Malam hari itu, Nadina lebih dahulu berbaring di ranjangnya, sejak isya tadi saat dirinya berada di dalam kamar, Nadhif pun tak kunjung mengajaknya berbicara. Hal ini membuat Nadina merasa geram dan memilih untuk kembali tutup mulut. Sambil terus memaksakan rasa kantuk yang sebenarnya belum muncul itu, Nadina terus berkomat-kamit untuk memilih apakah ia kan tetap membuat sarapan spesial itu untuk sang suami esok pagi atau tidak. Namun hal itu dengan cepat Nadina putuskan saat Nadhif yang usai dari toilet juga naik ke ranjang dan langsung mematikan lampu tidur di sebelah ranjangnya. Nadhif yang kala itu masih bingung mesti bagaimana berucap memilih untuk diam takut jika ucapannya semakin menyakiti satu sama lain. Tetap hal itulah yang membuat Nadina malah semakin kesal dengan sang suami. Keesokan harinya, Nadina langsung pergi ke dapur dan membantu sang umi untuk memasak makanan, Aminah sebentar bertanya mengenai rencana Nadina membuatkan nasi goreng untuk Nadhif. Tetapi Nadina den
Hari berganti malam, suasana malam itu di kamar Nadhif dan Nadina teramat canggung. Pada awalnya Nadhif dan Nadina hanya duduk di tepi ranjang dengan saling membelakangi dan tanpa kata. Hingga tiba-tiba keduanya bangkit dan berbalik. “Saya hendak ke toilet!” “Nadina ingin ke toilet dulu!” pekik keduanya bersamaan. Sunyi kembali mendatangi keduanya, Nadina seketika menundukkan pandangannya sementara Nadhif mencoba melirik sang istri. “Kamu saja dulu, Nadina! Saya bisa memakainya setelahmu,” ujar Nadhif lalu tampak mempersilakan Nadina. “Tidak-tidak!” pekik Nadina langsung mengangkat kepalanya. Wanita itu kini tampak dengan cepat menolaknya dilengkapi dengan lanbaian tangan. “Mas saja yang memakai terlebih dahulu. Jika Nadina yang memakainya mungkin akan lama,” ujar Nadina. “Sepertijya akan terbalik, Nadina. Jika saya yang masuk ke sana terlebih dahulu, maka akan cukup lama,” ujar Nadhif. Nadina mengerutkan dahinya, sejenak ia seolah memberikan tatapan menyelidiki sebelum akhir
“Ah, begitu! Tidak apa, Nadina. Kita bisa melakukannya nanti. Sekarang kita tidur saja. Hari sudah semakin malam bukan?” ujar Nadhif sedikit menunduk. Jelas dari suaranya menggambarkan sedikit kekecewaan, namun pemuda itu berusaha menutupinya dengan senyuman tulus di wajahnya. Keduanya kini berbaring dan sama-sama memandang atap. “Maaf harus membuat Mas Nadhif kembali menunggu. Nadina lupa jika dia biasa datang pada tanggal ini,” tutur Nadina sembari mengubah posisinya menghadap sang suami. Nadhif menoleh memandang Nadina. Pemuda itu kini mengelus pucuk kepala sang istri sembari tersenyum di antara gelapnya kamar mereka malam itu. “Jangan meminta maaf lagi, Nadina. Ini bukan salahmu. Memang sudah seharusnya seorang wanita mengalaminya. Kita hanya terlalu mendadak saja. Atau mungkin rasa canggung ini terlalu memenuhi ruangan,” ujar Nadhif. “Mas kecewa ya?” “Jangan berkata seperti itu, Nadina. Saya tidak apa-apa, lagi pula ini tidak akan lama. Segeralah tidur, besok jadwalmu akan
Nadhif dan Nadina akhirnya tiba di butik, Nadina sebentar menyampaikan jika hari ini Nadhif akan menemaninya dari awal pemotretan hingga akhir nanti. Sadewa sedikit terkejut akan hal itu. Namun, saat Nadina telah bersiap, Sadewa tampak mendekatinya dengan membawa kamera yang biasa digunakan untuk memotret. “Kenapa Mas Dewa yang membawa kameranya? Wanita yang biasa memotret ke mana, Mas?” tanya Nadina sembari mendongakkan kepalanya memeriksa sekitar. “Mereka izin hari ini Nadina, aku yang akan memotretmu selama mereka belum kembali. Apa kamu sudah siap?” tanya Sadewa. “Ah begitu. Baiklah, Nadina susah siap.” Pada awalnya semua proses pemotret berjalan dengan lancar, Nadhif sesekali juga memeriksa Nadina dan tersenyum ke arah istrinya saat kedua mata mereka saling bertemu. Saat jam istirahat datang, Nadina tampak tengah duduk di sebelah Nadhif dan bersenda gurau kecil sembari memakan camilan mereka. Sadewa yang melihat tawa Nadina terdengar tulus saat bergurau dengan sang suami m
