"Ayo, Om." Desak Nala yang rupanya tak memberi ampun, tak memberi jeda untuk Bastian berpikir.Karena desakan Nala itulah yang membuat Bastian lekas menganggukkan kepalanya samar, memiringkan tubuhnya ke arah Nala. Tangan besar itu terulur untuk menjangkau tengkuk Nala, memastikan keduanya dalam posisi yang baik. Melihat Nala yang memejamkan mata membuat Bastian tersenyum, ditariknya tengkuk Nala agar semakin dekat dengannya.Sentuhan benda kenyal dan lembut itu membuat tubuh Nala seperti disengat listrik bertegangan tinggi, ini adalah kali pertama bibirnya dijamah oleh seseorang. Kebahagiaan Nala tentu saja berlipat ganda, merasa dirinya berhasil menjaga kehormatannya, dan tentu saja merasa bangga karena yang pertama melakukan adegan intim dengannya adalah laki-laki sah dalam hidupnya.Lumatan pelan itu mulai terasa, tentu saja pemimpinnya adalah Bastian. Tak perlu susah payah bagi Bastian untuk menjamah masuk ke dalam mulut Nala--sebab perempuan itu sendiri yang menyambut kedatangan
"Udah, ya, Wa. Mungkin emang ini jalan terbaik buat kalian." Usapan lembut Nala tak berhenti membelai punggung laki-laki yang masih terisak tersebut. "kan masih bisa ketemu juga."Di dalam dekap Nala--Dewa menyelesaikan luapan emosinya yang ditahannya sejak semalam dan belum sepenuhnya keluar. Air matanya masih ingin mengalir, dadanya masih terasa sesak. Bahkan ia meruntuhkan harga dirinya sendiri, menunjukkan sisi lemahnya di depan wanita yang masih ada dalam hatinya."Jangan sedih-sedih lagi, ya. Kasihan Mama kamu kalau masih dipaksa buat bertahan, makin sakit dianya. Kalau ini sakitnya mungkin cuma diawal aja, nanti bakalan lebih baik kedepannya. Nala menghela nafas kasar, emosinya kembali memuncak mengingat cerita Dewa tadi. "emang bajingan banget bapak lo, Wa. Ngewe doang kerjaannya, moga membusuk deh tu otongnya."Perlahan Dewa mulai menjauhkan wajahnya, agaknya ia sudah siap memperlihatkan wajah berantakannya. Melihat itu tangan Nala pun lekas terulur untuk menyeka sisa air mat
Seharian ini Nala benar-benar meluangkan waktunya untuk Dewa, menghibur laki-laki itu semampu yang ia bisa. Menikmati makanan yang dibeli dengan dibumbui obrolan ringan yang tak jarang mengundang gelak tawa keduanya.Hampir pukul lima sore, barulah keduanya memutuskan untuk pulang, itu juga karena langit tiba-tiba mendung."Makasih, Nal. Seharian ini udah nemenin gue, jadi pendengar gue."Gerakan Nala yang tengah melepaskan sabuk pengaman itupun terhenti, atensinya beralih pada Dewa yang masih menatapnya lembut. "Santai aja, jangan makasih-makasih mulu. Kalau ada masalah, inget! Masih ada gue buat tempat berbagi cerita. Ini bahu siap jadi sandaran lo kapan aja.""Siap.""Ah, satu lagi." Nala agak tak tega sebenarnya untuk mengatakan ini, namun apa boleh buat? Dewa pasti mengerti akan maksudnya, 'kan? "coba buka hati buat yang lain juga, Wa. Gue ngehargai banget perasaan lo ke gue, tapi mau gimana lagi, Wa? Gue udah nikah."Senyuman di bibir Dewa itupun perlahan luntur, tertampar fakta
Pertemuan dua bibir itu berlangsung lebih lama dari sebelumnya, kemampuan Nala sendiri juga sudah semakin meningkat. Bahkan, saat Bastian hendak menyudahi ciuman itu, Nala menahan tengkuk Bastian, tak rela jika ciuman itu harus berakhir.Posisi keduanya pun sudah berubah, wajah Bastian sudah ada di atas Nala, sementara tubuhnya masih bertahan di samping Nala. Bastian sendiri tak berniat untuk memaksakan kehendak, biarlah Nala menyelesaikan ciuman ini.Pada akhirnya, Nala pula yang kalah. Tangan kecilnya yang bergerak mendorong dada Bastian, wajahnya telah memerah, begitu pula dengan leher dan telinganya. Dalam kondisinya yang kekurangan pasokan oksigen, Nala masih menyempatkan diri untuk melempar senyum pada Bastian. "Makasih, Om.""Lain kali nggak perlu lama-lama, merah semua kan mukanya." Bastian mengusap lembut pipi Nala dengan ibu jarinya, tanpa mengubah posisinya saat ini. Bukannya marah, Nala malah tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putihnya."Om udah ngantuk, belum
