Jam dinding menunjukkan angka dua pada dini hari ketika Kenzo masuk ke dalam kamar dan menemukan istrinya sedang berbaring gelisah di atas ranjang mereka dengan mata terpejam erat.
Tubuh Jillian dengan perutnya yang sudah sangat besar berguling ke kiri dan ke kanan bersama ringisan kesal.Kenzo bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan mencuci tangan lalu mengganti pakaian agar bisa segera memeluk istrinya.“Sayang,” bisik Kenzo sebelum melabuhkan kecupan di bibir Jillian yang kemudian membuka mata perlahan.“Ken … anak kamu nyebelin, bikin aku begah.” Jillian bersungut-sungut sambil menghela tangan Kenzo yang memeluknya dan menggulirkan tubuh membelakangi Kenzo sebagai bentuk protes.“Maaf ya sayang, sabar sebentar lagi si Cantik lahir ….”Cup.Sebuah kecupan Kenzo berikan di pipi Jillian lantas memeluknya dari belakang.“Aku gendut … kaya kuda nil ….” Jillian memberengutkan wajah, bokong besarnya sengaja ia jatuhkan di pangkuan Kenzo yang sedang duduk di atas puff chair di dalam walk in closet. Sejak pagi ia dan Kenzo di dalam sana mencari pakaian mana yang pantas untuk Jillian gunakan malam ini pada pesta pertunangan Bima dan Gissele yang meriahnya melebihi pesta pernikahan karena mengundang hampir seribu orang di sebuah Ballroom hotel super megah. Padahal Kenzo sudah membelikan tujuh gaun yang muat untuk ukuran Jillian saat ini terutama di bagian perut agar Jillian dan si Cantik merasa nyaman. Namun, tetap saja Jillian tidak bisa menentukan gaun mana yang akan dipakainya malam ini. Bukan apa-apa, tamu undangan dalam pesta pertunangan Bima nanti kebanyakan adalah sosialita dan para pengusaha yang kebanyakan mengenal Kenzo. Jillian pernah berpura-pura menjadi keponakan Kenzo di depan beberapa teman Kenzo yang kemungkinan akan hadir dalam pesta Bima dan sekarang—Kenzo pasti akan mengenalkannya seb
“Tante Laura.” Amira bergumam tatkala netranya bersirobok dengan netra Laura ketika ia baru saja memasuki sebuah ruangan. Tadi petugas wanita yang memanggil Amira hanya mengatakan bila ia kedatangan seorang tamu. Petugas itu tidak memberitau siapa nama tamu tersebut, Amira pikir tamu yang mengunjunginya adalah pengacara. Jika sebelumnya Amira tahu yang berkunjung adalah Laura mungkin ia akan menolak untuk bertemu. Pasalnya Amira tidak tahu bagaimana harus menghadapi Laura-ibunda dari pria yang dengan sengaja ia seret dalam kasus hukum untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diperbuatnya. Tapi melihat Laura yang tadi duduk dan langsung berdiri menyambutnya dengan raut wajah tampak bersahabat membuat Amira berani melangkah mendekati wanita itu. “Kalau Tante tanya kabar kayanya basa-basi banget ya?” Laura memulai setelah Amira duduk di depannya.
Tidak lama kemudian Kenzo kembali dengan wajah segar karena baru saja mencuci wajahnya. Langsung menarik Jillian begitu tubuhnya berbaring di atas ranjang dan menjadikan Jillian gulingnya. “Ken … pijetin pinggang aku, donk … pegal banget.” Dengan senang hati, Kenzo membantu Jillian mengubah posisi agar membelakanginya kemudian begitu sabar memijat pinggang dan punggung Jillian selama beberapa lama. Jillian memang tidak ngidam yang aneh-aneh apalagi sampai membangunkan Kenzo tengah malam hanya untuk minta dibelikan makanan yang sedang diinginkannya tapi semua sifat buruk Jillian muncul lebih sering dan berkali-kali lipat parahnya. “Semakin besar si Cantik, perut aku juga makin besar … makin ke depan jadi punggung aku makin melengkung ke belakang, bisa patah enggak ya nanti lama-lama?” celoteh Jillian membuat topik pembicaraan dengan Kenzo. Bila harus jujur, Jillia
Jillian menatap pintu kamar yang tertutup itu sesaat kemudian menghirup udara dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia akan mengubah dirinya menjadi mode Reog untuk memberi pelajaran kepada Kenzo usai pria itu dengan tanpa perasaan mengusir Augusta Maverick dan Laura hingga sang ibunda menitikan air mata. Tadi Kenzo pergi begitu saja, naik ke lantai dua masuk ke dalam kamar sementara Jillian mencoba menenangkan Laura dan meminta maaf kepada Augusta Maverick. Jillian masih berharap rencananya dengan Augusta Maverick berjalan lancar karena semua ini adalah demi Kenzo. Sebenarnya Jillian yang meminta ayah dari Bima untuk menolak berbisnis dengan Kenzo atas dasar alasan Kenzo tidak memiliki perusahaan berharap Kenzo mau menerima perusahaan Augusta Maverick yang dilimpahkan kepadanya. Dan mereka bisa menjalin kesepakatan bisnis setelah Kenzo memimpin perusahaan Augusta Maverick.
