"Kalau kamu masih ada sedikit hati nurani, segera bawa dia pergi dari sini. Seandainya terjadi sesuatu pada ayahku, aku nggak bakal melepaskanmu!" Aku berteriak kepada Harry.Harry takut terjadi sesuatu kepada ayahku, akhirnya dia menarik Jasmine dan membujuknya. "Sudah, tutup mulutmu."Namun Jasmine sama sekali tidak memedulikan kondisi ayahku. Dia malah makin memprovokasi kemarahan ayahku."Maya, berhenti menjual kesedihan! Cepat, kembalikan semua yang kamu rebut dari Keluarga Sinjaya. Ini adalah rumah yang diberikan Harry kepadaku. Kamu mendapatkan rumah ini dengan cara yang kotor, sekarang malah membawa keluargamu buat tinggal di sini juga. Kamu sudah gila?" Jasmine bersenang-senang di atas penderitaanku.Giana datang ke kamar kami saat mendengar keributan. Raut wajah Giana terlihat muram dan panik."Ayah, kembali ke kamar. Bu, tolong bawa Ayah ke kamar." Aku mengkhawatirkan keadaan ayahku, makanya aku memaksanya kembali ke kamar.Ayahku menggenggam erat tanganku. "Maya, jangan tak
"Ayah ...." Aku menjerit sambil menangis, "Ayah!"Semua orang tersentak melihat keadaan ayahku, Harry sampai buru-buru menelepon ambulans.Seisi rumah dipenuhi oleh suara tangisan aku, Adele, dan ibuku.Fanny dan ambulans tiba bersamaan. Begitu naik, Fanny langsung mengerti sesaat melihat ayahku yang tersungkur tak berdaya.Aku menitipkan Adele kepada Fanny, aku dan ibuku masuk ke dalam ambulans dan ikut ke rumah sakit. Di dalam ambulans, dua orang perawat buru-buru memberikan pertolongan pertama kepada ayahku.Aku yang gemetar pun mencari ponselku untuk menghubungi Taufan. Sesaat panggilannya dijawab, aku menangis sambil berkata, "Tolong bantu aku cari dokter. Ayahku ....""Di rumah sakit mana?" tanya Taufan."Rumah Sakit Bangsa.""Oke."Aku merasa agak lega setelah menghubungi Taufan.Sesampainya di rumah sakit, ayahku langsung dibawa ruang UGD. Aku duduk sambil bersandar tak berdaya di tembok. Aku memeluk diriku sendiri, hatiku terasa sangat sakit.Ayah dan ibuku bersusah-payah memb
Aku mengkhawatirkan Taufan dan mengingatkannya, "Hati-hati, takutnya dia membalasmu.""Tenang saja." Taufan mengajakku kembali ke ruang UGD.Ketika kami kembali, ibuku bertanya, "Di mana bajingan itu.""Sudah pergi," jawabku.Setelah dua jam, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD. "Kondisi pasien sudah stabil, untungnya segera dibawa ke rumah sakit. Kalian harus menjaga emosi pasien, jangan sampai emosi, apalagi terpukul."Aku pun lega mendengarnya. Taufan berpesan kepada dokter, lalu memberikanku saran. "Jangan bilang ayahmu sudah sadar. Sebarkan berita ayahmu masih kritis."Taufan meminta pihak rumah sakit untuk memberikan kamar VIP kepada ayahku. Taufan juga meminta ibuku tinggal di rumah sakit agar lebih mudah untuk merawat ayahku. Dengan begitu, juga tidak ada orang asing yang mengetahui kondisi ayahku yang sebenarnya.Aku sedih melihat wajah ayahku yang pucat dan mengenakan tabung oksigen. Begitu melihat aku, ayahku tidak bisa membendung air mata, bibirnya bergetar marah.
Aku makin kesulitan bernapas, kurangnya oksigen membuat kepalaku pusing. Aku memelotot tak berdaya, aku mencengkeram tangan Harry yang mencekikku.Di mataku, Harry tak lebih dari seorang iblis. Apa yang membuatku mencintai bajingan ini?Pandanganku semakin kabur. Sebelum kehilangan kesadaran, Harry melempar tubuhku hingga menabrak tembok. Rasa sesak dan lemas bercampur jadi satu.Aku meringkuk sambil memegang leherku dan batuk-batuk. Giana dan Jasmine berdiri di depan pintu, mereka diam saja melihat Harry menyiksaku.Jasmine tersenyum puas. "Maya, akhirnya kamu mendapatkan karma yang setimpal, haha. Kak, seharusnya kamu memukulinya sejak lama. Orang kayak dia nggak pantas dikasihani."Pujian Jasmine membuat Harry merasa di atas angin. Sepertinya Harry lupa bagaimana kondisinya saat dihajar Taufan di rumah sakit."Mau serahkan atau tidak?" Harry berteriak seperti seekor binatang buas. "Tadinya aku mengira kamu masih berguna, aku bisa memanfaatkanmu untuk mendapatkan proyek dari Taufan.
