Share

5. Pikiran Random Matahari

Matahari mengawali pagi nya dengan senyum merekah. Bahkan ia sempat menyapa udara pagi buta yang masih gelap itu dengan senyum lima jarinya.

Dan alasan Matahari sangat senang hari ini tak lain karena ini akan menjadi hari pertamanya menjaga anak-anak lucu itu. Meskipun belum dekat, Matahari yakin jika ketiganya pasti anak-anak yang baik.

Meski Matahari tak menyukai Hanan karena sikapnya yang selalu membuat Matahari harus ekstra sabar menghadapi mantan bosnya itu, tetapi kini berbeda sebab ia bukan mengurus seorang Hanan, melainkan tiga bocah lucu menggemaskan.

Matahari yang sudah membersihkan diri dan juga kamarnya pun segera keluar dari kamarnya. Dan tujuan pertamanya adalah kamar yang berada tepat di samping kamarnya.

Matahari membuka pintu dengan perlahan dan mendekat kearah ranjang milik Airis. Tersenyum kecil ketika melihat gadis kecil itu ternyata masih terlelap di dunia mimpi. Setelah membenarkan letak selimut milik Airis, Matahari pun kembali keluar dan menutup pintu kamar Airis.

Kata Ratih, Airis baru akan sekolah di minggu depan sebab masih banyak yang harus disesuaikan untuk Airis yang memiliki trauma bertemu dengan orang baru terlebih di situasi sekolah yang sudah pasti ramai dengan anak-anak lainnya.

Dan katanya jika penyesuaian tersebut tak berjalan dengan baik, maka Airis akan bersekolah di rumah terlebih dahulu.

Setelah itu Matahari berlanjut menuju kamar Saka. Takut Saka masih terlelap, Matahari membuka pintu secara perlahan sama seperti apa yang ia lakukan pada Airis.

Namun, begitu pintu terbuka Matahari dapat melihat Saka yang tengah duduk di atas ranjang dengan buku ditangannya serta mata yang menatap Matahari.

"Eh? Udah bangun? Kakak kirain kamu belum bangun. Lagi ngapain?" Ucap Matahari dari balik pintu dan hanya menyembulkan sedikit saja kepalanya.

"Baca buku. Kenapa gak masuk aja?" Matahari menggeleng.

"Takut ganggu kamu. Kamu rajin banget jam segini baca buku." Saka menggeleng.

"Aku baca buku karena nanti ulangan." Wajah Saka terlihat begitu polos, membuat Matahari terkekeh melihat tingkah anak berumur sembilan tahun itu.

"Yaudah, Kakak tinggal dulu ya? Mau liat Kala. Nanti kalau sarapan udah selesai Kakak panggil." Saka mengangguk patuh.

Setelah itu Matahari melanjutkan langkahnya kearah kamar Kala yang berada di depan kamar Saka.

Masih dengan cara yang sama, Matahari membuka pintu kamar Kala dengan begitu hati-hati. Dan untuk kali ini yang Matahari lihat adalah sosok Kala yang tampak masih tertidur dengan posisi yang sudah berputar arah bak jarum jam.

Matahari tersenyum dan memilih untuk mendekat kearah tempat tidur milik Kala. Matahari juga memperhatikan meja belajar milik Kala yang berantakan dengan segala macam buku belajar milik anak tersebut.

Matahari jongkok di dekat ranjang milik Kala dan mencoba membangunkan Kala dari tudurnya.

"Kala? Niskala?" Anak itu tampak menggeliat dan mengerjapkan matanya pelan. Mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya dan menatap Matahari sembari berkedip-kedip lucu. "Bangun yuk? Sekolahkan hari ini?"

Kala masih menatap Matahari dan mengangguk kecil.

"Makasih, Kak Ayi." Matahari tersenyum dan mengusak lembut puncak kepala Kala.

"Sama-sama, Kala. Kalo gitu Kakak keluar dulu ya? Nanti kalo sarapan udah jadi Kakak kesini lagi." Saka mengangguk dan Matahari pun kembali melanjutkan langkanya menuju ruang makan.