Tangan Sadewa seketika memegang punggung tangan Nadina dan seketika membuat Nadina terperanjat dan menarik tangannya menjauh. “Orang seperti itu yang kau tunggu, Nadina? Ada kalanya kau harus berhenti menerima sesuatu yang terlihat baik karena itu belum tentu benar-benar baik,” ujar Sadewa menatap Nadina dengan cukup dalam. Ludah Nadina tercekat ia segera menarik napas panjang sembari mengalihkan pandangannya kembali pada Nadhif yang tengah tertawa bersama Putri Azalea di halaman pondok. “Ini semua salah paham saja, Nadina harus pergi. Terima kasih sudah mau mengantar Nadina, Mas! Assalamualaikum!” Wanita itu membuka pintu dan keluar dari sana. Sambil mencoba menegakkan setiap langkah yang ia ambil, Nadina melangkahkan kakinya memasuki pondok tanpa menghampiri suaminya yang saat itu juga ia lintasi. Sementara Nadina berjalan lurus ke depan, Nadhif yang melihat keberadaan Nadina di sana seketika terkejut. “Astagfirullah!” pekik Nadhif saat menyadari ia melewatkan sesuatu yang pen
Hari itu Nadhif membiarkan dirinya tetap berada di sebelah Nadina tanpa meninggalkan sang istri lebih dari lima menit. Ia terus bergumam mengharapkan Nadina akan memaafkannya. Masalah menjemput adalah hal yang sepele tetapi tahu dengan siapa gantinya itu yang menyakitkan. Nadina tampak bergumam dan sedikit bergerak malam itu, Nadhif dengan sigap tampak memegang tangan Nadina sembari bersiap atas Nadina yang sadar. Mata yang telah tertutup nyaris 24 jam itu akhirnya terbuka perlahan. Awalnya ia menyipit seolah berusaha melihat dengan jelas siapa yang ada di dekatnya saat itu. Namun ketika pandangannya mulai sempurna, ia segera menjauhkan tubuhnya dari Nadhif. “Kenapa di sini?! Keluar!” teriak Nadina. “Nadina, saya mohon kali ini turuti permintaan saya, kamu terlalu lemas untuk semuanya. Biarkan tubuhnya mencapai kesehatannya dulu. Saya janji setelahnya saya akan menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Nadhif. “Jangan minta saya pergi, Nadina. Saya mau menemanimu, di sini. Tolong izink
“Apa kamu sedang berusaha menjaga hati dua wanita dalam hatimu, Nadhif?” Ali melangkahkan kakinya mendekati sang putra yang sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Abi,” lirih Nadhif. “Rupanya kamu masih belum paham, Nadhif. Kamu belum paham apa yang menjadi kekecewaan istrimu dan kamu kembali mengulang kesalahan yang sama,” lanjut Ali kini berdiri tepat di hadapan sang putra. “Putri Azalea membutuhkan izin untuk keluar pondok, Abi,” terang Nadhif. “Kamu melupakan sesuatu, Nadhif. Pondok kita memiliki ruang kesehatan sendiri. Jika memang ia sakit, kawannya bisa membawanya dia sana. Dan jika kita tak bisa menanganinya, petugas di sana yang akan memberikan surat izin agar bisa keluar pondok. Mereka tidak membutuhkan izinmu, Nadhif!” sergah Ali mencoba mengingatkan kembali putranya itu. “Astagfirullah! Abi, Nadhif lupa,” lirih Ali. “Jangan sekali-kali mencoba menjaga dua hati dalam satu rasa Nadhif! Alih-alih melindungi keduanya dari sakit hati, kamu malah menghancurkan keduanya.”
Tangan Sadewa kini mendekap tangan Nadina sementara matanya terus menatap Nadina dengan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. “Mas, lepas. Nadina tidak bisa seperti ini,” elak Nadina sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Sadewa. Namun sayang, semakin ia berusaha untuk melepasnya, semakin kuat Sadewa mencengkeram dan bersumpah tak akan melepasnya. “Nadina, kenapa kamu mempertahankan sesuatu yang amat rapuh? Kamu untuk saya, sedang Nadhif untuk wanita itu, tak akan ada yang sakit atas keputusanmu meninggalkannya,” ujar Sadewa. “Mas, semua tidak semudah itu! Nadina memang pernah mencintai Mas Dewa, tapi itu sulit untuk sekarang. Nadina mohon jangan memaksa,” “Tunggu! Apa maksud kalian? Nadina? Sudah menikah?!” sergah kedua kawan Nadina yang rupanya sedari tadi menguping di balik pintu. “Hei! Sadewa berbohong bukan?! Mana mungkin kau menikah tanpa sepengetahuan kami, Nadina?! Lelaki mana yang tega merebut kawan kami tanpa seizin kami?!” sergah Berlin. “J