Fanny mengangguk, dia buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menghubungi asistennya dan memintanya untuk mengirimkan wartawan ke rumah ini.Setelah Fanny menyimpan ponselnya, aku memintanya untuk membantuku berbaring di lantai. "Lepaskan aku, taruh saja di lantai. Cepat, foto! Foto!"Fanny memapahku sampai ke lantai satu, lalu terpaksa meletakkanku di atas lantai dan mengeluarkan ponsel untuk memotret kondisiku yang baru disiksa. Fanny mengambil fotoku dari segala arah, dia juga memotret semua memar yang ada di tubuhku.Fanny juga menghubungi Haikal dan Komisi Perlindungan Wanita untuk datang ke rumah.Ternyata Harry, Jasmine, dan Giana belum pergi. Mereka bersembunyi di lantai satu. Harry pun panik menyaksikan tindakan Fanny. Dia berteriak dari kejauhan, "Maya, kamu yang cari mati! Nggak ada gunanya lapor polisi, ini adalah rumahku. Suami istri bertengkar adalah hal yang wajar.""Bajingan, kamu belum pergi?" Fanny mengeluarkan pisau dan mengejar Harry.Harry berlari ke dalam kamar utama
Mataku terasa panas saat mendengar omelan Taufan. Sebuah gelombang hangat bergejolak di dalam hatiku.Di saat mobil melaju dan membawaku pergi, aku bertanya mau ke mana, tetapi dia tidak menjawab.Taufan malah menarik daguku, lalu mengamati wajahku. Aku tersipu malu menghadapi tatapan Taufan. Kemudian aku menepis tangannya dan bertanya kepada sopir yang mengemudikan mobil, "Kamu mau membawaku ke mana?"Namun sopir tersebut malah menekan sebuah tombol, papan penyekat pun muncul untuk memisahkan tempat duduk di depan dan belakang.Harus kuakui, Bright Celestial menyediakan fasilitas yang memadai untuk karyawan. Meskipun Taufan hanyalah seorang asisten CEO, dia mendapatkan kompensasi yang memadai dari perusahaan."Di mana lukamu?" tanya Taufan."Ah? Aku nggak luka. Kamu lihat sendiri." Aku menghindari tatapan Taufan."Jadi semua foto yang beredar adalah foto palsu?" Taufan mendesakku. "Kamu mau tunjukkan sendiri atau aku yang gerak?"Jantungku berdebar kencang, suasana ini membuatku salah
Entah berapa lama, sebuah suara yang lembut membangunkanku dari tidur. Aku merasa seperti ditarik kembali ke dunia nyata.Aku membuka mataku secara perlahan-lahan, tampak sebuah sosok tampan yang muncul di hadapanku. Aku terkejut dan bangun. Gerakanku yang terlalu cepat membuat memar di perutku terasa sakit."Hati-hati." Taufan berdecak kesal.Kami masih berada di dalam mobil, aku melihat hari mulai gelap. Matahari berwarna keemasan menutupi sebagian langit dan perlahan terbenam di ufuk barat."Astaga, sudah jam berapa? Aku harus menjemput Adele." Aku panik sambil buru-buru mencari ponsel."Aku menghubungi temanmu menggunakan ponselmu, aku memintanya untuk menjemput putrimu," Taufan menjawab dengan santai. "Bangun! Kakiku keram."Aku baru sadar bahwa diriku tertidur di dalam pelukannya. Wajahku memerah dan tersipu malu, kenapa Taufan tidak segera membangunkan aku?"Aku ... tidur berapa lama?" Aku tidak enak hati. Aku bergegas melepaskan pelukannya dan menjaga jarak."Dua jam lebih." Ta
Pikiran ingin melarikan diri bahkan terbesit di kepalaku. Kata orang lebih baik mencegah daripada mengobati. Mungkin selama ini aku terlalu membuka diri, makanya Taufan sama sekali tidak sungkan kepadaku.Taufan menghentikan gerakan tangannya saat melihat aku melamun. Dia menatapku dingin sambil bertanya dengan nada bicara yang mengejek, "Kenapa? Takut? Kamu berpikir untuk menjaga jarak? Apakah aku begitu menakutkan?"Wajahku sontak terasa panas, aku memelototinya sambil menjawab, "Siapa yang takut sama kamu?"Mulutku tidak mau mengaku, tetapi jantungku berdegup kencang."Kalau kamu menjaga jarak sama bajingan itu, kamu tidak akan terluka seperti sekarang." Taufan kembali mengoleskan obat. "Tenang, aku hanya akan melakukannya kalau kamu bersedia. Kalau kamu menolak, aku pun tidak akan memaksa."Aku menatapnya dengan memelas, tetapi dia tidak menghiraukan aku."Dengarkan aku, baring yang benar." Tiba-tiba nada bicaranya berubah jadi lembut. "Mau aku pakai cara kekerasan?"Sepertinya har