Nadhif tampak merdeka mengambil alih tubuh sang istri di gendongannya menuju kamar sementara Nadina tampak kewalahan memukul punggung sang suami. “Mas, mas kenapa sih? Turunkan Nadina! Malu dilihat orang!” Tak henti-hentinya kepalan tangan wanita itu menghantam punggung kekar Nadhif. “Memang siapa yang akan melihat Nadina? Kamu pikir kita artis hingga harus terus diikuti bahkan sampai dalem?” kekeh Nadhif. “Ya siapa pun! Mas ayolah, turunkan Nadina!” omel Nadina lagi. Nadhif sebentar berhenti lalu memandang wajah sang istri lamat-lamat. Tak ada yang terucap dari mulutnya sementara ia tetap terdiam dan mendekatkan wajahnya pada wajah Nadina. “Mas? Nadina pukul kalau mas macam-macam di sini!” sergah Nadina. Seolah tak mendengarkan ultimatum sang kekasih, Nadhif tetap memandangi Nadina hingga tiba-tiba suara hentakan kaki mengejutkan Nadhif dan Nadina. Keduanya kini menoleh ke sisi lain dan mendapati seorang santriwati dan santriwan tengah melongo menatap mereka. “Maaf, Gus! Ka–”
“Duduk!” titah Nadhif lalu membuat lingkaran kecil dengan kedua santri itu. “Siapa dulu yang hendak menjelaskan permasalahannya kepada saya?” tanya Nadhif sembari menatap bergiliran kedua bocah itu. “Saya yang pertama memukulnya, Gus! Saya kesal karena dia sangat berisik saat saya sedang menghafal tadi. Saya sudah memperingatkannya agar diam tapi dia terus berlarian dan membuat gaduh kelas,” tutur salah satu di antara mereka. “Pembelaanmu?” tanya Nadhif menoleh pada satu santri lainnya. “Tidak ada, Gus! Saya yang salah. Saya membalas pukulannya karena tidak terima. Tapi saya tahu saya yang salah karena sudah membuat gaduh kelas, Gus!” aku yang satunya. “Lalu setelah ini apa yang akan kalian lakukan setelah saya pergi? Saya tidak ingin mendengar permusuhan kalian. Saya telah memberi waktu kalian untuk menyelesaikan pertengkaran fisik kalian di sini tadi jadi saya tidak ingin mendengar ada pertengkaran lain!” pekik Nadhif. “Nggih, Gus! Ngapunten!” ujar keduanya kompak. “Kalian ba
Kedua santri itu segera pamit usai menyampaikan apa yang Nadina pesankan. Sementara wajah kawan-kawan Nadhif tampak menahan senyum dan mulai memandangi Nadhif dengan hawa menggoda, Nadhif malah memejamkan matanya dan menahan malunya. “Jadi ini pembalasanmu, Nadina, hmm? Jadi kamu sengaja menyampaikan pesan bohong itu di deoan semua kawan saya, huh?” batin Nadhif. “Aishh, sayang sekali! Waktu Gus tinggal dua menit lagi! Menurutku gus akan melewatkan kesempatan emas ini, Gus!” kekeh salah satu kawan Nadhif. “Gus Nadhif benar-benar tega membiarkan kami mendengar kemesraan kalian sementara kami jomblo kering kerontang seperti ini!” imbuh lainnya. “Kalian ini bicara apa! Kalian mau mengganggu saya dengan cibiran itu, hah?” omel Nadhif malah kian membuat semua kawannya itu terkekeh. “Aduh, Gus Nadhif, daripada marah-marah lebih baik segera temui dia sebelum gus mendapatkan amarahnya alih-alih mendapat kesenangan!” kekeh lainnya. Nadhif langsung memasang wajah emosinya sembari bangkit
“Ehm, Umi! Maaf Nadina terlambat!” pekik Nadina sembari terburu menuju dapur sembari membenahi kancing hijabnya. “Umi dengar kalian ada di kamar, jadi Umi sengaja tidak memanggilmu, Nadina. Lagi pula abi ada pertemuan dan makan siang di luar. Umi juga sudah makan bersama para santri tadi. Tinggal kamu dan Nadhif. Baru saja Umi hendak menyiapkan makanan untuk kalian berdua. Kalian sudah selesai?” papar Aminah sembari menata makanan dan piring di meja makan. “Selesai?” celetuk Nadina sembari mengerutkan dahinya. “Iya, selesai. Umi dengar dari para santriwan jika Nadhif membuat janji denganmu di kamar. Tidak ada yang mengganggu bukan?” kekeh Aminah. Wajah Nadina seketika membeku. Mulutnya masih sedikit mengaga mendengar apa yang sang umi katakan. “Bagaimana Umi– Umi bisa mengatakan itu?” tutur Nadina dengan sedikit terbata dengan tatapan kosong. “Kabar itu tersebar cukup cepat, Sayang! Tapi tidak apa, Umi senang kalian baik-baik saja. Selamat makan ya! Suamimu sudah menunggu,” tutu
