Nadina memasuki kamar dan sedikit terkejut saat melihat Nadhif tengah berdiri di balik pintu dan menatapnya tajam. Napas wanita itu tiba-tiba sedikit berembus kasar. Matanya melirik ke arah Azalea yang tampak menyeringai. Segera ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar itu sebelum Azalea mengetahui jika suaminya mendengar semua perkataannya tadi. “Kenapa, Nadina?” celetuk Nadhif tanpa bergerak dari posisi awalnya. Nadina tampak mendesah sebelum akhirnya tangannya itu melepas gagang pintu perlahan dan kembali berbalik. “Kenapa?” ulang Nadhif. “Mas dengar semuanya?” tanya Nadina. “Tidak. Saya hanya mendengar kamu mempersilakannya untuk merebut saya darimu. Kenapa? Kenapa kamu menantangnya, Nadina? Saya bukaan barang taruhan,” sergah Nadhif lirih tapi menghunjam. “Bukan begitu maksud Nadina, Mas!” sahut Nadina cepat dengan raut wajah sedikit khawatir. “Bukan seperti itu yang Nadina maksudkan tadi. Mas jangan salah paham,” lengkapnya. “Lalu apa maksudmu mempersilakan wanita
Nadina mesti kembali menelan pil pahit bersamaan dengan salivanya yang terasa sulit tertelan. Senyuman yang terasa amat palsu terpaksa mesti kembali hadir di wajah wanita cantik itu. “Umi, kenapa umi memutuskan itu tanpa berbicara dengan Nadhif? Nadhif tidak bisa!” sergah Nadhif sedikit keras. “Ha? Tidak bisa? Kenapa? Bukankah kamu selalu hadir dalam peringatan hari besar? Bahkan Nadina juga masih bisa mengikuti separuh acara!” pekik Aminah. “Umi, jika Nadina ada sesi pemotretan, itu artinya Nadhif juga harus pergi! Lagi pula kenapa harus selalu Nadhif?! Santri lain tidak akan belajar berani jika tidak dipaksa menjadi pembawa acaranya!” sergah Nadhif. “Nadhif benar, Umi! Semestinya Umi mengajukan nama lain saja. Pasti banyak santri lain yang ingin berkontribusi!” pekik Ali. “Tapi sudah tidak bisa dibatalkan. Umi sudah menyetujuinya. Bahkan mereka telah membuat pakaian MC dengan warna senada untuk acara ini dengan ukuran yang pas dengan Nadhif dan Azalea. Apa yang mereka pikirkan
Nadhif dengan cepat melingkarkan tangannya pada pinggang Nadina dan menarik wanita itu semakin jatuh pada dekapannya. “Mas jangan mulai, ya! Mas sudah hendak mengajar, jangan sampai nanti murid mas salah tingkah saat mencium aroma Nadina di tubuh mas!” “Biar! Kenapa? Kamu takut? Kamu yang mulai menggoda saya, Nadina!” Ujar Nadhif kian mengeratkan pelukannya. “Mas berhenti,” bujuk Nadina sambil terus membuat jarak dengan sedikit menekan dada Nadhif dengan kedua tangannya. “Siapa suruh menggoda saya!” sahut Nadhif santai sambil terus mengamati wajah panik Nadina. “Mas! Nadina lupa mengunci pintu kamar!” pekik Nadina dengan wajah yang benar-benar terkejut. Sementara sang suami malah menganggapnya bualan semata dan semakin mengeratkan pelukannya. “Kamu kira saja akan percaya? Saya tahu ini hanya akal-akalan kamu agar bisa lepas dari saya. Bukan begitu, Sayang?” ujar Nadhif tersenyum menatap wajah panik Nadina saat itu. “Mas, Nadina serius! Gimana kalau ada yang datang nanti! Mas ti
Nadhif tampak merdeka mengambil alih tubuh sang istri di gendongannya menuju kamar sementara Nadina tampak kewalahan memukul punggung sang suami. “Mas, mas kenapa sih? Turunkan Nadina! Malu dilihat orang!” Tak henti-hentinya kepalan tangan wanita itu menghantam punggung kekar Nadhif. “Memang siapa yang akan melihat Nadina? Kamu pikir kita artis hingga harus terus diikuti bahkan sampai dalem?” kekeh Nadhif. “Ya siapa pun! Mas ayolah, turunkan Nadina!” omel Nadina lagi. Nadhif sebentar berhenti lalu memandang wajah sang istri lamat-lamat. Tak ada yang terucap dari mulutnya sementara ia tetap terdiam dan mendekatkan wajahnya pada wajah Nadina. “Mas? Nadina pukul kalau mas macam-macam di sini!” sergah Nadina. Seolah tak mendengarkan ultimatum sang kekasih, Nadhif tetap memandangi Nadina hingga tiba-tiba suara hentakan kaki mengejutkan Nadhif dan Nadina. Keduanya kini menoleh ke sisi lain dan mendapati seorang santriwati dan santriwan tengah melongo menatap mereka. “Maaf, Gus! Ka–”