"Nghh-"Posisi Bastian saat ini benar-benar di atas tubuh Nala. Tentu saja bagi perempuan polos seperti Nala ini harus ada pemanasan extra supaya tidak terkejut dan Bastian paham betul akan hal itu. Begitu tautan dua bibir itu terlepas, Bastian lekas menurunkan ciumannya pada leher dan juga tulang selangka Nala.Begitu dirasa sudah siap untuk menjalani sesi selanjutnya, Bastian pun memindahkan tubuhnya. Memandang wajah memerah Nala dari samping, tangan besarnya langsung terulur menelusup masuk ke dalam baju Nala."Ah!" Terkejut Nala akan kedatangan jari kasar dan besar itu, hingga tubuhnya terangkat selama beberapa detik. "kasar banget."Bastian tentu saja tak mengerti akan ucapan Nala, bahkan tangannya pun baru menjelajah sampai perut rata perempuan itu. "Kasar, ya? Padahal belum apa-apa."Ada gelenyar aneh yang Nala rasakan di perutnya, padahal saat ini telapak tangan Bastian dalam kondisi diam di tempat. Mungkin karena gesekan asing dan terasa dingin itulah yang membuatnya bergerid
Potongan sosis dan sayur itupun masuk ke dalam wajan, selanjutnya tangan Nala bergerak untuk menumisnya. Tak lupa juga dengan bumbu penyedap yang juga turut terjun menambah cita rasa masakan yang akan menjadi lauk terakhir untuk bekal hari ini."Hmm." Nala menganggukkan kepala, merasa rasa masakan ini sudah pas. Selepasnya ia pun mematikan kompor, membiarkan tumisan itu ada pada tempatnya, sementara kaki kecilnya melangkah menuju kulkas.Hari ini Nala pulang lebih awal karena satu mata kuliah yang tiba-tiba dibatalkan, oleh sebab itu ia mengisi hari ini dengan bermain ke tempat kerja suaminya sembari membawakan bekal makan siang.Karena cuaca yang sedang terik-teriknya, Nala pun berinisiatif untuk membawakan minuman segar, tapi nyatanya jam makan siang juga sudah mepet, membuatnya tak bisa terlalu ber-eksplorasi dalam membuat menu kompleks. "Udah, jus mangga aja, nggak ribet. Seger juga lagian." Satu buah mangga langsung diambilnya untuk kemudian dikupas kulit buahnya dan dicuci terleb
"Nala, tunggu!" Bastian mempercepat langkah kakinya, beberapa kali ia menyenggol lengan orang lain yang berpapasan dengannya, sampai akhirnya tangan panjangnya dapat menyentuh lengan Nala. "tunggu!"Tubuh kecil Nala yang tak sebanding dengan Bastian tentu saja langsung tertarik ke belakang. Tak senang rasanya, hingga ditampiknya dengan kasar tangan Bastian, meskipun tak sampai terlepas. "Apa?""Mau ke mana, hm?""Tau ah! Bete banget. Ngapain nyusul segala, balik lagi noh ke cewek lonte kek kontol.""Astaga Nala--Ya ampun." Bastian sontak langsung membekap mulut Nala, telapak tangan besarnya hampir menutupi wajah Nala sampai ke mata. "jelek banget mulutnya, jangan ngomong gitu lagi. Nggak sopan." Bastian menoleh ke kanan dan kiri sebelum melepaskan bekapannya dari mulut Nala.Tentu saja Nala memberikan tatapan sinis pada laki-laki yang behasil membuatnya tantrum tersebut. "Makanya, jangan diem aja kalau digatelin.""Iya, Nala. Tadi kan saya nggak diem aja, udah ngusir dia juga, 'kan? K
"Gimana? Jadi nongki, nggak?""Jadi, bentar tapi. Nunggu Dewa." Argi meletakkan tas punggungnya dengan kasar, pandangannya beralih ke arah luar jendela. Agak resah menunggu kedatangan Dewa yang masih belum menunjukkan batang hidungnya. "kenapa nggak langsung cerita aja?" Netra cokelatnya melirik dua wanita di belakang dari balik cermin.Gerakan tangan Nala berhenti, pandangannya beralih pada sepatu yang dikenakannya. "Gimana gue mau cerita, Gi? Ini bukan urusan gue. Takutnya juga pas gue cerita, terus Dewa tau, dia nggak lagi percaya sama gue. Jadi, ya gue berharap Dewa sendiri yang ngasih tau."Dina yang sejak tadi fokus dengan laptop-nya pun langsung menutup benda itu, beralih menatap dua temannya bergantian sebelum menghela nafas berat. Argi dan Nala tak salah, keduanya memiliki pemikirannya masing-masing."Tapi, Nal--harusnya tetep kasih tau, jangan diem aja. Berasa nggak guna banget gue, Dewa sama gue sering main bareng, tapi gue nggak tau apa-apa.""Udah, Gi. Nala nggak sepenuhn