Share

6. Gaji Terakhir

Hana kembali sakit setelah tiga bulan terakhir tidak menjalani terapi karena sang malaikat telah pergi untuk selama-lamanya. Stevia dan Anindya memutus biaya terapi pengobatan Hana sehingga mau tidak mau, Vincent harus bekerja ekstra dengan menjadi pelayan di klub malam demi bisa membelikan obat untuk ibu angkatnya.

Cukuplah batuk berdarah dan adanya infeksi kelenjar itu jadi tanda jika ibu angkatnya butuh uang untuk segera operasi!

Vincent kembali menyemangati dirinya sendiri, menanamkan tekad kalau dia harus bisa menahan siksa demi siksa yang dilakukan Keluarga Tatumia, lebih-lebih Stevia.

Usai membanting ponsel, Vincent ingat, dia tadi diberi sebuah kartu hitam berlogokan sesuatu yang disepuh menggunakan tinta emas di ujung kirinya.

“Kartu emas ini,” lirih Vincent, tak henti-hentinya dia menatap kartu itu. “Sebentar, misal ini benar-benar prank dari Raul, tidak mungkin Raul memberi kartu mewah ini secara cuma-cuma. Mungkin apa yang diucap Raul ada benarnya, aku memang pewaris seluruh harta kekayaan Keluarga Ananta."

“Sial, kenapa aku bisa hilang ingatan seperti ini?!”

Namun, tak berselang lama, Stevia tiba-tiba keluar dari hotel, jalan cepat menuju mobil. “Cepat keluar! Nenek Rika minta kau masuk ke dalam hotel!”

Vincent gelagapan, kartu naga itu ada di tangannya. Cepat-cepat dia menyembunyikan kartu itu dari Stevia, tapi sepertinya Stevia sempat memperhatikannya dari pintu villa.

“Apa yang kau sembunyikan? Cepat jawab!”

“Ti-tidak ada, cuma sapu tangan bekas ngelap mobil tadi.” Vincent harus berbohong agar Stevia tidak curiga.

Vincent tidak langsung membukakan pintu mobil karena terlena dengan kecantikan Stevia.

“Oi, buka pintunya!” Stevia menggedor kaca mobil.

Baru saja menginjakkan kaki di hall utama hotel, tempat pesta berlangsung, Vincent langsung ditertawakan seluruh tamu undangan, tak terkecuali Anindya, ibu kandung Stevia.

“Eh, itu siapa? Tukang cuci piring, atau cleaning service bagian bersih-bersih lantai?”

“Lihat pakaiannya, kaos oblong putih sama celana hitam komprang! Dih, orang miskin emang bisa dilihat dari cara dia berpakaian.”

“Dia ganteng, lho, kekar pula! Hebat sekali Keluarga Tatumia punya tukang cuci piring seperti pria itu. Tapi ya, setampan apapun laki-laki, kalau tidak punya harta, ya percuma... sama saja sampah!”

Vincent tidak peduli dengan cemoohan, dia tetap melangkah, mengikuti ke mana Stevia pergi.

Sesampainya di salah satu ruangan mewah di ujung hall utama hotel, Vincent melihat seorang perempuan paruh baya duduk di atas kursi. Perempuan itu memandang tajam ke arahnya.

“Stevia, ini suamimu?!” Rika terbelalak begitu melihat Vincent.

“Cih ... mau ditaruh mana muka Keluarga Tatumia ketika semua miliarder tahu kau milih suami burik dan dekil sepertinya. Aku tidak mau tahu, ceraikan dia malam ini juga!”

Vincent diminta pulang jalan kaki, padahal jarak antara hotel dan villa keluarga Tatumia sangatlah jauh, butuh waktu satu jam lebih. Namun, karena tidak mau cari masalah dan masih ingin mengambil gaji terakhirnya jadi kontraktor, Vincent terpaksa menerima hal itu.

Malam ini, dia mengambil jatah libur di karaoke karena tubuhnya butuh istirahat.

Baru sempat memejamkan mata di villa, tiba-tiba Anindya datang dan menyiram Vincent dengan satu ember penuh air.

