Nadhif dan Nadina akhirnya tiba di butik, Nadina sebentar menyampaikan jika hari ini Nadhif akan menemaninya dari awal pemotretan hingga akhir nanti. Sadewa sedikit terkejut akan hal itu. Namun, saat Nadina telah bersiap, Sadewa tampak mendekatinya dengan membawa kamera yang biasa digunakan untuk memotret. “Kenapa Mas Dewa yang membawa kameranya? Wanita yang biasa memotret ke mana, Mas?” tanya Nadina sembari mendongakkan kepalanya memeriksa sekitar. “Mereka izin hari ini Nadina, aku yang akan memotretmu selama mereka belum kembali. Apa kamu sudah siap?” tanya Sadewa. “Ah begitu. Baiklah, Nadina susah siap.” Pada awalnya semua proses pemotret berjalan dengan lancar, Nadhif sesekali juga memeriksa Nadina dan tersenyum ke arah istrinya saat kedua mata mereka saling bertemu. Saat jam istirahat datang, Nadina tampak tengah duduk di sebelah Nadhif dan bersenda gurau kecil sembari memakan camilan mereka. Sadewa yang melihat tawa Nadina terdengar tulus saat bergurau dengan sang suami m
Tangan Sadewa seketika memegang punggung tangan Nadina dan seketika membuat Nadina terperanjat dan menarik tangannya menjauh. “Orang seperti itu yang kau tunggu, Nadina? Ada kalanya kau harus berhenti menerima sesuatu yang terlihat baik karena itu belum tentu benar-benar baik,” ujar Sadewa menatap Nadina dengan cukup dalam. Ludah Nadina tercekat ia segera menarik napas panjang sembari mengalihkan pandangannya kembali pada Nadhif yang tengah tertawa bersama Putri Azalea di halaman pondok. “Ini semua salah paham saja, Nadina harus pergi. Terima kasih sudah mau mengantar Nadina, Mas! Assalamualaikum!” Wanita itu membuka pintu dan keluar dari sana. Sambil mencoba menegakkan setiap langkah yang ia ambil, Nadina melangkahkan kakinya memasuki pondok tanpa menghampiri suaminya yang saat itu juga ia lintasi. Sementara Nadina berjalan lurus ke depan, Nadhif yang melihat keberadaan Nadina di sana seketika terkejut. “Astagfirullah!” pekik Nadhif saat menyadari ia melewatkan sesuatu yang pen
Hari itu Nadhif membiarkan dirinya tetap berada di sebelah Nadina tanpa meninggalkan sang istri lebih dari lima menit. Ia terus bergumam mengharapkan Nadina akan memaafkannya. Masalah menjemput adalah hal yang sepele tetapi tahu dengan siapa gantinya itu yang menyakitkan. Nadina tampak bergumam dan sedikit bergerak malam itu, Nadhif dengan sigap tampak memegang tangan Nadina sembari bersiap atas Nadina yang sadar. Mata yang telah tertutup nyaris 24 jam itu akhirnya terbuka perlahan. Awalnya ia menyipit seolah berusaha melihat dengan jelas siapa yang ada di dekatnya saat itu. Namun ketika pandangannya mulai sempurna, ia segera menjauhkan tubuhnya dari Nadhif. “Kenapa di sini?! Keluar!” teriak Nadina. “Nadina, saya mohon kali ini turuti permintaan saya, kamu terlalu lemas untuk semuanya. Biarkan tubuhnya mencapai kesehatannya dulu. Saya janji setelahnya saya akan menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Nadhif. “Jangan minta saya pergi, Nadina. Saya mau menemanimu, di sini. Tolong izink
“Apa kamu sedang berusaha menjaga hati dua wanita dalam hatimu, Nadhif?” Ali melangkahkan kakinya mendekati sang putra yang sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Abi,” lirih Nadhif. “Rupanya kamu masih belum paham, Nadhif. Kamu belum paham apa yang menjadi kekecewaan istrimu dan kamu kembali mengulang kesalahan yang sama,” lanjut Ali kini berdiri tepat di hadapan sang putra. “Putri Azalea membutuhkan izin untuk keluar pondok, Abi,” terang Nadhif. “Kamu melupakan sesuatu, Nadhif. Pondok kita memiliki ruang kesehatan sendiri. Jika memang ia sakit, kawannya bisa membawanya dia sana. Dan jika kita tak bisa menanganinya, petugas di sana yang akan memberikan surat izin agar bisa keluar pondok. Mereka tidak membutuhkan izinmu, Nadhif!” sergah Ali mencoba mengingatkan kembali putranya itu. “Astagfirullah! Abi, Nadhif lupa,” lirih Ali. “Jangan sekali-kali mencoba menjaga dua hati dalam satu rasa Nadhif! Alih-alih melindungi keduanya dari sakit hati, kamu malah menghancurkan keduanya.”
