Share

Mendadak Jadi Ibu Untuk Anak Bos
Mendadak Jadi Ibu Untuk Anak Bos
Penulis: kimbabroll

1. Dunia Itu Kecil

Matahari menatap bangunan mewah yang berdiri di depannya dengan mata mengerjap lambat.

Hari ini ia berencana untuk melamar pekerjaan sebagai pengasuh anak dan jujur saja ia tak menyangka jika calon anak yang akan ia asuh adalah anak dari orang sekaya ini.

"Mari masuk, Nyonya ada di dalam." Sontak Matahari pun meneguk ludahnya dengan berat begitu dihadapkan dengan sebuah ruangan yang begitu megah dengan hiasan yang dari jauh saja sudah terlihat semahal apa harganya.

Sepanjang jalan yang dipimpin oleh wanita yang Matahari duga sebagai kepala pelayan di rumah tersebut, Matahari mencoba untuk berjalan sejauh mungkin dari guci-guci yang menjadi hiasan di koridor yang ia lewati.

"Silahkan masuk." Matahari menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam sebuah ruangan yang terdapat sosok wanita yang sudah mulai berumur itu.

"Matahari?" Matahari mengangguk kaku begitu namanya disebut oleh wanita yang jika ia kira-kira mungkin akan seumuran dengan Ibunya itu.

Wanita itu tersenyum ramah dan menyuruh Matahari untuk duduk terlebih dahulu. "Saya Ratih, sebelum kesini kamu sudah tau persyaratannya kan?"

"Sudah, Nyonya." Wanita itu terkekeh pelan dengan gaya anggun khas orang kaya.

"Panggil Ibu saja, gak usah terlalu kaku. Kita langsung saja ya? Jadi kalau kamu bersedia bekerja disini, kamu juga harus bersedia untuk menetap disini karena saya mau mereka diawasi dua luluh empat jam, kamu bersedia?"

Matahari meneguk ludahnya dan mengangguk. "Saya bersedia, Bu."

Apapun syaratnya akan Matahari terima selagi tak merugikan dirinya sendiri. Yoh yang ada dia akan sangat betah tinggal di rumah semegah ini bukan?

"Cucu bungsu saya itu punya trauma dengan orang baru. Mungkin pendekatan dengan dia akan sangat sulit, belum lagi Daddy nya Airis yang juga susah percaya sama orang lain. Jadi persyaratan paling utama dari pekerjaan kamu ini ya Airis harus menerima kamu dan soal anak saya, nanti kita pikirkan yang penting Airis dulu."

Matahari menjadi semakin gugup, bahkan ujung-ujung jarinya mendadak menjadi dingin. Bagaimana jika anak tersebut tak mau menerimanya?

Matahari memang sangat menyukai anak kecil dan gampang dekat dengan mereka. Namun bukan berarti ia tak pernah ditolak. Terlebih jika anaknya adalah tipe anak seperti Airis yang mempunyai trauma.

Matahari jadi tak yakin ia akan berhasil dengan pekerjaan ini. Tampaknya ia harus kembali mencari pekerjaan lain.

"Disini kamu gak hanya harus menjaga Airis, tapi juga kedua Kakaknya. Dan untuk mereka mungkin pendekatan bisa lebih mudah, jadi yang diutamakan disini adalah Airis."

Namun, ditengah pembicaraan Matahari dan juga Nenek dari ketiga bocah yang ia jaga, pintu ruangan tempat mereka berbincang tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok pelayan dengan wajah sedikit paniknya.

"Maaf sebelumnya Nyonya, tapi Non Airis tiba-tiba nangis." Sontak Ratih pun segera bangkit dan berjalan dengan tergopoh-gopoh.

Sedangkan Matahari pun ikut berjalan di belakang Ratih, hingga mereka sampai di depan sebuah kamar bernuansa putih.

Di dalamnya terduduk seorang anak yang Matahari duga berusia empat atau lima tahun yang tampak tengah menangis tersedu. Anak tersebut bukan menangis meraung dengan suara melengking yang memekakkan telinga, melainkan ia menangis dengan suara yang lirih membuat orang-orang yang mendengarnya ikut merasa tak tega.

Ratih mendekat kearah sang cucu mencoba untuk membujuk namun tak mempan. Matahari yang tak tega melihat wajah bocah yang kini sudah memerah itu pun ikut mendekat.

Matahari masih tak berani untuk langsung membujuk, ia hanya berdiri lebih dekat sembari terus memperhatikan bocah tersebut hingga netra keduanya bertemu.

Gadis kecil dengan mata bulat dan berpipi chubby itu perlahan menghentikan tangisnya. Matanya menatap Matahari dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan memindai.

Matahari memperhatikan wajah Airis yang tampak lucu itu dengan seksama. Wajahnya terlihat begitu familiar, namun Matahari tak dapat mengingat dimana ia pernah bertemu dengan Airis.

