"Tarno sudah ketemu, tapi Parjo belum. Malah katanya sama wanita," bisik-bisik para tetangga yang melayat di rumah Rasmadi."Kok bisa barengan, ya. Bu Tuminah meninggal, terus mereka ketemu hari ini juga. Tapi siapa wanita yang bersama Tarno? Masa pacarnya, kayaknya nggak mungkin deh. Dia bujangan lapuk, mana berani pacaran," bisik yang lainnya."Iya betul, pasti bukan pacarnya. Terus siapa, dong.""Ada yang bilang itu mirip kakaknya Bu Rumana, tapi kan nggak mungkin. Wong Katanya kakaknya Bu Rumana itu ada di Bali, kok. Mungkin cuma mirip saja.""Iya juga, ya. Mungkin hanya mirip. Tapi kabarnya wanita itu belum sadar juga, padahal denyut nadinya masih ada.""Terus gimana kondisinya sekarang?""Dia di bawa ke puskesmas Karang sambung. Semoga masih bisa selamat, ya."Begitulah obrolan para pelayat yang di gemparkan dengan penemuan Tarno dan Kinanti.Beberapa warga yang bertugas menggali kubur sudah pulang ke rumah Rasmadi, guna mengabari bahwa liang lahat telah siap.Sudah jadi tradisi
Rumana memeluk tubuh Kinanti yang begitu lemah. Di pandangi wajah kakak perempuannya yang terlihat kuyu dan kehilangan rona bahagia. Dia tak habis pikir, kenapa kakaknya bisa sampai seperti itu."Mbak, dari mana saja, kenapa bisa sampai seperti ini." Rumana tak kuasa membendung bulir bening yang terus merembes dari kelopak matanya."Mbak juga nggak tau, Rum. Seingat Mbak, waktu lagi jalan ke rumah mertuamu, tiba-tiba ada yang memukul tengkuk Mbak dari belakang. Mbak ga sempat melihat siapa pelakunya, dan langsung ga ingat apa-apa lagi setelahnya." Kinanti mencoba mengingat kembali kejadian yang membuatnya sampai seperti ini."Kenapa Mbak ga ngabarin kami dulu kalau mau datang. Mas Gunadi kan bisa jemput Mbak di terminal atau stasiun.""Tadinya Mbak mau kasih kejutan, dan sengaja ga ngabari kalian. Mbak kangen sama kamu dan ponakan-ponakan Mbak.""Iya, Mbak sukses mengejutkan kami, dengan menghilang tanpa kabar," pungkas Rumana menatap sedih sang kakak."Maaf. Mbak nggak bermaksud memb
"Ummi sudah di makamkan, tapi Rum ga bisa nunggu sampai tiga harinya Ummi di sini, Bah. Bagas sendiri di rumah sakit, dan Rayhan belum juga di temukan," ujar Rumana pada Abah yang terus saja melamun. Luka-luka kemarin telah berangsur sembuh, tetapi luka hatinya di tinggal istri tercinta, akan selalu menganga.Tersirat jelas di wajah tua Sudikerta, bahwa lelaki berusia 70tahun itu, begitu memendam duka mendalam. Dia juga menyimpan dendam pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan pada Nyi Galuh. Wanita mengerikan yang telah melenyapkan nyawa istri dan besannya sekaligus. Wanita dengan anutan ilmu hitam yang tinggi dan sulit di tandingi.Wanita itu juga yang sempat menculik cucunya. Untunglah Sudikerta berhasil merebut Rayhan dan membawanya pergi ke suatu tempat yang aman."Rum. Abah mau menyampaikan sesuatu," ucap Sudikerta dengan serius pada putrinya."Iya, Bah. Ada apa, katakan saja." Rumana menatap Sudikerta, intens. Siap mendengarkan apapun yang akan Abah nya sampaikan."Sebenarnya Aba
"Ummi sudah di makamkan, tapi Rum ga bisa nunggu sampai tiga harinya Ummi di sini, Bah. Bagas sendiri di rumah sakit, dan Rayhan belum juga di temukan," ujar Rumana pada Abah yang terus saja melamun. Luka-luka kemarin telah berangsur sembuh, tetapi luka hatinya di tinggal istri tercinta, akan selalu menganga.Tersirat jelas di wajah tua Sudikerta, bahwa lelaki berusia 70tahun itu, begitu memendam duka mendalam. Dia juga menyimpan dendam pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan pada Nyi Galuh. Wanita mengerikan yang telah melenyapkan nyawa istri dan besannya sekaligus. Wanita dengan anutan ilmu hitam yang tinggi dan sulit di tandingi.Wanita itu juga yang sempat menculik cucunya. Untunglah Sudikerta berhasil merebut Rayhan dan membawanya pergi ke suatu tempat yang aman."Rum. Abah mau menyampaikan sesuatu," ucap Sudikerta dengan serius pada putrinya."Iya, Bah. Ada apa, katakan saja." Rumana menatap Sudikerta, intens. Siap mendengarkan apapun yang akan Abah nya sampaikan."Sebenarnya Aba
