Flashback (1)
Satu tahun yang lalu"Heran sama anak-anak ustaz ustazah jaman sekarang. Kenapa banyak banget yang pacaran sih? Pakai diumbar-umbar segala lagi. Nggak malu apa? Nggak takut dosa?"Seorang gadis muda dengan jilbab berwarna hitam yang membalut wajah cantiknya mendesis lirih.Sepasang mata mongoloidnya menatap jengah dua orang sepantarannya yang duduk berdempetan, berjarak beberapa meja dari tempatnya duduk di sebuah warung kopi yang penuh sesak akan mahasiswa dan kawula muda itu.Gadis itu menatap dua orang yang bisa dibilang cukup dikenalnya itu dengan lirikan tajam tanpa benar-benar menolehkan kepalanya. Membuat seorang pemuda yang duduk di depannya terkikik lirih memecahkan tawa."Kamu bisa julid juga, ya, ternyata? Kukira selama ini kamu kalem," kata laki-laki itu mengganti tawa lirihnya dengan seulas senyum kecil sembari menatap dalam-dalam gadis yang ada di hadapannya."Kalem?" balas gadis itu dengan nada terkejut yang sarat mengejek. Ia menatap balik. "Kamu aja yang memang belum tahu gimana aku," lanjutnya mendengkus.Si laki-laki semakin melebarkan senyumnya hingga gigi putihnya terlihat. "Makanya, ceritakan lebih banyak hal tentangmu padaku, Fe," balasnya halus.Si gadis yang dipanggil 'Fe' itu langsung memecahkan tawa. "Dih, ogah, ya .... Buat apa?! Lagian kita sekelas juga." Ia meredakan tawanya dan menatap mengejek pada teman laki-lakinya."Ya, biar semakin kenal," jawab laki-laki itu tenang."Halah, modus." Gadis itu berkomentar yang langsung membuat teman laki-lakinya kembali semakin tertawa."Baru kamu cewek yang nggak mau kumodusin, Fe," ujarnya."Bodo amat."Habis tertawa, bibir tipis laki-laki itu kembali mengumbar senyum mendengar sahutan sang lawan bicara.Tatapan gadis yang dipanggil 'Fe' yang sebenarnya bernama lengkapkan Nurul Faizah Az-Zahra itu pun kembali pada objek awalnya."Sumpah, aku penasaran gimana reaksi orang tua mereka kalau tahu kelakuam anaknya seperti ini." Ia menggumam kembali dengan kedua mata yang melirik ke arah kanannya lagi.Di sana, tampak laki-laki dan perempuan yang menjadi objek pengamatan Feiza---nama keren dari Faizah---sedari tadi, terlihat saling berpandangan mesra dengan tangan yang saling bertautan manja di atas meja. Sesekali tertawa dalam pembicaraan yang entah mengenai apa. Benar-benar dimabuk asmara."Kayak nggak pernah lihat orang pacaran aja, Fe," komentar laki-laki yang ada di depannya menarik atensi Feiza lagi. "Temen sekelas kita kan banyak yang pacaran juga," lanjut laki-laki itu."Duh, Mi. Tapi ini kasusnya beda. Mereka berdua sama-sama anak ustaz-ustazah, lho! Kalau temen-temen kita kan termasuk orang awam. Aku tuh alergi kalau lihat anak tokoh agama kelakuannya kayak gini. Dan ini tempat umum!" Feiza memberi penekanan kuat pada ucapan terakhirnya."Ya, namanya anak muda, Fe. Meski mereka anak-anak ustaz dan ustazah, mereka juga manusia biasa seperti kita. Seperti temen-temen kita yang lain. Hal itu manusiawi.""Ya, tapiii, Mi. Emangnya mereka nggak belajar surah Al-Isra ayat 32? Wa laa taqrabuuzinaa innahuu kaana faa hisyah, wa saaa sabiilaa.""Apa tuh artinya, Ukhty?""Dan janganlah kamu mendekati zina, zina itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk," jawab Feiza mengartikan terjemah Indonesianya. "Jangan main-main deh kamu, Mi!" serunya kemudian memperingati si laki-laki yang Feiza tahu pasti, bisa jadi sangat lebih paham dan mengerti akan ayat Al-Qur'an yang baru dibacanya. Feiza tahu, laki-laki itu bertanya hanya untuk menggodanya."Ha ha ha." Si laki-laki lagi-lagi tertawa tanpa