Share

“Kecurigaan Seorang Istri”

Aku menarik napas perlahan, menetralisirkan perasaan gugup.

"Dari toilet." jawabku santai.

"Toilet kita rusak?" tanya Naura, matanya menatap pintu toilet yang ada di kamar kami.

Aku panik bukan kepalang. Mencoba mencari alasan yang masuk akal.

"Sekalian ambil air minum." jawabku sambil berjalan menuju kasur.

Naura menatap air minum yang ada di nakas. Aku paham maksud pikirannya, namun Naura tidak memperpanjang. Dia memilih kembali tidur dengan posisi membelakangi ku.

Perasaanku sangat tidak nyaman. Apakah Naura tahu aku baru dari kamar Intan? Apa Naura tadi membuntutiku? Ah, memikirkannya semakin membuatku pusing. Perasaanku semakin tidak nyaman.

"Kamu terbangun?" aku mencoba bertanya kepada Naura. Dia tidak menjawab. Apakah dia sudah tidur?

Aku memilih untuk diam. Pikiran di kepalaku semakin berkecamuk. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang tadi terjadi. Akibatnya aku tidak bisa tidur hingga pagi. Syukurnya besok aku tidak bekerja, sehingga bisa bangun lebih siang.

Cahaya matahari menembus jendela. Aku masih saja enggan bangun. Lalu aku rasakan sentuhan tangan halus menyentuh dada bidangku, lalu turun ke perut.

Tidak lama kemudian, ciuman hangat mendarat di pipi kananku. Samar-samar aku membuka mata, semakin kaget lagi ketika mendapati yang ada di depanku sekarang adalah Intan, bukan Naura.

Aku terbangun, duduk seketika, kaget? Tentu saja.

"Kamu ngapain di sini? Nanti ketahuan Naura!" nada bicaraku sudah mulai hendak marah, karena panik.

"Istrimu pergi, sama Layla." jawab Intan enteng.

Aku menghela napas lega. Aku pikir Intan melakukan hal nekat, berani-beraninya masuk kamar ku dengan Naura.

"Mas, jalan-jalan yuk!" rengek Intan.

Aku menggaruk kepalaku, sebenarnya aku sedang tidak bersemangat, pasalnya aku masih terngiang kejadian semalam, mendapati Naura tiba-tiba bangun. Pikiranku masih saja tidak tenang.

"Mau ke mana?" tanyaku akhirnya.

"Kan Intan sudah bilang kemarin mau belanja baju!" Intan cemberut karena aku melupakan janji ku.

Belum sempat aku menjawab, teriakan Layla sudah menghentikan gerakan bibirku terlebih dahulu.

"Ayah!" panggil Layla. Kakinya terdengar berlari dari ruang tengah menuju kamar.

Mataku melotot, Intan juga sama terkejut, di posisi seperti ini, kami bingung ingin bertindak seperti apa.

"Ayah! Layla bawakan sesuatu!" Suara Layla semakin dekat, aku refleks bangun dari kasur, ingin keluar dari kamar, namun belum sempat aku keluar dari kamar, sesuatu yang mengejutkan sudah ada di ambang pintu.

Layla menggunakan topeng monyet, berusaha menakut-nakuti ku. Sebenarnya beberapa saat Layla terdiam, mungkin dia bingung kenapa ada Intan di kamar kedua orang tuanya. Namun dengan cepat aku segera mengalihkan perhatian Layla.

Aku segera keluar kamar, menuntun Layla ke ruang tamu. Sebelum Naura menyadari aku sedang berduaan dengan Intan di kamar. Intan dengan sigap keluar terbirit-birit dari kamar lalu berlari ke dapur. Jujur, jantungnya pun juga tengah berdansa saking gugupnya.

"Kamu beli topeng monyet?" tanyaku kepada Layla, guna mengusir kegugupan yang melanda.

"Iya! Ayah boleh pinjam kok." jawab Layla.

Lalu aku melihat Naura baru saja masuk rumah, membawa beberapa kantong belanjaan. Tidak ada senyum di bibirnya. Sama sekali tidak ada. Dengan sigap aku membantu Naura membawa kantong belanjaan ke dapur.

