Share

Rumah Tua

“Jihan.”

“Maaf Kak, aku mengikuti Kakak.”

Saat itu Arsenio baru sadar. Jika Jihan tengah menggendong putranya. Karena amarahnya. Arsenio hampir saja melupakan putranya.

"Biar aku yang menggendong Arlo."

"Iya Kak."

Arsenio mengambil Arlo yang digendong Jihan. Arsenio memandangi wajah putranya. Dia sangat mirip dengannya. Amarah yang tadinya menguasai Arsenio pun mulai menghilang.

"Papa akan membuat kamu bahagia sayang. Papa janji."

Arsenio mengecup kening putranya penuh cinta. Dan setelahnya Arsenio melangkahkan kakinya kembali.

Langkah Arsenio terus berderap menjauhi rumah Dyra. Namun tidak lama setelahnya Arsenio menghentikan langkahnya kembali. Arsenio membalikkan badannya.

"Kamu mengikutiku?"

"Aku tidak tahu mau tinggal di mana Kak."

Arsenio melihat Jihan. Meski selama menikah dengan Dyra hubungannya dengan Jihan tak begitu dekat, namun Arsenio tahu jika Jihan wanita baik. Dan itu terbukti semenjak Arlo lahir. Dia lah yang merawatnya.

"Aku tidak punya rumah. Kamu tetap mau ikut denganku?"

"Tidak apa-apa Kak. Aku tidak punya siapa-siapa. Aku ikut Kak Arsenio saja. Tapi kalau Kakak tidak mengizinkan. Juga tidak apa-apa kok."

Arsenio diam, dan memperhatikan Jihan. Sebenarnya Arsenio enggan mengizinkan Jihan ikut dengannya. Karena hidupnya saja sudah susah. Tapi....... Arsenio melihat putranya. Selama ini Jihan lah yang merawat putranya. Dan Arsenio belum pernah membalas kebaikan Jihan.

"Baiklah, kamu boleh ikut denganku."

"Terima kasih Kak," balas Jihan yang terlihat sangat bahagia.

Arsenio tak membalas. Ia pun kembali melangkahkan kakinya. Melihat itu, Jihan mengikuti langkahnya.

Langkah Arsenio terus menyusuri jalan yang tengah sepi. Tanpa kendaraan dan hanya jalan kaki. Hingga di depan rumah yang ada di depan jalan setapak. Arsenio menghentikan langkahnya.

"Ini rumah Kakak ya?"

"Ikuti aku."

Bukan jawaban yang diberikan Arsenio. Tapi sebuah perintah. Jihan pun diam dan langsung mengikuti langkah Arsenio yang mulai mendekati rumah itu.

Cklek

Pintu rumah terbuka. Saat Arsenio membuka kunci rumah itu. Gelap. Yah, itu yang pertama kali Arsenio lihat. Memori Arsenio kembali mengingat rumah tua yang ia tinggalkan beberapa tahun lalu. Demi mengejar cinta seorang Dyra. Arsenio harus kehilangan segalanya.

“Aku sangat b*doh,” bisiknya.

Arsenio mengepalkan tangannya. Demi wanita br*ngsek itu. Arsenio sampai meninggalkan semua yang dia miliki. Termasuk rumah peninggalan orang tuanya. Bahkan Arsenio tidak memperdulikan kematian orang tuanya waktu itu.

"Masuk."

"Ta-tapi rumah ini gelap Kak."

Lagi-lagi Arsenio tak menjawab Jihan. Dia kembali melangkahkan kakinya. Langkah Arsenio tertuju pada tombol lampu yang sangat ia hapal tempatnya.

Terang, dan saat itu Arsenio bisa melihat isi rumah. Masih sama, dan tidak ada perubahan sedikitpun. Hanya saja. Ada banyak debu dan sarang laba-laba yang hampir memenuhi isi rumah.

"Ini rumah siapa Kak? Kok seperti tidak terawat?"

"Kau ingin tinggal di sini kan?"

"Iya Kak."

"Kalau begitu, bersihkan rumah ini. Jika sampai besok pagi belum selesai. Aku akan melemparmu pergi dari sini."

Deg

Jihan terkejut mendengar ucapan Kakak iparnya. Setahu Jihan. Dulu saat Jihan tinggal bersama dengannya. Dia laki-laki lembut dan juga baik hati. Tapi malam ini, dia berubah menjadi laki-laki yang sangat dingin.

"Kenapa diam? Kamu dengar atau tidak!!!!!!"

"I-iya Kak."

"Kerjakan sekarang!!!!!!"

"Baik Kak."

Arsenio melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan Jihan menuju kamarnya.

Brakkkk

Arsenio membanting pintu kamarnya. Arsenio menuju ranjang tidurnya untuk membaringkan putranya. Untungnya saat itu putranya tak terbangun dari tidur lelapnya.

