"Apa maksud kamu permalukan aku di depan umum?!"
"Loh, kenyataannya memang demikian kan, Mas? Kenapa Mas jadi nyalahin aku sih? Mas berlama-lama di cafe itu hanya untuk ketemu Mutia, kan. Dan Mas gengsi di hadapannya, pengan nampakin kalau Mas itu banyak duit, nyatanya? Mas itu pengangguran.""Karin!"Hampir saja kuayunkan tangan ke pipinya, hanya saja aku terngiang perkataan pria yang bersama Mutia tadi. Ah, siapa pria itu."Hush, ada apa sih ini?" tanya wanita paruh baya yang itu adalah ibuku. Dia sedang bersama adikku menenteng beberapa tas belanjaan."Ibuk datang dari mana?""Ini lho, ibu sama Widya dari mall, ditraktir belanja sama Karin. Karin baik banget, lho. Kamu beruntung punya.""Hah, sudah. Kepalaku semakin pening ada di sini.""Loh, Gha. Jangan risau, ibuk juga beliin kamu kok.""Buk, ibuk tau kan kalau Agha sekarang itu pengangguran, kenapa ibuk belanja terus.""Ya ndak apa-aKembali ke Pov Mutia"Mas Agha, sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Namun, maaf. Keluargamu sudah sangat keterlauan padaku." Kukirimkan sebuah vedio, di mana ManMer dengan Widya tiba-tiba datang bak orang kesambet, lalu mengacak-acak cafeku sehingga pengunjung berlarian. "Apa yang kalian lakukan?" "Ouh, jadi bener, ya. Ini cafe milik kamu? Jadi selama ini, kamu diam-diam sembunyikan uang Agha karena kamu tahu kamu akan diusir dari rumah kami? Keterlaluan."PlakAstaghfirullah, aku masih berusaha diam walau pipiku terasa begitu nyeri. Apa-apaan ini, mereka tau dari mana kalau ini cafeku. "Kalian tau dari mana kalau cafe ini milikku?""Tidak penting, sekarang sebaiknya kamu kembalikan semua uang yang sudah kamu ambil buat modal cafe ini. Jika perlu, kamu jual cafe ini dan serahkan semua uang itu pada kami.""Tidak," tangkasku. Kutarik napas dalam-dalam, setelah melihat langsung surat was
"Kamu sudah permalukan keluargaku. Dasar wanita tidak punya hati." Mas Agha ternyata belum juga bisa melihat kenyataan, padahal jika dia benar-benar mendengarkan video viral itu dengan baik, dia akan paham apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Namun, sekuat apapun tenagaku, aku bisa lepas dari tangan Mas Agha yang saat ini tengah mencengeram lenganku. "Lepas, Mas. Lepas." "Tolong hentikan, lepaskan aku, Mas." "Tidak, rasakan ini. Kamu kan seorang janda, jadi pasti merindukan sentuhan bukan.""Berhenti, aku tidak sekeji itu, Mas. Tolong, Mas. Hiks hiks. Hentikan, katakan saja apa salahku.""Kamu masih bertanya apa salahmu? Gara-gara kamu ibuku mendapat cacian sedunia maya," hardik Mas Agha dan terus saja meluncurkan cacian dengan tangan mencengkeram lenganku. "Semua itu salah ibumu, dia yang datang ke cafeku. Kenapa aku yang disalahkan." "Berhenti omong kosong, aku tidak peduli."Apa mungkin Mas
Saat kurasa semua sudah siap, aku pun bergegas menghubungi Ibrahim. Kuhembuskan napas pelan, dan kulipat rapih kertas yang berisi sepenggal pesan dari ayah dan ibu. "Mutia janji akan mencari pria yang ayah sama ibu maksud, dan jika dia memang masih sendiri, lalu dia mengajak Mutia untuk nikah, Mutia mau, Yah. Maafin Mutia yang baru baca pesan dari ayah. Hiks."Pilu rasanya, entah apa ini masuk dalam kategori perjodohan, jika iya, semoga pria itu masih mau menerima keadaanku yang seperti ini. Tok tok tokKubuka pintu setelah menjawab seruan salam, Ibrahim, maka tidak menunggu lama, aku menemui Bu Kontrakan terlebih dahulu untuk memberikan kunci dan pamit secara baik-baik. "Duh, Mutia. Sudah mau pindah, nih. Kenapa emang? Gak enak tah ngontrak di sini? Eh, denger-denger kamu pemilik cafe yang lagi viral itu ya, selamat, ya. Boleh laa nanti kalau main ke sana di gratisin atau dapet bonus gitu."Aku mengulas senyum, tersengar suar
"Maaf, Mas. Dulu kamu putuskan untuk pergi dan meninggalkanku. Maka, saat ini hatiku telah kututup rapat untukmu," jujurku tanpa ingin memberinya harapan. Dunia ini punya hukum kausalitas, rasa ini pudar akibat ulahnya sendiri. "Tapi, Mutia. Apa kamu tidak cinta lagi sama Mas? Sebenarnya Mas itu masih cinta sama kamu."Aku diam sejenak, sejatinya rasa tidak bisa kupungkiri bahwa masih ada, tetapi semakin hari rasa itu pudar bahkan hampir tak tersisa lagi. "Mas, aku sarankan Mas jangan tinggalkan Karin, dia satu-satunya harapan keluarga Mas bukan? Dia mampu ngasih banyak uang, sementara aku?""Kamu kan sudah kaya, Mutia. Lihat saja cafe kamu, orang tuaku pasti akan sangat menerimamu jika kita ingin kembali bersama lagi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku sedang ada urusan penting, Mas. Jadi sebaiknya Mas pergi dan cari Karin sebelum terlambat. Jika memang bayi di kandungan Karin itu bukan anak Mas, tidak masalah, rawat bayi itu layaknya darah daging Mas sendiri, si
