Wajah Kayana terlihat kacau. Matanya sembab, kantung matanya juga tebal. Sejak semalam hingga tadi siang, Kayana belum bisa beristirahat dengan tenang. Saat kembali ke rumah kost pada tengah malam, semua orang menunggu cerita darinya mengenai kronologis kejadian sebenarnya. Kayana tak mengingat siapa yang bertanya, ia hanya ingat dirinya bercerita panjang lebar dan selanjutnya mata besarnya justru tak bisa menutup. Hoam... Kayana menguap lebar. Tangannya direntangkan ke atas hingga ototnya merenggang. Segelas kopi dan sekerat roti rupanya tak mampu membuatnya kembali segar. “Sudah selesai laporan ke kantor polisinya?” tanya Abil. Kayana mengangguk pelan dan tangannya mulai lincah menulis laporan. “Kamu hari ini santai saja. Perihal laporan dan pelatihan biar aku yang kerjakan.” Kayana berhenti mengetik lalu menggeleng kemudian. “Tidak bisa. Tugasku semakin banyak dan menumpuk nantinya.” “Kalau begitu, aku tunggu kamu hingga selesai.” Tak menjawab perkataan Abil, Kayana malah ter
Kebencian Alyssa pada Kayana makin tak terbendung. Bukan hanya kali itu saja, bahkan sekarang Alyssa dengan tegas mengusir Kayana dari kamar inap Rafandra. Tak ingin mendapatkan hal buruk, Kayana pun segera pergi dari kamar Rafandra. "Kay, jangan pergi. Aku yang suruh kamu kesini," teriak Rafandra yang tak peduli dengan pelototan Alyssa. Kayana yang menghentikan langkahnya berbalik sebentar menghadap mereka bertiga. "Kay, kamu kesini." "Tapi kan—" Kayana melirik ke arah Sonia yang melemparkan tatapan tajam layaknya ibu tiri. "Enggak usah pikirkan yg aneh-aneh." Alyssa semakin membelalakkan matanya. Kayana seakan tak peduli dengan pelototan itu, ia menghampiri tempat tidur Rafandra. "Kamu tuh enggak tahu malu ya. Sudah saya beri dukungan tapi malah melunjak. Karena kamu juga, anak saya hampir mati ditikam penjahat. Mau kamu apa sih?" Alyssa memberondongi Kayana dengan bermacam pertanyaan. Kayana hanya diam. Rasanya percuma membalas ucapannya, sementara Alyssa tahu kronologis kejad
Brakk “Rafa...” teriak Alyssa dari balik pintu. Ia membuka pintu dengan kasar hingga terdengar bunyi debuman yang cukup kencang. Senyum di bibirnya mengembang. Di tangannya ada dua kantung plastik makanan yang ia bawa dari rumah. Namun, senyuman itu menyusut saat melihat ruangan rawat inap Rafandra kosong dan berantakan. Kemana anaknya? Tak lama kemudian datanglah suster berpakaian rapi membawa troli dan peralatan pembersih. Alyssa mengerutkan dahinya lalu bertanya. “Sus, anak saya mana?” “Oh, pak Rafa?” Alyssa mengangguk. “Pak Rafa sudah pulang pagi sekali. Katanya ada keperluan mendadak.” “Memangnya dokter sudah mengizinkan? Anak saya kan masih dalam perawatan pasca operasi?” tanya Alyssa dengan nada tinggi. “Pak Rafa sudah sembuh. Dia bisa mulai rawat jalan mulai minggu depan. Karena operasinya operasi kecil, jadi tidak perlu waktu lama untuk rawat inap,” ujar suster menjelaskan dengan sangat teliti. “Kok Rafa enggak kasih tahu sih?” Alyssa yang kebingungan segera menghubung
Rafandra berdiri dengan angkuh di depan rumah Kayana yang nampak sepi. Berkali-kali ia memperbaiki kerah kemeja dan tatanan rambut yang mulai berantakan. Samsul ditepuk bahunya hingga asistennya itu menoleh. “Sudah ganteng belum?” “Ganteng sekali. Saya yakin neng Kayana bakalan tergila-gila sama Bos,” sahut Samsul sambil menunjukkan dua jarinya. Rafandra tersenyum senang. Dua tangannya penuh dengan bawaan yang akan ia berikan pada kekasihnya. Sekali lagi ia menepuk bahu Samsul. “Bukain pintunya dong. Masa kamu tega lihat saya kerepotan begini?” Samsul segera keluar dari mobil lalu membukakan pintu samping untuk bosnya. Perlahan Rafandra keluar sambil menyunggingkan senyum manisnya. “Tunggu saya ya. Kamu ada janji keluar enggak?” tanya Rafandra lagi. “Enggak, Bos. Saya kan jomblo.” “Oh, sorry enggak tahu.” Rafandra melangkah masuk ke dalam rumah Kayana. Samsul yang masih berdiri di tempatnya hanya mendengus melihat kelakuan bosnya yang jadi aneh hanya karena seorang wanita. Terl