Perhatian Arsenio tertuju pada kasur. Ada banyak debu menempel di sana. Arsenio mengurungkan niatnya dan kembali membuka pintu.

"Jihan!!!!!"

Arsenio berteriak, memanggil Jihan yang ada di ruang tamu. Tidak lama setelahnya. Arsenio melihat Jihan yang berlari mendekatinya.

"Ada apa Kak?"

"Bersihkan kamarku. Cepat!!!!!!"

"I-iya Kak."

Jihan yang sudah membawa kemoceng dan sapu langsung masuk ke dalam kamar Arsenio.

Mata elang Arsenio tak hentinya melihat Jihan yang saat ini tengah membersihkan kamarnya. Meski Arsenio tahu Jihan kelelahan. Tapi Arsenio tidak memperdulikan itu. Yah, Arsenio menyadari. Jika kejadian tadi. Membuat hatinya mati.

"Cepat. Jangan lelet. Aku dan anakku mau tidur!!!!!"

"I-iya Kak."

Arsenio menunggu, dan tidak lama setelahnya Arsenio melihat kamarnya yang penuh dengan debu. Bersih dan juga nyaman. Arsenio melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar kembali.

Brakkkk

"Keluar sana!!!!!"

Arsenio mendorong Jihan hingga terbentur pintu. Arsenio berjalan mendekati ranjang tidur.

"Sekarang tidur ya nak."

Arsenio membaringkan putra kesayangannya dengan penuh kelembutan.

"Tidur yang nyenyak ya nak. Papa akan menemani kamu di sini."

Arsenio mengecup kening putranya dengan penuh kasih sayang. Namun tidak lama setelahnya. Arsenio membalikkan badannya.

"Ngapain kamu masih di sana?"

Deg

Jihan terkejut mendengar suara bariton Arsenio.

"A-aku akan keluar Kak."

Tidak ingin melihat Arsenio marah lagi. Jihan langsung keluar dari dalam kamar Arsenio.

"Jihan!!!!!!"

Arsenio kembali berteriak, melihat pintu kamarnya yang dibiarkan terbuka begitu saja.

"I-iya Kak, ada apa?"

"Tutup pintu kamarku. Cepat!!!!!"

"I-iya Kak."

Jihan langsung melakukan perintah dari Kakak iparnya. Tanpa ingin melihatnya marah.  

Huh, Arsenio membaringkan tubuh lelahnya. Mata elangnya melihat putranya yang saat ini tertidur lelap.

"Sekarang hanya ada kamu dan Papa nak. Tapi kamu tidak usah khawatir. Papa akan menjadi orang tua yang terbaik untuk kamu."

Lagi-lagi Arsenio menghujani putranya dengan kecupan. Arsenio benar-benar sangat menyayangi putra kecilnya yang baru berusia dua minggu itu.

Arsenio mengepalkan tangannya. Memorinya kembali mengingat kejadian tadi. Rasa sakit memenuhi hatinya. Tidak ada lagi cinta. Yang ada hanyalah rasa benci. Arsenio ingin sekali membalas perbuatan Dyra padanya. Agar dia juga bisa merasakan betapa sakitnya dibuang begitu saja.

"Tunggu pembalasanku Dyra. Aku akan membalas perbuatan kamu dua kali lipat lebih sakit."

Malam semakin larut. Arsenio yang dikuasai amarahnya mulai merasa ngantuk. Arsenio memejamkan matanya, dan ia pun mulai merangkai mimpinya. Malam itu Arsenio tidur dengan lelap. Yah, mungkin itu karena rasa lelah yang tengah ia rasakan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu yang keras. Mengganggu tidur nyenyak Arsenio. Arsenio yang masih ngantuk. Mengabaikan ketukan pintu. Ia pun kembali melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. Namun suara ketukan pintu semakin terdengar keras saat Arsenio mengabaikannya.

"Sialan."

Arsenio menyerah. Arsenio langsung bangun dari tidurnya. Arsenio melihat pintu yang terus diketuk.

"Sialan. Pasti Jihan yang mengetuk pintu kamarku. Aku akan memberinya pelajaran."

Cklek

Deg

Tubuh Jihan langsung gemetaran melihat tatapan menakutkan dari Arsenio.

"Ada apa?!!!!!!"

"I-ini Kak, ada surat untuk Kak Arsenio."

Arsenio melihat sebuah amplop putih yang dibawa Jihan. Arsenio yang penasaran langsung mengambil amplop itu.

"Kenapa masih berdiri di sini? Cepat. Pergi sana."

"Iya Kak."

Buru-buru Jihan langsung melangkahkan kakinya. Sebelum Arsenio marah lagi.

"Eh, tunggu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status