Tangan Sadewa kini mendekap tangan Nadina sementara matanya terus menatap Nadina dengan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. “Mas, lepas. Nadina tidak bisa seperti ini,” elak Nadina sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Sadewa. Namun sayang, semakin ia berusaha untuk melepasnya, semakin kuat Sadewa mencengkeram dan bersumpah tak akan melepasnya. “Nadina, kenapa kamu mempertahankan sesuatu yang amat rapuh? Kamu untuk saya, sedang Nadhif untuk wanita itu, tak akan ada yang sakit atas keputusanmu meninggalkannya,” ujar Sadewa. “Mas, semua tidak semudah itu! Nadina memang pernah mencintai Mas Dewa, tapi itu sulit untuk sekarang. Nadina mohon jangan memaksa,” “Tunggu! Apa maksud kalian? Nadina? Sudah menikah?!” sergah kedua kawan Nadina yang rupanya sedari tadi menguping di balik pintu. “Hei! Sadewa berbohong bukan?! Mana mungkin kau menikah tanpa sepengetahuan kami, Nadina?! Lelaki mana yang tega merebut kawan kami tanpa seizin kami?!” sergah Berlin. “J
“Nadhif minta maaf atas semua ini, Pak! Nadhif tahu ini semua salah Nadhif hingga membuat Nadian sekecewa itu,” tutur Nadhif sembari menunduk di hadapan Harun yang kala itu telah tiba di pondok dan menemuinya. “Katakan kepada saya dengan lantang dan jelas, Nadhif. Kamu mencintai putri saya, Nadina, atau tidak?!” sergah Harun. “Saya telah bersumpah di pada akad itu, Pak! Bahkan saya telah memutuskan untuk mencintai putri bapak sebelum akad saya ucapkan hari itu. Saya mencintai putri bapak. Saya berani jamin rasa itu tidak pernah berubah bahkan sampai detik ini,” tutur Nadhif. “Apa kamu yakin? Bagaimana dengan wanita itu yang lebih paham agama dan jauh lebih mengenalmu daripada Nadina? Bagaimana jika dia mencintaimu?” tanya Harun dengan tatapan tajam. “Saya telah memilih untuk mencintai Nadina selama hidup saya dan di kehidupan selanjutnya. Saya mencintai Nadina, Pak!” tutur Nadhif. “Nanti sore jemput istrimu kembali! Jika kamu mencintainya, seharusnya kamu tahu apa yang semestinya
Nadhif merenggangkan dekapannya dan melihat Nadina yang tengah hendak memaki dirinya itu. “Mas Nadhif melanggar janji! Mencium Nadina sama saja menyentuh Nadina! Kenapa melakukannya tiba-tiba dan menahan Nadina, Mas?! Mas mau mengambil kesempatan, hah?!” sergah Nadina kini menatap Nadhif dengan tatapan tajam yang ia miliki. “Ya, saya mengambil kesempatan untuk melalukannya selagi saya memilikinya. Saya mengecup istri saya sendiri. Kamu istri saya Nadina. Dan tentang perjanjian kita, kamu juga melanggarnya. Abi, Umi, Bapak, dan Ibu tahu tentang pertengkaran kita. Bukankah itu melanggar syarat saya?” sahut Nadhif. “Mas Nadhif sebenarnya mau apa?! Kalau memang Mas Nadhif tidak lagi mengharapkan Nadina mas tinggal kembalikan Nadina ke bapak dan ibu! Tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk bertemu wanita itu!” sergah Nadina. “Haruskah saya melakukannya lagi agar kamu berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak, Nadina?” perkataan Nadhif seketika membuat Nadina berhenti berucap. Wanita itu ki
Nadina memasuki kamar dan sedikit terkejut saat melihat Nadhif tengah berdiri di balik pintu dan menatapnya tajam. Napas wanita itu tiba-tiba sedikit berembus kasar. Matanya melirik ke arah Azalea yang tampak menyeringai. Segera ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar itu sebelum Azalea mengetahui jika suaminya mendengar semua perkataannya tadi. “Kenapa, Nadina?” celetuk Nadhif tanpa bergerak dari posisi awalnya. Nadina tampak mendesah sebelum akhirnya tangannya itu melepas gagang pintu perlahan dan kembali berbalik. “Kenapa?” ulang Nadhif. “Mas dengar semuanya?” tanya Nadina. “Tidak. Saya hanya mendengar kamu mempersilakannya untuk merebut saya darimu. Kenapa? Kenapa kamu menantangnya, Nadina? Saya bukaan barang taruhan,” sergah Nadhif lirih tapi menghunjam. “Bukan begitu maksud Nadina, Mas!” sahut Nadina cepat dengan raut wajah sedikit khawatir. “Bukan seperti itu yang Nadina maksudkan tadi. Mas jangan salah paham,” lengkapnya. “Lalu apa maksudmu mempersilakan wanita