“Aku boleh beli itu?” tunjuk Kayana. Rafandra mengangguk. Sudah dua jam ia dan Kayana berkeliling mall dan masuk ke setiap toko. Tadinya ia berniat membeli sebuah tas kecil, lalu karena melihat ada sepatu yang diincar Kayana, ia pun membelinya. “Ah, enggak jadi deh. Harganya mahal.” Kayana melirik Rafandra yang sudah bersiap untuk masuk ke dalam toko. Sengaja ia mengerjai pria itu. Bukankah ia sendiri yang mengajaknya jalan-jalan? “Masih mau belanja?” tanya Rafandra yang dibalasa gelengan kepala oleh Kayana. “Sudah hampir malam. Pulang saja ya.” Kayana mengajak Rafandra keluar dari area mall. Bahunya sudah penat karena barang belanjaan dan matanya pun sedikit memburam karena mengantuk. Ia ingin sekali istirahat secepatnya. “Kamu capek?” “Iya. Aku mau tidur.” Di dalam mobil, suasana hening menyergap keduanya. Hanya suara dengungan musik klasik yang sayup-sayup terdengar dari pemutar musik di dekat kemudi. Samsul juga terdiam. Biasanya, ia banyak mengoceh jika pergi berduaan denga
“Rafa, sudah ah. Jangan gangguin aku terus.” Kayana menepis tangan Rafandra yang sejak tadi melingkar di perut datarnya. Berkali-kali Rafandra juga menciumi leher Kayana hingga kekasihnya itu kesal. “Rafa! Duduk yang tenang!” bentak Kayana. Rafandra membalas dengan kekehan. Ia menuruti perintah Kayana, karena bisa saja panci yang sedang dipegangnya akan melayang ke wajahnya. “Hari ini mau main kemana lagi?” tanya Rafandra yang kini sudah duduk di kursi makan. “Mau pulang,” ketus Kayana. “Kay, kamu resign saja dari kantor. Kerja di kantor aku, jadi sekretaris pribadi. Biar Samsul fokus sama pekerjaan utamanya. Bagaimana?” Kayana melirik dari sudut matanya. Entah mengapa ucapan Rafandra sekarang terdengar seperti seorang suami yang sedang menyuruh istrinya. “Kamu kira mudah?” jawab Kayana. Hidangan makan pagi pun tertata rapi di meja makan. Kayana menyendok nasi dan lauk untuk Rafandra lalu duduk di depannya. “Mudah kok.Kamu tinggal ajukan surat langsung pindah deh.” Kayana mend
Kayana dan Rafandra duduk bersampingan. Keduanya nampak diam seperti batu dengan tatapan dingin dan isi kepala yang entah bercabang ke arah mana. Dihadapannya, ada Alyssa yang dengan santainya mengiris steak daging tanpa saus kesukaannya. "Jadi, apa rencana kalian untuk ke depannya?" tanya Alyssa tanpa berpaling dari steaknya. "Jangan bilang mengalir seperti air. Saya tidak suka." Kayana menoleh ke arah Rafandra. Matanya mendelik dan memberi kode dari tatapannya yang tajam. Rafandra tetap tenang, ia menarik kursinya hingga maju ke depan. Alyssa memperhatikan kegelisahan Rafandra dari ujung matanya yang menyipit. "Rafa mau melamar Kayana," ujarnya lantang. Alyssa mendongak. "Rafa cinta mati sama Kayana," lanjutnya. "Benar begitu, Kayana?" pertanyaan dingin itu mengarah pada Kayana. Alyssa menaruh garpu dan pisaunya, fokus pada Kayana yang belum menjawab pertanyaannya. "Benarkah?" "I-iya tante. Rafa sering melamar saya, tapi—" Kayana melirik pada Rafandra, meminta bantuan padanya.
Akibat perkataannya tempo hari, Kayana membuat batasan untuk Rafandra mengenai aturan pernikahan yang akan mereka jalani. Kayana tidak ingin kekasihnya melakukan hal yang aneh seperti waktu lalu saat bertemu dengan ibunya. Kayana lelah. "Dipanggil sama bos tuh," tegur Abil yang berdiri dekat pintu ruangan Kayana. "Katanya ingin ketemu sama kamu," tambahnya. Kayana melirik dari ujung matanya lalu mengangguk. "Terima kasih." "Kamu lagi ada masalah?" Abil masuk ke dalam ruangan. Melihat sahabatnya berwajah kusut, ia berniat untuk membantu masalahnya. "Sedikit. Sepertinya aku butuh konsultasi." Kayana menengadahkan kepalanya ke langit-langit. "Konsultasi apa?" Abil menggeser kursi di depan meja Kayana lalu mendekatinya hingga wajah mereka hampir menempel. "Pernikahan. Kira-kira dimana yang paling bagus?" "Kamu mau konsultasi pernikahan?" tanya Abil dengan suara sedikit kecewa. Air mukanya terlihat sedikit menyedihkan. Faktanya, ia masih berharap pada Kayana hingga saat ini. "Kamu m