Nadina berjalan menuju kantor dengan tetap menelepon Nadhif. Wanita itu berharap setidaknya kedua orang itu meninggalkan pesan atau alamat yang bisa ia datangi. Namun, alih-alih mendapatkan pesan itu, Nadina malah menemukan ponsel Nadhif di sana. “Apa-apaan ini!? Bagaimana dia bisa pergi tanpa kabar dan sekarang meninggalkan ponselnya di sini!? Dia sengaja agar aku tidak mencarinya, huh?!” sergah Nadina sedikit memukul meja kerja Nadhif. “Assalamualaikum, Mbak Nadina!” lirih Sarah yang kembali muncul dan masuk ke dalam kantor menyusul Nadina. “Mbak Aza juga meninggalkan ponselnya di kamar, Mbak! Mereka tidak kabur berdua ‘kan, Mbak?” lirih Sarah berusaha memancing Nadina. Nadina semakin terbakar emosi saat melihat ponsel Azalea berada di tangan Sarah. Meskipun memang benar ada pesan yang mengatakan jika ibu Azalea jatuh, Nadina tetap saja tak bisa tenang dan tak bisa sepenuhnya percaya. “Sarah, bisa tolong saya? Cari data Putri Azalea terutama alamatnya, saya akan ke sana siapa t
Dalam rapat singkat itu diputuskan jika Nadina akan memiliki tugas ganda untuk menawarkan pakaian keluarga. Namun Meydina sebagai pemilik butik meminta Nadina untuk mengundang Nadhif sebagai model prianya. Hal itu semakin membuat Nadina teringat akan hilangnya sang suami saat ini. “Nadina, kamu harus tetap profesional. Dan terkait foto itu, jika Nadhif tak kunjung menyetujuinya, saya bisa membantumu untuk menggantikan Nadhif di sana!” pekik Sadewa lalu perlahan memegang tangan Nadina yang saat itu tengah mencengkeram gelas minuman. “Bagaimana Nadina bisa menanyainya, dia bahkan belum pulang dan tidak ada kabar semalam! Entah apa yang terjadi padanya juga wanita itu!” sergah Nadina. “Ada masalah apa, Nadina? Saya siap untuk mendengarkanmu!” tutur Sadewa. “Mas Nadhif pergi bersama salah satu santriwati. Kabarnya Mas Nadhif mengantarkan santri itu menemui ibunya yang sedang sakit. Tapi sejak saat ini keduanya tak bisa dihubungi. Keduanya belum pulang sejak kemarin siang,” papar Nadi
Nadina dan Sadewa berhenti di salah satu kafe yang memiliki layanan ruangan privat untuk segala jenis pertemuan. Nadina tak berhenti menangis di sudut ruangan sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sementara itu, Sadewa tampak berpikir sekeras mungkin untuk membuat emosi wanita di dekatnya itu kembali stabil. Dengan sedikit ragu, ia mengambil minuman yang sengaja ia pesan untuk Nadina dan membawanya menuju wanita itu. “Nadina, minum dulu? Kamu butuh banyak tenaga untuk menjelaskan segalanya kepadaku. Aku tidak mau memiliki tampang seperti badut kebingungan seperti ini,” celetuk Sadewa seketika menoleh ke arah Sadewa sembari mengusap air matanya. Saat Nadina melirik, Sadewa dengan cepat meringis, senyuman yang menampakkan giginya itu dengan cepat membuat wajah cuek Sadewa pergi entah ke mana. “Terima kasih. Maaf harus terus merepotkan Mas Dewa,” lirih Nadina seraya mengambil alih gelas minuman itu dan perlahan meneguknya. Sadewa dengan perlahan sedikit menggeser duduknya
Nadina tiba-tiba mendapati tatapan kosong Sadewa yang terkesan mengganggu dirinya. Jarak duduk Sadewa saat ini juga jauh dari batas aman yang pernah ia tuturkan. Mereka terlalu dekat di sudut ruang tertutup itu. Jantung Nadina berdegup kencang, keringatnya mulai mengalir, sementara tangannya mulai kuat mencengkeram ponsel. “Kamu hendak memesan minuman lain dulu, Nadina?” tawar Sadewa tiba-tiba. “Tidak! Nadina mau pulang saja sekarang,” ujar Nadina sembari dengan cepat bangkit dari sofa dan berjalan membuka pintu ruangan itu. Sadewa tak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah wanita itu. Kafe yang ia pilih hanya kafe umum yang akan merespons teriakan. Ia tak bisa mengambil risiko di sana. Akhirnya mereka berdua berada dalam mobil kembali ke jalanan kota dan menuju ke pondok. Seperti biasa, Sadewa berhenti di ujung jalan. Sadewa memberikan payungnya untuk melindungi Nadina dari hujan saat menuju pondoknya. Baru saja Nadina mengangguk dan hendak bersiap, Sadewa malah dengan