“Apa-apaan ini! Aku bilang apa, bersihin seluruh villa dari lantai satu sampai lantai tiga. Kamu malah bersihin lantai satu aja! Kamu ini, niat nggak sih buat jadi pembantu di keluarga Tatumia?!”

“Ma-maaf, Bu,” lirih Vincent.

“Ba Bu Ba Bu, jangan panggil aku Ibu, risih aku! Mending cepet bersihin, deh, sebelum Stevia sama pacar barunya datang. Bisa-bisa pacar baru Stevia beli kamu buat dijadiin budak seumur hidup!”

Vincent ingin marah, tapi tidak bisa.

Dengan tubuh yang hampir remuk, Vincent terpaksa membersihkan villa tiga lantai itu, lantas tidur pulas sampai matahari terbit.

Bangun pagi-pagi, Vincent langsung merapikan sisa-sisa makanan sekaligus mencuci piring yang habis digunakan pesta tadi malam. Ada beberapa orang sedang tidur di sofa ruang tengah, beberapa menggunakan rok mini dan para lelaki sudah mencopot kaosnya.

Vincent tidak mau berpikiran buruk.

Usai mencuci piring dan membereskan itu semua, Vincent mengambil semua botol wine yang tergeletak di mana-mana, mengepel lantai, lantas memotong rumput di halaman rumah. Semua itu dia lakukan karena terpaksa, demi bisa pergi dari villa itu sambil membawa gajinya sebagai pekerja kontraktor.

Sesaat kemudian, seorang lelaki keluar dari kamar Stevia.

“Oh, jadi kamu suami Stevia? Hmm, menarik juga. Tampan dan atletis. Tapi, percuma, wajah tampan kalau nggak punya uang bisa apa juga? Mending kamu cepat-cepat ceraiin Stevia, deh. Kasihan dia sama kamu, nggak bahagia sama sekali. Bisamu cuma apa? Kerja kontraktor sama pelayan klub malam, kan?”

“Bahagia perempuan itu hanya soal uang,” timpal Vincent.

“Heh, jaga mulutmu!?” Levy mencengkeram kerah baju Vincent karena telah berani menghina pacarnya. “Mulutmu bisa aku beli. Jangankan mulutmu, semua anggota badanmu bisa aku beli cash! Sekarang, cepat pergi, aku muak melihat wajahmu!”

“Ada apa, Sayang?” tanya Stevia dengan muka bantalnya. Tubuh gadis itu cuma terlilit handuk putih tebal, pertanda mereka telah melakukannya semalam.

“Oh, gembel ini bikin kamu marah pagi-pagi, emang ga punya malu, ga punya harga diri! Masih untung Papa mau bayarin operasi dia. Coba enggak, dia bisa mati kehabisan darah tiga tahun lalu! Cepat menyingkir! Pagi-pagi sudah bikin ribut, dasar miskin!?”

“Ta-tapi, kan, kita masih berstatus suami-istri sah...”

“Hah? Jangan bercanda! Sesuai perjanjian, kamu diizinkan tinggal di sini sampai pergantian bulan dengan catatan kamu bukan lagi anggota keluarga kami, melainkan pembantu yang gantiin tugas Bi Lijah sampai Bi Lijah balik ke sini!”

“Udah, nggak ada waktu urusin orang satu ini, mending kita mandi terus pergi ke bank buat urus pembayaran mobil Fortuner kamu. Buang-buang waktu aja!” ajak Levy, lantas menarik tangan Stevia masuk ke kamar.

Menyebut kata bank, Vincent teringat tentang kartu yang diberikan Raul sebelum perempuan cantik itu pergi meninggalkannya di depan kantor.

Cepat-cepat Vincent ganti pakaian dan berangkat menuju tempat kerjanya, lantas bersiap datang ke Bank Platina, sesuai arahan Raul. Tapi, dia harus siap mental karena pagi ini, dia pergi ke tempat kerja untuk mengambil gaji terakhir.

Vincent meneguk ludah, "Semoga ada kabar baik di tempat kerja nanti. Semoga tidak ada lagi cacian, cukup pagi ini saja!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status