"Buk, lagi apa?" sapaku pada wanita yang kupanggil ManMer dalam hati itu. Tentu kalau secara langsung aku tak berani memanggil demikian. Wanita itu tampak gelagapan, ia memicing ke arah seorang wanita di sampingnya. Dia Widya. "Loh, kenapa kamu ada di sini?" "Ini rumah aku.""Apa? Jangan ngarang deh, ini tuh rumah Karin, Karin kan punya banyak rumah gak kayak kamu yang hanya berasal dari panti dan mampunya cuma ngontrak aja. Ya, walaupun sudah punya hasil dari cafe si, gak akan seberapa." "Buk, ini bener rumahku," ujarku meyakinkan. Wanita paruh baya yang telah mengenakan baju yang sangat berbeda dari biasanya ini tergelak dengan posisi tangan memegang ponsel yang kulirik posisi kamera terbuka. "Ibuk mau Mutia fotoin?" "E-em, eng-enggak. Siapa juga yang mau foto-foto di sini." "Wid, kamu ngapain di sini?" "Mau ketemu pemilik rumah ini, tapi saat kutelfon Mbak Karin, ternyata dia lagi d
Sudah beberapa hari rasanya aku diteror oleh perkataan ManMer yang masih saja membuat status yang mengundang ocehan ibu-ibu kompleks yang tidak-tidak. *Mentang-mentang sudah kaya, sudah punya usaha. Ya, paling usahanya bentar lagi juga collapes, secara gitu kan. *Eh, seriusan, Jeng? Mutia sudah kaya sekarang? Keren ya dia. Seakan semua orang sudah tau kalau yang dikutip dalam status ManMer itu adalah aku. Baik, aku masih berusaha diam, tetapi semakin aku diam mereka semakin saja ngelunjak. *Jangan deh makan di cafe Mutia, khawatir ikan yang dipakai bukan ikan yang semestinya. Coba deh kalian bayangkan, dari mana coba uang sehingga bisa langsung kaya gitu. Dulu, dia itu hanya seorang pengemis yang nyamar jadi menantu rumahku ini. *Dih, iya juga, ya. Jadi bergidik. Jangan-jangan yang dipakai itu daging yang udah busuk, sehingga dapat harga murah, dijualnya mahal. *Enggak, Jeng. Aku pernah makan di sana, tapi gak mahal kok. Ba
"Buk, apa ibuk selama ini bohong sama Agha? Ibuk bilang rumah ini aman? Agha minta ibuk tabung uang buat beli rumah baru, malah ibuk hambur-hamburkan. Apa benar selama ini itu Mutia hanya ibuk buat kambing hitam? Apa benar semua yang dikatakan Mutia, Buk?" ManMer mati kutu, dia diam dan terus saja bungkam. "Sekarang Agha tanya, apa semua uang yang Agha minta ibu buat tabung, ludes?" Masih saja bungkam, hanya Mas Agha yang yang terus saja bicara. Ia tampak memilin alisnya, lalu menggelengkan kepala. Tatapannya nanar, aku pun mejadi salah tingkah mau beradu pandang dengannya. "Jadi gini, Mas. Ternyata, selain rumah yang aku tempati saat ini, ada beberapa tempat yang juga merupakan tanah warisan ayahku. Rumah ini termasuk salah satu dari semua itu. Aku hanya mau menyampaikan itu." "Terima kasih aku ucapkan untuk mantan mertuaku dan mantan adik iparku yang selama ini sudah memperlakukanku melebihi babu. Setahuku, babu masih diberi makan
Dag dig dugEntah Ibrahim mendengar degupan ini ataukah tidak, kenapa semakin lama dan semakin kudengar suara Ibrahim, seakan detak ini semakin tak bisa kukendalikan. "Boleh?" tanya Ibrahim yang membuatku kesal, dia memaksaku untuk menjawab di saat aku sibuk mengendalikan deru napas yang mulai tak beraturan. "Si-silakan," jawabku terbata-bata. Kututup mulutku dengan telapak, kenapa jadi mendadak gagu seperti ini. Duh, Mutia. Kamu bukan anak remaja lagi. Sejenak menjadi hening, ini Ibrahim kenapa harus mempermainkan degup jantungku seperti ini. "Aku ingin ... em ... kita beli ice krim itu, gimana?" Aku tepuk jidat ini, lalu beranjak dan berjalan lebih awal. Akan tetapi kudapati Ibrahim tetap diam. 'Malu, Mutia. Degup jantungmu udah kayak mau copot gara-gara kamu ke-PD-an, lho.' "Mutia, aku malam ini ke rumahmu." "Tidak udah, Him. Kamu kan tau aku ada janji sama Mas Agha.""Jadi kamu mau