“Feiza.”
Feiza meremas-remas jemari tangannya sampai suara Furqon terdengar memanggil namanya dari bilik kamar mandi. “Iya, Gus?” sahut Feiza segera menghampiri dan berdiri di depan pintu kamar mandi itu. “Ada apa?” tanyanya. Furqon melongokkan kepalanya dari dalam melalui pintu kayu kamar mandi yang sedikit dibukanya. “Tolong ambilkan baju gantiku,” pintanya. Feiza menelan air ludahnya sebentar melihat wajah dan rambut basah Furqon. Ia kemudian mengangguk dan segera menuju lemari Furqon guna mengambilkan baju. “Terima kasih,” ucap Furqon menerima uluran baju dari Feiza. Feiza hanya menganggukkan kepala lalu kembali mendudukkan diri di sofa. “Masih punya wudu?” tanya Furqon sekeluarnya laki-laki itu dari kamar mandi. Ia tampak sudah memakai setelan sarung biru dengan atasan kaus putih lengan pendek yang sebelumnya diambilkan oleh Feiza.Furqon menatap Feiza yang masih terlelap dalam tidurnya di hadapannya.Ia tidak menyangka, perempuan yang menjadi cinta pertamanya itu kini benar-benar ada di depannya, terlelap di sisinya, satu ruangan dan satu tempat tidur dengan dirinya, berstatus sebagai istrinya, dan baru saja mereguk kenikmatan surga dunia bersama-sama dengannya.Secara sepenuhnya, Feiza telah menerima Furqon sebagai suaminya dan itu adalah kado ulang tahun terbaik Furqon selama dua puluh satu tahun dirinya hidup.Sejak beberapa menit yang lalu terhitung dari Furqon yang kembali terjaga, laki-laki itu sama sekali tidak ingin mengedipkan kedua netranya, takut-takut kalau Feiza yang ada di depannya ini tidak nyata dan hanya ilusi.Furqon khawatir jika ia berkedip, gadis cantik yang beberapa saat lalu sudah ia ubah menjadi wanita itu akan menghilang. Lenyap dari pandangan.Sangat perlahan, Furqon kemudian menggerakkan tangannya dan menggunakan jemarinya untuk menyentuh wajah Feiza. Merasakan hangat kulitnya lalu pe
"Kamu sudah menikah, Feiza."Rasanya seperti mendengar sambaran petir saat cuaca di luar kelewat cerah dan matahari sedang bersinar terik-teriknya.Oh, yang benar saja! Dia, menikah?Kapan? Di mana? Dengan siapa?Feiza percaya apa yang barusan dikatakan ibunya, perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya itu pasti sebuah lelucon. Ibunya ini pasti sedang bercanda."Bu, Ibu tidak serius, kan? Kapan Feiza menikah? Feiza kan sibuk kuliah di kota lain. Pulang ke rumah pun hanya bisa sekali-dua kali dalam sebulan. Lalu bagaimana Feiza menikah? Aku bahkan nggak tahu apa-apa," ucap Feiza."Kamu sudah dinikahkan Ayahmu sebulan yang lalu, Nduk. Nikah agama," jelas ibunya."Hah?" Feiza langsung terperangah mendengarnya. "Ta-tapi, bagaimana bisa, Bu? Kuliah Fe gimana?"Sang ibu terlihat menghela napasnya. "Kamu tetap bisa kuliah, Nduk. Kami mengambil keputusan ini bukannya tanpa pertimbangan," jelasnya lagi."Bukan tanpa pertimbangan? Lalu kenapa Feiza tidak Ayah dan Ibu libatkan? Yang meni
Flashback (1)Satu tahun yang lalu"Heran sama anak-anak ustaz ustazah jaman sekarang. Kenapa banyak banget yang pacaran sih? Pakai diumbar-umbar segala lagi. Nggak malu apa? Nggak takut dosa?"Seorang gadis muda dengan jilbab berwarna hitam yang membalut wajah cantiknya mendesis lirih.Sepasang mata mongoloidnya menatap jengah dua orang sepantarannya yang duduk berdempetan, berjarak beberapa meja dari tempatnya duduk di sebuah warung kopi yang penuh sesak akan mahasiswa dan kawula muda itu.Gadis itu menatap dua orang yang bisa dibilang cukup dikenalnya itu dengan lirikan tajam tanpa benar-benar menolehkan kepalanya. Membuat seorang pemuda yang duduk di depannya terkikik lirih memecahkan tawa."Kamu bisa julid juga, ya, ternyata? Kukira selama ini kamu kalem," kata laki-laki itu mengganti tawa lirihnya dengan seulas senyum kecil sembari menatap dalam-dalam gadis yang ada di hadapannya."Kalem?" balas gadis itu dengan nada terkejut yang sarat mengejek. Ia menatap balik. "Kamu aja yang
