sah di mata agama kan? Dosa jatohnya kalau lo gak mencegah Intan gugurin kandunga," jelas Dimas."Lagian, kenapa juga segala digugurin. Kaya pacaran aja," Reza terlihat bingung."Intan itu maunya tetap tinggal dirumah gue, terus mau gue akuin hubungan kami ke Naura, gue tentang lah, yakali. Makanya dia mau gugurin kandungan karena gue menolak itu." "Siapa suruh lo nikahin ani-ani," sanggah Dimas cepat.Aku sebenarnya ingin marah dengan perkataan Dimas barusan. Tapi benar juga. Aku bahkan bertemu Intan ditempat yang hina."Cewek begitu, kalau dicintai tulus ya banyak tingkah," sanggah Reza."Lagian ya, lo itu buk
“Itu apa? Hasil usg?” tanya Naura tiba-tiba. Dia tidak sengaja melihat hasil usg yang terletak di atas meja tidak jauh dari kasur.Intan panik bukan kepalang, buntu sebuntu-buntunya ingin menjawab apa.“Sayang!” aku memanggil Naura berulang-ulang namun juga tidak mendapatkan jawaban. Lalu tidak sengaja aku melihat separuh tubuhnya berada dikamar Intan. Sedang apa dia?“Kamu sudah pulang?” tanya Naura. Seketika dia melupakan tentang hasil usg itu. Z“Sudah, kamu masak apa?” tanyaku.“Naura gak masak, kita pesan online aja.”Aku mengangguk, lagipun aku bukan tipe suami yang patriaki, jika istri tidak mau masak yasudah, selama masih ada uang, semua lancar.“Mau kemana tan?” tanyaku kepada Intan, berlagak seolah tidak tahu menahu tentang apapun.“Besok kayanya aku pulang mas,” Jawab Intan cepat, dia sudah paham alur skenario rupanyaz“Loh, kenapa?” tanyaku lagi, sudah seperti tetangga kepo.“Iya, karena susah juga cari kerja disini,” Naura diam saja mendengarkan percakapan kami, sepertiny