“Duduk!” titah Nadhif lalu membuat lingkaran kecil dengan kedua santri itu. “Siapa dulu yang hendak menjelaskan permasalahannya kepada saya?” tanya Nadhif sembari menatap bergiliran kedua bocah itu. “Saya yang pertama memukulnya, Gus! Saya kesal karena dia sangat berisik saat saya sedang menghafal tadi. Saya sudah memperingatkannya agar diam tapi dia terus berlarian dan membuat gaduh kelas,” tutur salah satu di antara mereka. “Pembelaanmu?” tanya Nadhif menoleh pada satu santri lainnya. “Tidak ada, Gus! Saya yang salah. Saya membalas pukulannya karena tidak terima. Tapi saya tahu saya yang salah karena sudah membuat gaduh kelas, Gus!” aku yang satunya. “Lalu setelah ini apa yang akan kalian lakukan setelah saya pergi? Saya tidak ingin mendengar permusuhan kalian. Saya telah memberi waktu kalian untuk menyelesaikan pertengkaran fisik kalian di sini tadi jadi saya tidak ingin mendengar ada pertengkaran lain!” pekik Nadhif. “Nggih, Gus! Ngapunten!” ujar keduanya kompak. “Kalian ba
Kedua santri itu segera pamit usai menyampaikan apa yang Nadina pesankan. Sementara wajah kawan-kawan Nadhif tampak menahan senyum dan mulai memandangi Nadhif dengan hawa menggoda, Nadhif malah memejamkan matanya dan menahan malunya. “Jadi ini pembalasanmu, Nadina, hmm? Jadi kamu sengaja menyampaikan pesan bohong itu di deoan semua kawan saya, huh?” batin Nadhif. “Aishh, sayang sekali! Waktu Gus tinggal dua menit lagi! Menurutku gus akan melewatkan kesempatan emas ini, Gus!” kekeh salah satu kawan Nadhif. “Gus Nadhif benar-benar tega membiarkan kami mendengar kemesraan kalian sementara kami jomblo kering kerontang seperti ini!” imbuh lainnya. “Kalian ini bicara apa! Kalian mau mengganggu saya dengan cibiran itu, hah?” omel Nadhif malah kian membuat semua kawannya itu terkekeh. “Aduh, Gus Nadhif, daripada marah-marah lebih baik segera temui dia sebelum gus mendapatkan amarahnya alih-alih mendapat kesenangan!” kekeh lainnya. Nadhif langsung memasang wajah emosinya sembari bangkit
“Ehm, Umi! Maaf Nadina terlambat!” pekik Nadina sembari terburu menuju dapur sembari membenahi kancing hijabnya. “Umi dengar kalian ada di kamar, jadi Umi sengaja tidak memanggilmu, Nadina. Lagi pula abi ada pertemuan dan makan siang di luar. Umi juga sudah makan bersama para santri tadi. Tinggal kamu dan Nadhif. Baru saja Umi hendak menyiapkan makanan untuk kalian berdua. Kalian sudah selesai?” papar Aminah sembari menata makanan dan piring di meja makan. “Selesai?” celetuk Nadina sembari mengerutkan dahinya. “Iya, selesai. Umi dengar dari para santriwan jika Nadhif membuat janji denganmu di kamar. Tidak ada yang mengganggu bukan?” kekeh Aminah. Wajah Nadina seketika membeku. Mulutnya masih sedikit mengaga mendengar apa yang sang umi katakan. “Bagaimana Umi– Umi bisa mengatakan itu?” tutur Nadina dengan sedikit terbata dengan tatapan kosong. “Kabar itu tersebar cukup cepat, Sayang! Tapi tidak apa, Umi senang kalian baik-baik saja. Selamat makan ya! Suamimu sudah menunggu,” tutu
Nadina berjalan menuju kantor dengan tetap menelepon Nadhif. Wanita itu berharap setidaknya kedua orang itu meninggalkan pesan atau alamat yang bisa ia datangi. Namun, alih-alih mendapatkan pesan itu, Nadina malah menemukan ponsel Nadhif di sana. “Apa-apaan ini!? Bagaimana dia bisa pergi tanpa kabar dan sekarang meninggalkan ponselnya di sini!? Dia sengaja agar aku tidak mencarinya, huh?!” sergah Nadina sedikit memukul meja kerja Nadhif. “Assalamualaikum, Mbak Nadina!” lirih Sarah yang kembali muncul dan masuk ke dalam kantor menyusul Nadina. “Mbak Aza juga meninggalkan ponselnya di kamar, Mbak! Mereka tidak kabur berdua ‘kan, Mbak?” lirih Sarah berusaha memancing Nadina. Nadina semakin terbakar emosi saat melihat ponsel Azalea berada di tangan Sarah. Meskipun memang benar ada pesan yang mengatakan jika ibu Azalea jatuh, Nadina tetap saja tak bisa tenang dan tak bisa sepenuhnya percaya. “Sarah, bisa tolong saya? Cari data Putri Azalea terutama alamatnya, saya akan ke sana siapa t