"Kalian sudah berapa lama?" tanya Naura tanpa menatap kami."Kalian?" tanyaku memastikan."Iya, kamu dan Intan." jawab Naura datar."Kami tidak ada hubungan apa-apa, Mbak," jawab Intan gugup, wajahnya terlihat cukup pucat.Naura tertawa, seperti tawa yang dipaksakan."Iya, kalian sudah berapa lama mengenal? Kenapa jadi ke mana-mana jawabannya."Beberapa saat aku merutuki kebodohan jawaban Intan. Kami malah terlihat seperti ada apa-apa jika seperti ini. Aku juga bisa melihat Intan semakin gugup dibuatnya."Kami tidak terlalu kenal sebelumnya. Mas cuma mengenal kakak Intan, baru kali ini saja cukup banyak mengobrol. Biasanya setiap Mas ke rumah kakaknya, Intan di dalam kamar saja," aku menjelaskan dengan santai, agar terlihat tidak mencurigakan.Naura mengangguk-angguk saja."Naura kira sudah lama mengenal, karena kalian terlihat begitu tahu satu sama lain," jawab Naura ceplas-ceplos.Intan menggeleng cepat, gelengan yang patah-patah dan terkesan aneh."Tidak, Mbak, kami tidak begitu ak
Jantungku lagi-lagi rasanya berhenti. Wanita yang di depanku saat ini adalah Mika, sahabat karibnya Naura. Bisa-bisanya kami bertemu di saat seperti ini."Apa kabar, Mik?" aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat gugup dan mencurigakan."Baik kok! Ini siapa?" tanya Mika bingung, menunjuk ke arah Intan."Ini saudara sepupuku, datang dari luar kota." jawabku cepat.Mika terlihat percaya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kamu sudah jarang sekali main ke rumah, sibuk banget ya?" tanyaku kemudian.Mika menggeleng, perubahan ekspresi terlihat jelas dari wajahnya, "Aku kan bertengkar dengan Naura, kamu tidak tahu?"Aku cukup terkejut mendengar itu, kenapa Naura tidak pernah mengatakan apa pun kepadaku?"Panjang lah ceritanya, yang jelas sudah satu tahun kebelakang ini kami sudah tidak pernah lagi berhubungan," jelas Mika."Yasudah ya, Zain, aku sedang buru-buru, kapan-kapan kita mengobrol lagi."Aku mengangguk, lalu Mika berlalu, meninggalkan kami berdua. Aku menghela napas le
"Mas, itu CCTV ya?" pertanyaan Intan membuat keningku berkerut.Lalu aku melihat ke arah telunjuk Intan, mataku menyipit sempurna, memperhatikan benda itu. CCTV? Sejak kapan ada CCTV? Kami benar-benar tidak pernah memasang CCTV di kamar.Aku melepaskan pelukan kami dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arah CCTV tersebut. Benar saja, itu adalah CCTV. Setelah aku periksa, CCTV itu menyala. Perasaanku campur aduk. Aku menggaruk kepala gusar dan tanpa berpikir panjang segera menarik tangan Intan untuk keluar kamar.“CCTV itu menyala,” aku duduk di sofa. Keningku berkerut, siapa lagi yang memasang itu jika bukan Naura? Dengan gerakan cepat, aku menelpon Naura.Tiga kali percobaan tidak ada jawaban, percobaan keempat baru mendapatkan jawaban.“Ada apa, Mas?” terdengar suara Naura dari seberang sana.“Sejak kapan kamar kita ada CCTV?” aku langsung memburu Naura dengan pertanyaan itu, tanpa basa-basi.“Sudah lama sih, jaga-jaga saja agar jika ada maling dia takut karena ada CCTV.” jawab Naura
Intan mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia celupkan ke cairan urine."Apa hasilnya, Sayang?" aku bertanya, tidak sabar. Karena melihat Intan diam saja, tidak bergeming."Sayang?" aku kembali mendesak Intan yang masih saja diam sambil menatap alat itu."Mas, Intan hamil," jawab Intan. Dia terlihat syok dengan fakta itu. Dia menyerahkan alat tes kehamilan itu kepadaku. Garis dua, walau samar.Aku mengacak-acak rambut frustrasi."Tidak apa-apa kamu hamil, kita menikah secara sah, namun apa nanti kata Naura kalau tahu kamu hamil?""Terpaksa kamu harus pindah dari rumah ini," aku memberikan solusi yang masuk akal. Dengan Intan pindah rumah, akan lebih mempermudah bukan? Dia bisa dengan leluasa merawat dan membesarkan kandungannya tanpa harus sembunyi-sembunyi."Intan tidak mau pisah rumah sama Mas!" jawab Intan bersikukuh. Kepalaku pusing. Intan sangat keras kepala, ide-idenya sangat membahayakan dan terkesan egois kedengarannya."Akan susah, Sayang," jawabku lembut, sebisa mungkin
