"Jangan menuduhku sembarangan! Kamu pikir ancaman kamu itu akan mempan sama aku heh?!" kecam Nasuha dengan setengah berbisik kepada Mazaya. Ia sebisa mungkin menahan diri karena masih berada di pemakaman dan ada banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka saat ini.Mazaya tersenyum miring mendengar Nasuha yang tidak terima dengan apa yang dikatakannya beberapa saat yang lalu."Siapa yang lagi ancam, Mbak. Aku cuman membicarakan fakta di sini. Mbak juga mengakuinya kan? Atau harus aku katakan sekarang di depan semua orang?" balasnya dengan setengah berbisik juga sama seperti sebelumnya.Nasuha mengepalkan tangannya, ia tidak menyangka jika Mazaya akan melawannya seperti sekarang ini. Padahal dulunya wanita tersebut tidak pernah membantah apapun yang diinginkannya ketika masih tinggal bersama keluarganya. Bahkan selalu mengalah, di saat mereka menginginkan hal yang sama dan Mazaya tidak pernah mengeluh ataupun protes."Bagus ya, jadi ini balasan kamu setelah ibu dan ayah adopsi kamu,
"Katakan aja, Yaya. Kenapa ragu seperti itu? Apa kamu tidak yakin sama apa yang kamu atau tidak aku akan mengabulkan keinginan kamu itu. Percayalah aku akan mengabulkan apapun itu?"Devan meyakinkan Mazaya bahwa, ia akan mewujudkan keinginan istri keduanya itu apapun.Mazaya masih terdiam dengan helaan nafas yang panjang. Ia seperti berada di persimpangan jalan antara ambisi atau serakah sebenarnya keinginannya saat ini."Yaya," ulang Devan di balik kemudinya tersebut."Iya, Mas ... Sebenarnya aku ingin menjadi istri kamu satu-satunya agar Askara mempunyai status yang jelas. Tapi, sepertinya itu gak mungkin buat saat ini. Mengingat kalau Mas Devan sudah mengikat janji dengan memenuhi wasiat ibu," tutur Mazaya.Devan sebenarnya senang mendengar bahwa Mazaya kini telah berubah pikiran dan cepat atau lambat bisa menerimanya serta memaafkan masa lalu. Tapi, permintaan istrinya itu memang cukup berat untuk dipenuhinya. Meskipun ia tidak pernah sekalipun menyimpan perasaan kepada Nasuha, h
"Apa kamu juga akan sama mengkhianati aku? Kamu tahu adik angkatku malah menusukku dari belakang."Nasuha terus saja meracau sambil berbicara dengan seseorang di ujung panggilan. Pria yang selama ini menemaninya dalam kesepian."Aku akan kesana sekarang. Tunggu--""Jangan! Kamu pasti sedang kerja sekarang kan?! Jangan pedulikan aku dan sampai bertemu nanti malam. Aku bisa jaga diri dengan baik.""Tapi, tetap saja aku khawatir. Aku akan kesana kurang dari sepuluh menit. Tunggu aku."Panggilan itu berakhir dengan keputusan kekasih Nasuha tersebar hendak menyusul ke tempat wanita tersebut berada.Sedangkan Nasuha malah tertawa sendirian atau lebih tepatnya sedang menertawakan dirinya sendiri saat ini. Seakan hidupnya paling tersakiti berada di antara Devan dan Mazaya."Sejak awal harusnya aku yang tidur dengannya waktu! Andai saja aku tidak pulang waktu dan melanjutkan rencana, mungkin akulah yang akan hamil dan mengandung anaknya Mas Devan ...."Nasuha bermonolog serta meracau tidak jel
"Bentar ya, Mas. Aku lihat dulu siapa yang nelpon."Mazaya hendak meraih ponselnya, lalu di saat yang sama Devan melepaskan pelukannya itu dari belakang dan membiarkan Mazaya menerima panggilan tersebut."Siapa yang menelepon?" tanya Devan dengan nada menyelidik.Mazaya menoleh ke arah Devan yang masih berdiri di belakangnya. Ia sendiri belum sempat melihat siapa yang menelepon karena baru beranjak bangun dari kursi.Rupanya yang menghubungi Mazaya adalah Malvin. Entah ada apa pria tersebut menghubunginya. "Hmm,Mas Malvin yang nelpon," jawabnya dengan suara pelan. "Gak apa-apa kan kalau aku jawab, Mas? Mungkin ada hal penting yang mau disampaikan," terangnya."Hmm." Devan menjawabnya dengan singkat dan sangat jelas ia tidak ingin Mazaya menerima panggilan tersebut. Tapi, ia tidak ingin terlihat seperti suami yang otoriter dan memilih membiarkan Mazaya.Sementara, Mazaya tampak menerima panggilan dari Malvin dan kembali duduk usai menyimpan gelas yang dipakainya untuk minum sebelumnya