dosa."Nggak lucu tahu," ucap Feiza dingin sembari mengerucutkan bibir.Melihat itu teman laki-lakinya kemudian menghentikan tawanya. "Iya, maaf," katanya tenang."Hm." Feiza pun hanya menanggapinya dengan gumaman.Gadis itu kemudian hanya diam setelah menyeruput es teh tawarnya yang semula manis, sudah berubah menjadi tawar karena seluruh es batu di dalamnya mencair dan mengenyahkan rasa manis glukosanya yang sebetulnya tak seberapa."Jadi, udah nih ghibahnya?" tanya teman laki-laki Feiza."Udah nggak mood," balasnya enteng."Yah ..., padahal seru, lho!""Ghibah dosa," balas Feiza pendek."Ya, nggak pa-pa kalau sifatnya nambah ilmu pengetahuan. Sebut aja ghibah intelektual.""Dih." Feiza mencebik.Tercipta hening lagi.Feiza menyeruput es teh tawarnya kembali."Btw, Mi. Ini kita cuma berdua aja, ya?" Feiza yang pertama kembali mengawali percakapan di antara mereka. Ia menatap sekelilingnya kemudian ke arah langit luar warung kopi yang terlihat mulai menampilkan rona senja."Hm. Kenapa? Nggak nyaman, ya?""Nggak sih. Biasa aja," jawab Feiza. "Di sini kan rame, banyak orang juga," tambahnya."Kata-kata kamu barusan berlawanan dengan kalimatmu yang pertama, Fe," komentar si laki-laki. "Yang kita cuma berdua," terangnya.Feiza tersenyum menghela napasnya. "Ya, kan, beda konteks, Fahmiii," jawabnya. "Atau, mending aku ralat aja deh. Di sini aku dan kamu nggak berdua. Banyak orang di sekitar kita. Udah, kan?"Laki-laki yang baru diketahui bernama Fahmi itu mengembangkan senyumnya. Senyuman penuh arti yang hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang mengetahui."Oke." Fahmi baru mengiyakan, masih dengan senyuman sarat arti di rekahan labiumnya. "Kalau begitu sekarang aku yang mau tanya ke kamu, Feiza."Feiza sempat menaikkan sebelah alisnya lantaran mendengar Fahmi yang tiba-tiba menyebut nama panggilannya secara lengkap alih-alih dengan 'Fe' seperti biasanya. Lantas, baru menganggukkan kepala."Menurutmu, apa yang kita lakukan sekarang ini termasuk taqrobuz zina nggak?" tanya Fahmi yang membuat kedua mata mongoloid Feiza yang maniknya berwarna cokelat itu melebar selama beberapa detik."Hah?" ucap Feiza sedikit tidak yakin atas pertanyaan yang baru didengarnya itu.Namun, Fahmi hanya bergeming tidak terlihat berminat mengulang pertanyaannya lagi.Feiza menatap lamat laki-laki di depannya selama beberapa detik. "Menurutku ... bisa iya, bisa juga tidak," balasnya kemudian.Fahmi mengangkat sebelah alisnya penuh rasa keinginan tahuan. "Mengapa?" tanyanya menampilkan roman muka penuh minat."Apa yang kita lakukan bisa termasuk 'mendekati zina' atau tidak tergantung niat dan tujuannya." Feiza menjeda. "Kalau kita melakukan khalwat, sebut saja berduaan, seperti saat ini, dengan tujuan yang mengarah pada ... hubungan pertalian kasih laki-laki dan perempuan sebelum atau bahkan di luar ikatan resmi pernikahan, maka iya. Itu adalah taqrobuz zina. Tapi, kalau kita bertemu berdua dengan niat dan tujuan menjalin hubungan pertemanan dalam menuntut ilmu, aku rasa itu tidak taqrobuz zina. Kita juga ada di tempat yang ramai. Mengenai hal ini aku yakin kamu lebih paham dariku. Pengetahuanku masih sangat cethek jika dibandingkan denganmu."Fahmi hanya diam menciptakan kebisuan di antara mereka. Kebisuan yang terasa ganjil di tengah ingar-bingar salah satu warung kopi yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus itu."Begitu, ya?" tanggap Fahmi dengan gumaman yang seolah berbicara dengan dirinya sendiri."Em." Feiza yang masih mendengarnya mengangguk. "Kalau aku salah, kamu tentu bisa mengoreksinya. Itu pendapat yang kuperoleh dari pemahamanku pribadi, yang sekali lagi, masih sangat dangkal."Hening.Tbc."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat."Iya?" sahut Feiza yang kini sibuk memasukkan pentol goreng tusuk ke dalam mulut dan mulai mengunyahnya."Jadi, kamu belum pernah pacaran, ya?"Uhuk!Feiza hampir tersedak."Fahmiii." Gadis itu langsung memelototi Fahmi dan menggeram. "Aku lagi makan!" protesnya.Fahmi menahan senyumnya. "Jawab aja, Fe," katanya.Feiza langsung menyambar gelas teh tawarnya dan menenggaknya tanpa sisa. "Iya lah. Kenapa tanya-tanya?" jawabnya kemudian dengan begitu tidak santainya. "Masa iya calon istrinya laki-laki salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan gini punya mantan? Nggak dong. Makasiih."Feiza kemudian kembali menyuap sebuah pentol goreng ke dalam mulutnya dan mengunyahnya.Fahmi dibuat tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis yang ada di depannya itu. "Sombong amat," ejeknya.Feiza tidak menghiraukannya. "Biarin. Bodo amat." Feiza tetap menyantap pentol gorengnya dengan tenang. "Sombong da
"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat saling diam lagi. "Pernah denger kalimat kalau seseorang yang pacaran lalu dia bertaubat, dan tidak pernah berpikir untuk mengulang lagi, maka dia lebih mahal dari berlian?" tanyanya."Pernah." Feiza mengangguk. "Apa lagi kalau nggak pernah pacaran, ya, kan?" lanjutnya.Fahmi terkekeh. "Jadi, kamu bener-bener nggak mau pacaran, ya, Fe?""Hem. Bisa dibilang gitu sih, Mi. Untuk saat ini."Fahmi langsung mengerutkan dahi. "Untuk saat ini?" pekaunya mempertanyakan kalimat terakhir dari jawaban Feiza."Iya." Feiza menganggukkan kepala. "Aku nggak mau dicap munafik, sok alim ataupun sok suci." Jeda. "Setelah ngobrol sama kamu hari ini, aku mengakui kalau aku orang yang sangat naif sekali, Mi. Jadi, aku mau menjawab pertanyaan kamu dengan rasioal aja."Dari mengerutkan dahinya, Fahmi kini mengangkat sebelah alisnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Feiza."Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sifatnya fluktuatif. Sekarang bisa aja aku bi
"Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya."Hm. Mungkin?" jawab Fahmi."Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur."Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta."Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya."Iya.""Seangkatan ... atau adik tingkat?""Seangkatan.""Sekelas?""Enggak.""Ohh."Tercipta keheningan."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama."Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pent
Feiza menyeka kedua matanya yang basah oleh cairan larikma. Untuk ke sekian kalinya.Kini, gadis cantik itu sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya setelah ayahnya yang bekerja di pabrik pulang beberapa jam yang lalu.Jam analog di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 7 malam selepas Isya. Feiza, ayahnya, dan ibunya. Mereka bertiga duduk di atas lantai semen yang dilapisi karpet berwarna hijau tua ruang keluarga.Ayah Feiza duduk bersisian dengan ibunya sedangkan Feiza bersimpuh di hadapan keduanya.Feiza buka suara setelah berusaha menenangkan diri. "Kenapa Ayah begitu tega sama Feiza, Yah?" tanya gadis itu dengan suara sengau menatap ayahnya. "Kenapa Ayah nikahin aku sama seseorang yang bahkan nggak Fe kenal? Kenapa, Yah? Kenapa?"Tes tes tes.Feiza sudah berusaha keras menahan air matanya. Namun, cairan itu tetap meluncur juga dengan deras di kedua belah pipinya.Gadis itu benar-benar merasakan kesedihan yang tak terkira karena keputusan sepihak kedua orang tuany
Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya.Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya.Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa."Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas.Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap.Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya.Feiza langsung tercenung mendengarnya.Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya
Feiza tidak dapat mendeskripsikan perasaannya. Entah terkejut, sedih, kecewa, takut, terluka, atau bahkan perasaan lainnya. Yang jelas perasaan campur aduk itu ia yakini bukanlah perasaan bahagia.Feiza merasa ingin menghilang saja dari dunia saat ini juga. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya. Hanya berdua.Ya, hanya ada mereka berdua di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter itu. Ayah dan ibu Feiza baru saja pergi beberapa menit yang lalu dengan alasan hendak ke pasar untuk berbelanja. Padahal Feiza rasa, tidak ada kebutuhan rumah atau dapur yang harus ibunya beli hari ini. Semuanya masih mencukupi."Feiza," panggil laki-laki itu lembut. "Kamu melamun?" tanyanya penuh perhatian menatap ke arah Feiza.Feiza mengerjapkan matanya, balas menatap laki-laki yang duduk tepat di depannya hanya berbataskan meja kayu ruang tamu dengan bentangan jarak berkisar satu meteran itu lalu menundukkan kepala.Feiza tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatak
"Setelah ini bersiaplah, Fe," ucap Furqon tak lama setelah Feiza mengambil kotak berisi cincinnya."Siap-siap? Apa, Gus?" balas gadis itu terdengar malas tak bertenaga.Kenyataan bahwa Furqon adalah laki-laki yang dinikahkan dengannya menyedot habis tenaganya, bahkan bisa dibilang, gairah hidup Feiza. Gadis itu sudah bisa membayangkan hari-hari berat yang akan dialaminya dan menunggunya di depan mata karena menjadi istri Furqon."Aku mau mengajakmu jalan-jalan seperti yang sudah kusampaikan ke Ayah," balas Furqon. "Semua barang yang mau kamu bawa kembali ke Plosojati, kamu bawa sekalian. Setelah jalan-jalan kita akan langsung kembali ke sana."Feiza diam tidak bisa berkata-kata. Ia benar-benar masih syok dan terkejut.Plosojati yang dimaksud Furqon ialah nama daerah tempat berdirinya kampus mereka di kota rantauan. Dan kebanyakan mahasiswa memang memilih tinggal dan menetap di daerah itu entah di kontrakan atau indekosnya masing-masing.Sekarang, Feiza masih terkejut karena Furqon ben
Sepanjang perjalanan, Feiza terus diam dengan Furqon yang juga tampak mengemudi dengan tenang di sisi kanannya. Tidak ada seorang pun yang bicara.Entah ke mana tujuan mereka, Feiza masih belum tahu. Furqon benar-benar tidak berniat memberitahunya. Membuat gadis itu hanya bisa menghela napasnya beberapa kali dengan pelan namun gusar sembari menatap pemandangan yang ada di luar mobil dari kaca jendela yang ada di sisi kirinya.Yang Feiza tahu dengan pasti, mereka masih berada di daerah kota tempat tinggalnya. Itu saja.Ponsel sebenarnya bisa menjadi distraksi terbaik untuk memusatkan perhatian Feiza agar tidak terlalu merasakan keheningan yang tercipta dalam mobil sedan berwarna putih itu. Namun, Feiza memilih tidak melakukannya. Ia takut melewatkan akan ke mana sebenernya Furqon membawanya, hingga beberapa saat setelahnya, laki-laki jangkung itu membelokkan mobilnya masuk ke dalam basement salah satu mal di kota.Feiza sedikit mengernyitkan dahi, ia sama sekali tidak menyangka jika Fu