Tanpa banyak kata, Naura mengeluarkan belanjaannya tadi. Sepertinya dia hendak memasak. Tidak lama datang Intan dari arah kamar. Dia berniat membantu Naura.

"Mau masak apa, Mbak? Biar aku bantu," ucap Intan sopan.

Naura senyum saja sekilas. Benar-benar hanya sekilas.

"Gak usah, Mbak, tamu duduk saja, tamu adalah raja." jawab Naura. Entah kenapa ucapannya terdengar sarkas. Intan melirikku sebentar, lalu dia inisiatif memotong sayuran yang ada.

"Sudah dapat kerja, Mbak?" tanya Naura tanpa menatap Intan sedikit pun.

"Belum, Mbak." jawab Intan gugup.

Lalu Naura bertanya lagi, "Sudah dicari?"

"Sudah, Mbak, tapi belum ada yang cocok." jawab Intan.

"Semoga cepat dapat," Naura bergumam.

"Sudah punya pacar?" tanya Naura lagi.

Intan menggeleng. Kenapa tiba-tiba Naura banyak berbicara?

"Cari pacar, Mbak, biar nikah. Enak loh tidur ada temannya," ucap Naura tertawa hambar.

Intan mengangguk saja. Perasaannya semakin tidak nyaman.

"Semenjak nikah, aku lebih bahagia. Tidur ada temannya, mandi ada temannya, bisa kirim foto seksi ke suami tanpa mikir dosa," Naura semakin berceloteh.

Dahiku mengerut. Sejak kapan Naura pernah mengirimkan foto seksi? Perasaan gugup mengeruak. Apakah Naura mengetahui hubunganku dengan Intan?

"Iya, Mbak, aku juga mau segera." jawab Intan.

"Bagus! Menyenangkan, Mbak, coba aja!" jawab Naura penuh semangat.

Aku lihat wajah Intan terlihat tidak tenang. Sampai-sampai potongan sayurnya tidak beraturan.

Aku memutuskan menjauh dari dapur. Karena semakin mendengar celotehan Naura aku semakin tidak karuan. Aku kembali ke kamar, memutuskan untuk mandi. Dengan perasaan gundah.

Aku biarkan air dingin membasahi kepala hingga ujung kaki. Memberikan ketenangan walau sebentar. Perasaan tidak enak berkecamuk di dada. Aku belum siap jika menghadapi kenyataan bahwa Naura mengetahui hubunganku dengan Intan.

Apa yang harus aku jawab? Karena perbuatanku sangat tidak dibenarkan. Setelah kurang lebih lima belas menit mandi, aku keluar kamar menggunakan handuk saja. Kudapati Naura tengah duduk di meja rias.

"Makan, Mas, sudah siap," ucap Intan ketika menyadari kehadiranku.

Aku segera menyusul Naura pergi ke dapur setelah memakai baju. Naura seperti biasa mengambilkan makan untukku, tapi kali ini tidak. Dia hanya mengambil miliknya dan Layla.

"Punyaku?" tanyaku bingung.

"Oh iya, Naura lupa," jawab Naura enteng.

"Sekalian dong, Mbak, hitung-hitung latihan punya suami," ucap Naura kepada Intan.

Intan kaget bukan kepalang, menatapku dengan pandangan bingung. Namun Intan tetap mengikuti perintah Naura.

"Aku nanti mau menginap di rumah ibu satu malam, Mas, sama Layla," ucap Naura. Pandangannya tetap ke arah piring, tidak menatapku sama sekali.

"Kapan? Biar aku antar." jawabku.

"Gak usah, aku bawa mobil sendiri aja."

Di sisi lain, Intan berteriak girang dalam hati. Dia semakin mudah menghabiskan waktu bersama suaminya.

Semakin melakukan simulasi menjadi nyonya sesungguhnya di rumah. Tanpa ada Naura. Tanpa takut ketahuan Naura, tanpa sembunyi-sembunyi. Walaupun cuma satu malam.

Aku tersenyum tipis, aku memikirkan tentang malam panas yang akan aku dan Intan lalui. Tidak khawatir apa pun.

"Kalian sudah berapa lama?" tanya Naura tanpa menatap kami.

"Kalian?" tanyaku memastikan.

"Iya, kamu dan Intan." jawab Naura datar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status