Mendengar penuturan Gunadi, Nyai Jaemah seperti tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sedikit berlari menuju dapur, dan lagi-lagi membuat sambetan. Nyai Jaemah berfikir, tak salah lagi kalau Rumana memang kesambet. Mungkin dia melihat yang tidak bisa di lihat oleh orang lain, atau hanya ilusi yang menguasai fikirannya. Begitulah pemikiran Nyai Jaemah.Dia tumbuk bahan-bahan sambetan dengan cekatan, dan membawanya ke kamar. Melihat Rumana yang terpejam lemah, Nyai Jaemah langsung menjejalkan sambetan itu ke mulut Rumana dengan antusias. Berharap Rumana cepat sadar dan makhluk yang memasuki raganya cepat keluar.Rumana merasakan mulutnya di jejali sesuatu yang sangat bau, hingga membuat perutnya serasa di aduk-aduk. Tak tahan, akhirnya Rumana berusaha mengeluarkan seisi lambungnya."Hooeekk! Hoeeekk!" Rumana muntah seketika. Tak tahan lagi dengan bau dan rasanya."Nah, benar kan, Bu Rumana pasti kesambet. Lihat saja, dia langsung sadar begitu aku jejali sambetan ini. Modyar koe belis!(ma
"Tuh, Mas, dengar kata Ayah. Jadilah lelaki kuat yang bisa melindungi ibu dan juga adikmu kelak. Menangis boleh, tapi jangan jadi kelemahanmu. Jadikan air matamu sebagai kekuatan untuk bisa menerima semua kenyataan." Rumana ikut menambahi kata-kata motivasi pada putranya.Bagas mengangguk tanda mengerti nasihat dari kedua orangtuanya. Kini, dia merasa lebih baik dan tidak takut lagi seperti sebelumnya. Meskipun rasa kehilangan kedua kakak dan neneknya masih sangat membuatnya terluka."Kata Budeh, kamu belum makan, ya. Sekarang kamu makan, ya. Mau Ibu suapi?" Rumana berusaha tersenyum demi putranya. Meski rasa sakit kehilangan empat orang yang dia cinta masih sangat menyiksa batin hingga meronta-ronta di dalam sana."Mas Bagas udah gede, Bu. Malu sama dedek Rayhan kalau di suapi. Ya, nggak, Mas," goda Gunadi pada Bagas, yang sukses membuat anak kecil itu kembali menerbitkan senyum manisnya.Bagas mengangguk kecil, di iringi senyuman. Membuat Gunadi dan Rumana sedikit merasa tenang kare
"JANGAN SENTUH ANAKKU!" triak Rumana, mengagetkan seisi penumpang Bus itu. Sontak, Gunadi berdiri ketika Rumana ketakutan mendekap Rayhan."Ada apa, Rum. Kamu lihat apa?" tanya Gunadi panik melihat ketakutan Rumana yang duduk di sebelahnya."Ada wewe gombel yang mau mengambil anak kita, Mas," bisik Rumana, semakin panik, karena makhluk betina menjijikan itu hampir menyentuh tubuh Rayhan, dan semakin beringas meraih bayinya."Ini, dia mau mengambil Rayhan, Mas. Cepat usir dia!" Rumana masih mendekap erat tubuh bayi mungil yang masih terlelap."Nggak ada apa-apa, Rum. Lihatlah. Di sini hanya ada penumpang lain. Jangan bikin Mas takut." Gunadi trauma karena semua musibah yang telah menimpa keluarganya. Dia takut kehilangan Rumana dan bayinya."Tolong, Rum. Jangan aneh-aneh. Jangan becanda.""Aneh-aneh kamu bilang, Mas? Apa tampangku sedang becanda? Aku aneh? Kamu itu yang aneh! Kenapa kamu tidak bisa melihat makhluk yang sudah sedekat ini, sedang berusaha meraih tubuh Rayhan. Kamu Bapak
Di Kebumen."Ras, ayo ikut kloyong. Biar nggak suntuk di rumah sendirian. Kebetulan malam ini aku pas giliran ronda," ajak Karta pada Rasmadi."Aku di rumah saja, lah, Kang.""Ngapain di rumah terus. Mbokyo keluar gitu loh. Kamu nggak tahu, kan. Ada kabar apa di desa kita belakangan ini?" Karta sengaja memancing rasa ingin tahu Rasmadi."Kabar apa, Kang. Paling orang-orang sedang sibuk membicarakan istriku dan Ratmini yang meninggal dadakan." Rasmadi tampak acuh dan melanjutkan meracik tembakau untuk dia hisap setelah di bakar. "Hm, kamu ini. Makanya keluar, biar tahu kabar terbaru. Kalau soal istri dan besanmu sih, semua warga juga masih curiga. Tapi ini beda. Soal hantu Parjo yang gentayangan." Karta mengalungkan sarung di lehernya, kemudian melangkah keluar rumah Rasmadi.Penasaran dengan yang Karta katakan, Rasmadi akhirnya menyusul keluar setelah selesai dengan urusannya membuat rokok lintingan."Tunggu, Kang. Aku ikut!" seru Rasmadi sambil memakai sendal."Katanya nggak mau iku