Matahari tersenyum kecil dan mencoba untuk merayu bocah kecil berwajah imut itu dengan cara menjulurkan tangannya.

Dan ajaibnya, bocah itu malah membalas uluran tangan Matahari dan bersedia ketika Matahari rengkuh dengan sangat hati-hati. Bahkan kini tangan Airis mulai bertaut dibalik leher Matahari, menyamankan posisi di dalam pelukan Matahari.

Ratih yang melihat kejadian tersebut tentu saja kehilangan kata-kata. Sudah beberapa orang yang melamar pekerjaan tersebut, namun baru Matahari yang berhasil.

Bahkan pelayan senior disini saja selalu ditolak oleh Airis. Dan kini, Airis dengan mudah dan tanpa perlawanan menerima Matahari begitu saja.

Rasanya Ratih ingin menangis bahagia.

"Bersihkan kamar disebelah secepatnya."

•••

"Akhirnya ya Tuhaan." Gumam Matahari sembari merebahkan tubuhnya diatas ranjang yang begitu empuk.

Ia baru saja selesai menidurkan Airis dan berkat kerja sama bocah lucu tersebut ia setidaknya mempunyai kesempatan untuk dapat bekerja disini dengan mudah.

Matanya perlahan bergerak memandang langit-langit serta seluruh sudut kamar yang nantinya akan menjadi tempat ia beristirahat ketika selesai bekerja. Ini masih calon kamarnya, sebab ia belum menandatangani kontrak.

Dan untuk menandatangani kontak, ia harus menunggu Ayah dari Airis pulang bekerja terlebih dahulu.

"Dari dulu kek gue nemuin ini kerjaan, seenggaknya gue gak usah buang-buang tenaga ama emosi tiap hari ngadepin bos model kulkas berjalan yang suka emosian." Sewot Matahari ketika mengingat mantan atasannya selama lima tahun belakangan.

Matahari bahkan heran dengan dirinya sendiri, kenapa ia bisa betah bekerja disana selana lima tahun?

Sedangkan disini ia hanya perlu mengawasi anak imut selama seharian penuh, belum lagi persyaratannya yang tak memberatkan sama sekali malah lebih menguntungkan untuk Matahari sebab ia tak perlu bayar uang untuk tempat tinggal plus kebutuhannya juga dipenuhi oleh para pekerja lainnya.

"Berasa jadi nyonya gue kalo gini mah." Gumam Matahari dengan senyum selebar samudera antartika dengan mata terpejam menikmati empuknya kasur yang ia tiduri.

Pekerjaan ini memang sangat melenceng jauh dari riwayat pendidikan serta pekerjaannya yang terdahulu sebagai sekertaris di sebuah perusahaan besar tanah air, namun jika ia bisa diterima serta pekerjaannya lebih menyenangkan kenapa tidak?

Toh mengurusi anak-anak akan lebih mudah ketimbang mengurusi orang dewasa yang selalu sukses membuat Matahari emosi setiap hari.

Ditengah kesibukan Matahari yang tengah menikmati kasur serta kamar barunya, sebuah ketukan datang dari arah pintu kamar dan membuat Matahari segera berdiri.

"Bapak sudah pulang, Nyonya suruh Mbak Matahari untuk segera turun." Matahari menghela napas panjang begitu seorang pekerja di rumah tersebut memintanya untuk turun.

Matahari merapikan pakaiannya terlebih dahulu dan bergegas untuk turun.

Ketika Matahari masih di tangga, Matahari terdiam di tempatnya ketika mendengar ada sedikit kegaduhan.

"Mama mau balik ke jepang ngurusin Papa kamu! Mama disini udah hampir dua bulan! Mama gak masalah soal jagain anak kamu, tapi Mama juga gak bisa biarin kamu lepas dari tanggung jawab! Jadi Mama mau kamu buat ngerti dan percaya sama keputusan Mama kali ini! Dan keputusan Mama sudah bulat."

Matahari menautkan kedua tangannya ketika Ratih tak sengaja bersitatap dengannya. Ratih pun tersenyum dan meminta Matahari untuk segera turun, sementara Ayah dari Airis tampak tengah berdiri berkacak pinggang sembari membelakangi mereka berdua.

Matahari menyipitkan sedikit matanya ketika melihat postur tersebut, namun ia segera menggeleng mengenyahkan segala pikiran yang ada.

"Mama udah dapet orangnya, kita tinggal tanda tangan kontrak."

"Tapi sa- " Rasanya Matahari ingin menguap dan bergabung dengan udara lainnya saat sosok bertubuh tegap itu berbalik dan bersitatap dengannya.

Matahari tau bahwa dunia itu kecil, tapi tidak harus seburuk ini juga.

"Matahari?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status