“Sayang, tahan sebentar ya.” Kenzo mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, menekan klakson berkali-kali dampak dari panik yang mendera. Sedangkan Jillian duduk lemas di sampingnya sambil memegang perut dan sesekali meringis. “Ken … sakit.” Jillian melirih, wajahnya tampak pucat membuat Kenzo kalang kabut. “Sebentar lagi sayang … tahan sebentar lagi.” Rasanya dunia Kenzo akan runtuh melihat Jillian tersiksa seperti ini. “Sakit, Ken … aku enggak kuat.” “Sayaaang.” Kenzo meraih tangan Jillian yang terasa dingin, dikecupnya jemari rapuh yang bahkan tidak sanggup balas menggenggam itu. “Ken … janji sama aku … janji sama aku terima perusahaan daddy … demi si Cantik.” “Jangan pikirin itu dulu sayang, yang penting sekarang kamu sama si Cantik harus selamat … tahan sebentar ya.” Kenzo tidak memiliki
Perlahan Jillian membuka mata, memindai sekitar lalu tatapannya jatuh pada sisi ranjang di mana Kenzo tertidur dengan menelungkupkan setengah tubuh sambil menggenggam tangannya. Padahal pria itu memilih kamar Royal Suite yang memiliki satu ranjang nyaman untuk si penunggu dan jaraknya hanya beberapa meter saja dari ranjang Jillian tapi Kenzo malah duduk di kursi dan terlelap di samping Jillian. Jillian mengeratkan genggaman tangan Kenzo bermaksud membangunkannya dan pria itu terusik lantas menegakan punggung. “Sayang ….” Kenzo bergumam, mata sayunya tampak merah karena mengantuk. “Ken … haus.” Setengah merengek Jillian mengatakannya. “Sebentar ….” Kenzo beranjak dari kursi untuk membawakan Jillian air minum. Satu gelas air mineral yang Kenzo bawakan langsung dihabiskan oleh Jillian. “Haus, sayang?” tanya Kenzo basa-basi sambil menyimpan gelas kosong di
Tapi kemudian si Cantik terusik karena Mommynya banyak bicara. Bibir mungil si Cantik terlepas dari puting Jillian disusul tangis kencang yang membahana di kamar itu. “Keeeeen.” Jillian menatap horor si Cantik yang menangis atau lebih tepatnya berteriak, membuka mulutnya lebar dengan pejaman mata yang sangat erat. “Coba … susuin lagi, pindahin si Cantik ke sebelah kanan.” Kenzo memberi solusi. “Gimana cara pindahinnya?” Jillian merengek. “Aku juga enggak tau, coba kamu angkat.” Kenzo melongok ke arah pintu, berharap sang suster peka dan mendengar tangis si Cantik lalu datang membantu mereka. “Angkat gimana? Dia rapuh banget … coba kamu ambil, Ken.” “Ambil gimana?” Kenzo juga belum bisa menggendong si Cantik. Si Cantik masih terlalu kecil dan rapuh, Kenzo takut sampai menyakiti si Cantik karena ia belum berpengalam
Bima dan kedua orang tuanya datang menjenguk, Kenzo yang memberi mereka kabar mengenai kelahiran si Cantik. Dan sekarang si Cantik sedang dikuasai bunda juga Bima di ranjang khusus penunggu yang masih berada di ruangan itu. Mereka berdua seolah tenggelam dalam dunianya sendiri bersama si Cantik, melupakan Jillian yang kini duduk termangu di atas ranjang menatap lurus ke arah Kenzo yang sedang berbincang di sofa dengan ayahnya Bima. Benak Jillian mencari-cari alasan pasti kenapa ia bersedia membatalkan perjanjian perceraian dengan Kenzo. Bukan karena ia merasa Kenzo sangat baik, perhatian dengan sikap pria itu yang seakan tulus mencintainya. Sesungguhnya Jillian masih merasa Mutiara belum benar-benar pergi dari hati Kenzo, buktinya ketika emosional Kenzo masih menyebut nama Mutiara dan membandingkannya dengan Jillian. Jahat, kan? Tapi Jillian ber