Aku diam saja, kembali duduk disofa. Persetan dengan Intan, aku harus memikirkan banyak hal sekarang."Mas, kenapa dia?" aku kaget, Naura berdiri didepan pintu, sejak kapan dia disana? Apa dia mendengar percakapanku barusan?“Sayang, kamu sudah pulang? Dimana Layla.” aku menjawab cepat, mengalihkan pembicaraan.“Layla ditempat temanya, aku titipkan tadi, dia tidak mau pulang. Intan kenapa?” tanya Naura bingung. Naura menatap koper yang tergeletak dilantai.“dia mau pulang, karena merasa tidak enak merepotkan tinggal disini,” aku bingung menjawab apa, habis sudah alasan yang ada dikepalaku ini. Naura diam saja, terlihat tidak mau tahu lebih lanjut. “Yasudah, Naura mau ganti baju dulu.” jawab Naura.Dia berlalu saja, tidak penasaran tentang apapun. Syukurlah. Aku mengambil koper Intan, meletakanya didepan pintu. Aku sedang tidak ingin membujuknya. Karena aku merasa tidak salah, harusnya suami dihormati bukan?Aku segera masuk kekamar. Suara air keran terdengar, Naura sedang mandi. Aku
[kalau mas memang gak mau janin ini, intan akan gugurkan]Aku menghela nafas kasar, apa lagi sih? Hidupku seolah tidak bisa tenang dibuatnya.Belum sempat aku membalas pesan itu, masukLagi pesan baru dari Intan juga.[mas kira aku gak sakit hati dengar desahan Naura? waktu aku lagi nangis, mas gak ada nenangin aku sama sekali, malah sibuk sama jalang itu]Aku menghela nafas kasar, memilih untuk tidak membalasnya. Aku memijat pelipisku. Pusing rasanya, "ada apa mas?" tanya Naura bingung melihat tingkahku yang seketika berubah. Aku menggeleng sambil tersenyum paksa. "Gak ada apa-apa, yuk kita jemput Layla, nanti keseorean," Naura mengangguk setuju, sekilas Naura tampak melihat jam yang ada ditanganya.Setelah membayar, aku segera melajukan mobilku, membelah jalanan kota yang sedikit basah karena hujan. Jarang tempuh antara restoran dengan rumah Ratu tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit.Setelah sampai dirumah Ratu, memastikan semua barang-barang Layla tidak ada yang tertinggal, da
Aku menatap Naura sebentar, kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang itu."Hamil?" tanyaku."Iya, kaya Intan." jawab Naura singkat, padat, mengagetkan."Eh, kok Intan sih. Maksudnya kaya Maura," Naura meralat, menyebutkan nama salah satu teman kami. "Maura hamil?" tanyaku, sedikit lega."Iya, sudah empat bulan.""Gapapa sih kalau kamu hamil, Layla punya adek deh.""Mas, mas gak selingkuh kan?" tanya Naura serius.Aku terkekeh, "emang mas bisa selingkuh dari istri yang bentukanya secantik ini?" tanyaku sambil menggoda.Naura tersenyum kecut, "jadi mas gak selingkuh?" Aku menggeleng yakin. "Tentu saja tidak." aku menjawab mantap. Naura mengangguk-anggukan kepalanya.Setelah itu Naura keluar kamar, dia ingin mengangkat jemuran. Hari sudah sore. Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Dimas, sahabat dekatku. Kami juga dulu selalu satu sekolah dari sekolah dasar sampai kuliah.[bro, malam ini sibuk gak? kumpul lah, dirumah Reza]Aku membalas pesan itu dengan cepat.[boleh, ngopi kita] ak
[besok Intan gugurin kandungan]Aku mengusap wajah gusar, apa lagi yang akan terjadi setelah ini?"Bro, intan mau gugurin kandungan," ucapanku membuat dua sahabatku itu menghentikan aktivitas mereka."Kenapa?" tanya Reza bingung."Ya, sebenarnya kami ada masalah lah." "Menurut kalian gimana? Biarin aja?" tanyaku bingung."Jangan bego." jawab Dimas cepat."Lo sudah nikah kan? Sah di mata agama kan? Dosa jatohnya kalau lo gak mencegah Intan gugurin kandunga," jelas Dimas."Lagian, kenapa juga segala digugurin. Kaya pacaran aja," Reza terlihat bingung."Intan itu maunya tetap tinggal dirumah gue, terus mau gue akuin hubungan kami ke Naura, gue tentang lah, yakali. Makanya dia mau gugurin kandungan karena gue menolak itu." "Siapa suruh lo nikahin ani-ani," sanggah Dimas cepat.Aku sebenarnya ingin marah dengan perkataan Dimas barusan. Tapi benar juga. Aku bahkan bertemu Intan ditempat yang hina."Cewek begitu, kalau dicintai tulus ya banyak tingkah," sanggah Reza."Lagian ya, lo itu buk