Share

4. Mengadopsi Anak Setan

"Mengadopsi?" Semua orang serempak bertanya.

Risna mengangguk cepat. "Iya, saya pengen punya anak perempuan. Saya janji akan merawat dia seperti anak saya sendiri," ujarnya sendu sambil menatap anak perempuan itu lekat-lekat.

Sejak melihat anak perempuan itu pertama kali, Risna memang sudah jatuh hati. Diluar latar belakang dan segala kisah mistisnya, Risna yakin bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang juga membutuhkan kasih sayang. Risna hanya ingin memberikannya sepenuh hati.

Tiba-tiba Ki Larmo maju beberapa langkah. "Ojo wani-wani! Sampean nggak ngerti wujud asline. Bahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya," bantah Ki Larmo dengan tegas.

"Tapi dia nggak seseram yang kalian pikir, Ki. Kurasa dia cuma anak kecil yang mengalami gangguan mental karena bertahun-tahun diasingkan. Dia hanya butuh psikolog. Dan saya akan memberikan semua itu untuk kesembuhan dia." Risna tetap bersikeras.

"Nduk, turuti saja permintaan kami, jangan dibantah. Ki Larmo sudah kenal lebih lama dengan anak ini karena beliau adalah tetua di Desa Keramat. Beliau sudah tahu seluk-beluknya. Lebih baik sampean mengadopsi dari Panti Asuhan saja. Lebih aman," timpal Mbok Darmi setelah menyentuh bahu Risna.

Risna menghela napasnya jengah. Lantas menatap wajah sang suami yang sejak tadi bungkam. Berharap ayah satu anak itu mau membelanya dan berhasil membujuk Ki Larmo.

Hasnan yang paham langsung berkomentar, "Tolong biarkan istri saya mengadopsinya, tenang saja saya membayar jika kalian mempermasalahkan perihal uang. Jika nanti terjadi masalah atau hal-hal yang tidak diinginkan, saya yang bertanggung-jawab. Lagipula, di jaman modern seperti ini, mana ada yang namanya anak setan dan semacamnya. Yang ada hanya ODGJ yang butuh penanganan."

Ki Larmo menatap Hasnan tak suka, ia cukup tersinggung dengan kalimat yang laki-laki itu katakan. Inilah yang paling ia benci dari orang kota, selalu mengaitkan semua hal dengan uang. Padahal ia hanya bermaksud baik dengan mengingatkannya.

"Kalau sampean sampean nggak percaya, yo uwes. Kalau ada masalah, tanggung sendiri akibatnya. Saya cuma memperingatkan, siapapun yang mendekati anak setan, hidupnya akan sial tujuh turunan. Dia itu anak terkutuk."

***

Keesokan harinya, dua kendaraan beroda empat sudah terparkir rapi di kediaman Mbok Darmi. Setelah berhasil membujuk semua orang untuk mengadopsi anak setan itu, Risna dan keluarganya berniat kembali ke kota.

"Mbok Darmi ikut mobil yang satunya saja, ya, biar longgar. Sekalian nemenin Mang supir," ujar Risna setelah memasukkan kopernya.

"Iya, Nduk. Syukur kalau sudah disuruh. Saya malah pengen izin dari tadi buat pergi ke mobil sebelah," timpalnya sambil melirik ngeri pada seseorang di samping Risna.

Ibu satu anak itu pun paham tanpa merasa tersinggung dengan ucapan Mbok Darmi. Wajar saja, anak perempuan yang menurut warga adalah anak terkutuk, kini berdiri di sebelah Risna dengan penampilan yang lebih rapi.

"Mas, berangkat sekarang saja, yuk. Takut kemalaman sampai rumah, kasihan Satria." Risna menutup bagasi mobil, lantas menghampiri sang suami yang sepertinya sedang memeriksa mesin mobil.

"Sebentar. Mas lagi nungguin Ki Larmo."

"Mau ngapain?"

"Ada perlu."