Sepanjang jalan menuju dapur, Matahari sempat berpapasan dengan beberapa pekerja di rumah keluarga Hanan dan mereka semua menyapanya dengan ramah. Mungkin Ratih sudah memberitahu mereka tentang dirinya yang mulai hari ini akan bekerja menjadi pengasuh ketiga anak dari Hanan itu.

Namun, bukannya senang Matahari malah merasa tak nyaman sebab mereka semua menyapanya dengan cara yang begitu hormat. Padahal posisi mereka sama saja, sama-sama sebagai pekerja di rumah tersebut.

"Saya bisa bantu apa?" Seorang pekerja yang berada di dapur terkejut dengan kehadiran Matahari.

"Aduh, Mbak jangan disini. Ayo kedepan saja, nanti Pak Hanan marah. Mbak duduk saja nanti kalau makanan sudah siap saya akan panggil Mbak untuk turun." Matahari mendengus pelan ketika kehadirannya malah ditolak.

Padahal kan ia benar-benar ingin membantu sebab sedang tak ada kegiatan apapun. Ini masih terlalu pagi untuk jam bangun Airis, sedangkan kedua Kakak Airis itu sudah bangun dan selesai menyiapkan segala keperluan mereka secara mandiri.

Saat ini Matahari merasa bahwa dirinya tak berguna.

Karena tak tau melakukan apa, Matahari pun memilih untuk berjalan-jalan mengitari rumah yang besarnya menyerupai istana itu.

Tak jarang Matahari berdecak kagum melihat setiap hal yang baru ia temui.

"Ini sih gak cocok dibilang rumah, tapi istana. Gede banget, ini kayaknya kalo kejauhan bisa nyasar sih." Gumam Matahari dengan mata yang sibuk menatap sekelilingnya hingga matanya fokus pada kolam berenang luas yang ada disana. "Anjir, ada kolam renangnya juga."

Sangking tidak fokusnya Matahari sampai tidak menyadari apa yang ada di depannya hingga tabrakan pun tak dapat dihindari dan membuat Matahari mengaduh kesakitan karena terjatuh.

Matahari mengusap telapak tangan dan pantatnya secara bergantian.

Setelah itu ia pun mendongak dan mendapati sosok Hanan yang tampak berdiri tegak di depannya.

"Bapak ngapain berdiri disitu?"

"Saya gak berdiri, saya baru keluar dari situ. Kamu sedang apa disini?" Tunjuk Hanan pada sebuah ruangan di dekat pintu keluar menuju kolam renang.

"Jalan-jalan? Bapak udah mau berangkat?" Hanan melirik jam tangannya dan mengangguk. "Gak sarapan dulu?"

"Kamu itu pengasuh anak saya, bukan sekertaris saya. Jadi cukup urus anak saya saja." Ingin rasanya Matahari menarik rambut milik Hanan.

Padahal maksud Matahari itu apa Hanan tak menunggu anak-anaknya terlebih dahulu untuk pamit?

"Saya pergi dulu, titip anak-anak." Ucap Hanan sebelum pergi dari pintu samping rumah dan meninggalkan Matahari yang tengah mematung ditempatnya.

Ucapan Hanan barusan terdengar seperti seorang suami yang tengah pamit kepada istinya sebelum berangkat kerja.

Pipi Matahari memerah tanpa sadar.

Begitu sadar dengan apa yang baru saja ia pikirkan, Matahari pun segera menggeleng dan menggeliat geli.

"Apa-apaan itu?!" Seru Matahari tertahan kepada dirinya sendiri.

Bisa-bisanya ia berpikiran seperti itu disaat yang berbicara adalah Hanan.

"Sadar, Yi! Sadar! Lo mikir apaan sih?! Geli banget." Gumam Matahari tak habis pikir dengan otaknya sendiri.

Ia hanya bekerja sebagai pengasuh, sudah tentu wajar bagi Hanan untuk mengucapkan hal tersebut sebab yang ia jaga adalah anak Hanan.

Lalu kenapa ia merasakan panas diwajahnya?

Matahari menggeleng kuat ketika sebuah kemungkinan lewat di kepalanya. "Astaga! Jangan sampe! Kerja Matahari kerja! Sadar!"

Matahari pun segera pergi dari sana sebab ia rasa kinerja otaknya pagi ini belum sempurna dalam bekerja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status