"Katakan kenapa? Apa kamu masih marah, Yaya?"Devan memastikan kembali apakah Mazaya masih merajuk sehingga tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri."Sebenarnya aku--"Mazaya menggantungkan ucapannya ketika mendengar suara ketukan di pintu kamar tersebut."Ibu, ibu di dalam ya?" Terdengar suara Askara dari balik pintu kamar tamu itu. Hal itu membuat Mazaya dan Devan untuk sesaat saling bersitatap penuh keheranan."Apa itu Aska?" gumam mereka hampir bersamaan mengatakan hal yang serupa.Tanpa pikir panjang lagi, Mazaya dan Devan segera menuju ke pintu kamar dan langkah cepat, lalu membuka pintu.Dan benar saja yang ada di luar pintu adalah Askara berdiri sambil mengucek matanya."Ibu, Aka mau bobo cama Ayah dan Ibu. Boleh ya," pinta Askara yang kini beralih menatap kedua orangtuanya.Devan tersenyum kecil. Begitu juga dengan Mazaya yang bisa mengerti bahwa putra mereka ingin merasakan kehangatan sang ayah yang selama ini tidak pernah ada untuknya."Ayo ke kamar atas," a
"Ada apa pagi-pagi menelpon?"Dengan suara datar nan dingin, Devan menanggapi panggilan Nasuha sambil mengemudikan mobilnya.Sedangkan Mazaya duduk diam menatap ke luar jendela mobil, sambil mendengarkan percakapan Devan dan kakak angkatnya itu.Terdengar Nasuha mendengus kesal di ujung panggilan."Kenapa aku harus punya alasan hanya buat nelpon suami aku sendiri, Mas? Mau gimana pun aku masih istri kamu dan aku juga punya hak yang sama sebagai istri. Mas Devan harusnya bersikap adil sama aku juga," tuturnya yang menuntut Devan agar ia diperlakukan sama seperti Mazaya.Devan malah membuang nafasnya kasar mendengar ucapan Nasuha bak istri pertama yang tersakiti. Padahal kenyataannya yang pertama berkhianat adalah istrinya itu sendiri."Kamu lupa dengan kesalahan kamu, Suha?! Harusnya aku sudah melepaskan kamu sejak lama dan tidak sampai membaca ibu mengatakan wasiat itu," sentak Devan dengan nafas yang memburu menahun kesal."Aku tahu, Mas. Aku akui aku salah. Aku ingin memperbaiki semu
"Jaga ucapanmu itu, Rendra! Mazaya itu sudah sah menjadi istri Om dan secara langsung dia juga adalah Tante kamu. Ingat itu! Dan Om gak akan tinggal diam, jika kamu macam-macam dengannya!"Devan tidak segan mengancam keponakannya tersebut. Terlebih lagi itu menyangkut tentang Mazaya.Namun, Rendra tampaknya tidak peduli dengan ucapan pamannya itu. Iya benar-benar dibuat marah dan kecewa dengan pamannya yang dianggap serakah. Karena sudah mempunyai istri, tapi malah menikah lagi dengan wanita yang disukainya."Terserah Om mau bilang apa! Pokoknya aku nggak akan biarkan hidup Wijaya hancur gara-gara Om jangan dicap sebagai pelakor nantinya," tegas Rendra.Devan membuang napasnya dengan kasar karena menghadapi sifat keras kepala keponakannya itu. Di mana sama sekali tidak takut dengan ancamannya. Tapi, ia juga tidak main-main dengan ucapannya tadi. Jika Rendra sampai melakukan sesuatu kepada Mazaya, maka ia tidak akan tinggal diam saja."Om sudah memperingatkan kamu, Rendra!" tukasnya.
"Mas udah! Gimana kalau ada yang lihat nanti."Mazaya mendorong dada bidang Devan agar menghentikan kegiatan mereka, yang barusan bercumbu mesra di dalam ruangan sana.Namun, Devan malah menarik Mazaya kembali dan merapat ke dalam pelukannya."Tidak akan ada yang lihat. Tenang saja."Kembali Devan memagut Mazaya. Ia sungguh merindukan istrinya itu karena tidak malam tidak biasa menyalurkan hasratnya.Beberapa menit kemudian."Mm, Mas ... Sudah."Kini Mazaya benar-benar ingin berhenti karena dirinya sudah lama berada di tempat itu. Ia harus berbicara dengan suaminya itu.Devan kali ini membiarkan Mazaya dan istrinya itu kembali ke posisinya semula, berdiri sambil memperbaiki letak pakaian dan rambutnya yang sedikit acak-acakan."Tolong jangan ulangi lagi kayak tadi, Mas. Aku gak mau kalau ada yang lihat, Mas," tegas Mazaya dengan menatap tajam."Iya-iya, maaf. Tapi, apa ke sini hanya ingin memberikan map ini atau ada hal penting ingin kamu katakan?" tebak Devan.Mazaya menarik nafasnya