Tak berapa lama, laki-laki sepuh yang sejak tadi memenuhi pikiran Hasnan kini menampakkan batang hidungnya. Hasnan segera menghampiri Ki Larmo dengan sumringah. Lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam saku jaket yang ia kenakan. Sementara Ki Larmo yang melihat Hasnan malah menyambutnya dengan raut tak suka.

"Saya dan keluarga mau izin pamit, Ki Larmo. Maaf tidak bisa berlama-lama di desa ini. Maklum, saya orang sibuk, jadi nggak punya waktu untuk kegiatan-kegiatan yang begini," ujar Hasnan menyombongkan diri. Ia berniat menyalami Ki Larmo sembari memberikan amplop yang sudah ia pegang. "Mohon diterima. Ini sebagai wujud terimakasih saya karena sudah diizinkan mengadopsi anak dari desa ini. Jumlahnya mungkin nggak banyak, cuma 15 juta. Ya ... tapi cukuplah untuk Ki Larmo merasakan jadi orang kaya selama beberapa bulan."

Tatapan Ki Larmo kian menajam. Tak ia terima uang itu, malah diberikan lagi pada Hasnan yang menatapnya keheranan.

"Jangan sombong sama uang yang bukan milikmu," kata Ki Larmo kemudian melirik anak perempuan di samping Risna. "Semoga selamat sampai tujuan."

Tanpa berniat menunggu keberangkatan mereka, Ki Larmo berlalu pergi. Muak rasanya jika terus-terusan berdekatan dengan Hasnan. Bisa-bisa, dia mengeluarkan senjata sakti dan menyerang jiwa laki-laki itu agar tak lagi menyombongkan harta dan kedudukan.

Risna menyenggol lengan suaminya. Hasnan yang peka hanya menoleh sekilas sambil memasukkan kembali amplop coklat itu. Ki Larmo adalah orang kampung, wajar saja kalau takut memegang uang banyak, begitu pikir Hasnan.

"Udahlah. Dikasih uang kok nggak mau. Sombong banget." Hasnan berjalan ke mobilnya disusul Risna.

"Mobilnya sudah diperiksa semua, Mas?" tanya Risna seraya melirik Satria dan anak adopsinya di jok belakang melalui kaca spion.

"Tenang saja, sudah semua. Bensinnya juga masih full."

Akhirnya perjalanan yang cukup jauh mereka tempuh untuk kembali ke kota. Pemandangan hijau dari pepohonan mengawal mereka di samping kanan dan kiri selama berpuluh-puluh kilometer.

Satria dan Risna memilih tidur karena kelelahan. Sementara kini hanya tinggal Hasnan dan anak misterius itu yang terjaga. Hasnan sesekali melirik ke kaca spion, lalu saat anak perempuan itu juga meliriknya ia justru mengalihkan pandangan. Sejujurnya ia juga merasa ngeri kala menatapnya lama-lama.

'Pantes dia dipanggil anak setan. Mukanya nggak ada ramah-ramahnya sama sekali,' batin Hasnan di dalam hati.

Mimik wajah Hasnan yang semula datar tiba-tiba berubah panik. Kakinya bergerak gelisah, menginjak pedal rem di bagian bawah, tetapi tidak berfungsi. Padahal seingatnya, sebelum ia memulai perjalanan beberapa jam yang lalu, ia sudah memeriksa kondisi mobil dan hasilnya tidak ada yang bermasalah.

"Ris! Risna! Bangun, Dek," kata Hasnan berusaha meminta pertolongan. Namun, tidur Risna seakan terlalu lelap sehingga sekeras apapun panggilan Hasnan, ia sama sekali tak mendengarnya.

Hasnan mulai berkeringat dingin. Jalanan tak lagi menanjak seperti beberapa saat yang lalu. Kini yang ia temui merupakan temurun yang cukup curang, laju mobil pun kian bertambah kencang. Hingga di detik berikutnya, hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi. Mobil tak lagi dapat ia kendalikan.

Brak!

Kendaraan beroda empat itu menabrak sebuah pohon besar di ujung jalan dengan laju yang sangat kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status