"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat."Iya?" sahut Feiza yang kini sibuk memasukkan pentol goreng tusuk ke dalam mulut dan mulai mengunyahnya."Jadi, kamu belum pernah pacaran, ya?"Uhuk!Feiza hampir tersedak."Fahmiii." Gadis itu langsung memelototi Fahmi dan menggeram. "Aku lagi makan!" protesnya.Fahmi menahan senyumnya. "Jawab aja, Fe," katanya.Feiza langsung menyambar gelas teh tawarnya dan menenggaknya tanpa sisa. "Iya lah. Kenapa tanya-tanya?" jawabnya kemudian dengan begitu tidak santainya. "Masa iya calon istrinya laki-laki salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan gini punya mantan? Nggak dong. Makasiih."Feiza kemudian kembali menyuap sebuah pentol goreng ke dalam mulutnya dan mengunyahnya.Fahmi dibuat tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis yang ada di depannya itu. "Sombong amat," ejeknya.Feiza tidak menghiraukannya. "Biarin. Bodo amat." Feiza tetap menyantap pentol gorengnya dengan tenang. "Sombong da
"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat saling diam lagi. "Pernah denger kalimat kalau seseorang yang pacaran lalu dia bertaubat, dan tidak pernah berpikir untuk mengulang lagi, maka dia lebih mahal dari berlian?" tanyanya."Pernah." Feiza mengangguk. "Apa lagi kalau nggak pernah pacaran, ya, kan?" lanjutnya.Fahmi terkekeh. "Jadi, kamu bener-bener nggak mau pacaran, ya, Fe?""Hem. Bisa dibilang gitu sih, Mi. Untuk saat ini."Fahmi langsung mengerutkan dahi. "Untuk saat ini?" pekaunya mempertanyakan kalimat terakhir dari jawaban Feiza."Iya." Feiza menganggukkan kepala. "Aku nggak mau dicap munafik, sok alim ataupun sok suci." Jeda. "Setelah ngobrol sama kamu hari ini, aku mengakui kalau aku orang yang sangat naif sekali, Mi. Jadi, aku mau menjawab pertanyaan kamu dengan rasioal aja."Dari mengerutkan dahinya, Fahmi kini mengangkat sebelah alisnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Feiza."Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sifatnya fluktuatif. Sekarang bisa aja aku bi
"Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya."Hm. Mungkin?" jawab Fahmi."Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur."Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta."Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya."Iya.""Seangkatan ... atau adik tingkat?""Seangkatan.""Sekelas?""Enggak.""Ohh."Tercipta keheningan."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama."Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pent
Feiza menyeka kedua matanya yang basah oleh cairan larikma. Untuk ke sekian kalinya.Kini, gadis cantik itu sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya setelah ayahnya yang bekerja di pabrik pulang beberapa jam yang lalu.Jam analog di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 7 malam selepas Isya. Feiza, ayahnya, dan ibunya. Mereka bertiga duduk di atas lantai semen yang dilapisi karpet berwarna hijau tua ruang keluarga.Ayah Feiza duduk bersisian dengan ibunya sedangkan Feiza bersimpuh di hadapan keduanya.Feiza buka suara setelah berusaha menenangkan diri. "Kenapa Ayah begitu tega sama Feiza, Yah?" tanya gadis itu dengan suara sengau menatap ayahnya. "Kenapa Ayah nikahin aku sama seseorang yang bahkan nggak Fe kenal? Kenapa, Yah? Kenapa?"Tes tes tes.Feiza sudah berusaha keras menahan air matanya. Namun, cairan itu tetap meluncur juga dengan deras di kedua belah pipinya.Gadis itu benar-benar merasakan kesedihan yang tak terkira karena keputusan sepihak kedua orang tuany
Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya.Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya.Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa."Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas.Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap.Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya.Feiza langsung tercenung mendengarnya.Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya