“Aku tidak akan mungkin melakukan itu,” kata Furqon.
Feiza menghela napas. “Gus ….” Nada suara gadis itu penuh permohonan. Furqon pun hanya diam. “Hahh,” hela napas Furqon kemudian. Jika Feiza tadi menghela napas pelan, Furqon barusan menghembuskan napasnya kencang. “Kenapa kamu berpikir aku akan menceraikanmu demi menikah dengan perempuan lain, Fe?” tanya Furqon. “Dan Ziyana? Ini sangat konyol.” “Lalu mau njenengan bagaimana?” jawab Feiza dengan tanya juga. “Njenengan mau menikahi Mbak Ziyana Nafisa tanpa menceraikanku? Aku nggak mau, Gus. Tolong, talak saja aku.” Furqon menggeleng mendengar kalimat Feiza itu. “Aku tidak akan menceraikan kamu!” Feiza kembali menangis tersedu. “Terus gimana?” racaunya. “Aku nggak mau dimadu, Gus! Lebih baik aku nggak menikah seumur hidupku!” “Kamu ini bicara apa, Feiza?” tanya Furqon dengan wajah yang kini terlihat sCiuman itu terhenti ketika Furqon sedikit menarik dirinya, untuk sama-sama mengambil napas dan pasokan udara.“Aku benar-benar mencintaimu, Feiza,” lirihnya menatap dalam manik mongoloid Feiza kemudian kembali mengikis jarak di antara mereka dan hendak kembali mencium Feiza.Dug!Tanpa diduga, Feiza tiba-tiba mendorong dada Furqon kemudian beringsut mundur di atas sofa panjang yang sejak tadi mereka duduki.“Njenengan jangan membuatku bingung, Gus!” tukas gadis itu.Furqon sangat terkejut melihat respons Feiza itu. “Bingung?” herannya tak berselang lama. “Bingung bagaimana?”Feiza menatap tajam Furqon yang ada di depannya. “Njenengan tidak benar-benar mencintaiku,” kata Feiza pelan. “Baiklah jika njenengan tidak mencintai Mbak Ziyana Nafisa, tapi tolong, jangan menipuku dengan mengatakan njenengan mencintaiku. Itu sangat buruk.”Furqon melebarkan kedua kelopak matanya, menatap Feiza dengan tatapan tidak percaya. “Menipu?
“Kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin aku nikahi, Fe. Sebelum menikah denganmu, aku membuat kesepakatan dengan Ayah dan Ibu kalau kita tidak akan berencana punya anak, sampai pernikahan kita disahkan negara,” ucap Furqon. “Hal itu bertujuan untuk kebaikan semua orang terutama calon anak kita nantinya. Karena itu, aku tidak ingin menyentuhmu, Feiza. Terlebih tanpa kamu yang menginginkan dan mengizinkannya.” Feiza yang mendengarnya langsung menatap Furqon dengan pandangan tidak percaya. “Hah? Tapi, Ibuku ….” “Itu lain cerita,” jawab Furqon. “Karena Ibu pikir kita menggunakan kontrasepsi,” lanjutnya pelan. Tempo hari hubungan ranjang Furqon dengan Feiza memang sempat dijadikan pembahasan oleh ibu mertuanya ketika menginap di Jombang. Wajah Feiza langsung memerah. Ia menggigit pelan bibir bawahnya sembari melempar tatap ke arah lain. Furqon yang menyadarinya menahan senyumny
“Feiza.” Feiza meremas-remas jemari tangannya sampai suara Furqon terdengar memanggil namanya dari bilik kamar mandi. “Iya, Gus?” sahut Feiza segera menghampiri dan berdiri di depan pintu kamar mandi itu. “Ada apa?” tanyanya. Furqon melongokkan kepalanya dari dalam melalui pintu kayu kamar mandi yang sedikit dibukanya. “Tolong ambilkan baju gantiku,” pintanya. Feiza menelan air ludahnya sebentar melihat wajah dan rambut basah Furqon. Ia kemudian mengangguk dan segera menuju lemari Furqon guna mengambilkan baju. “Terima kasih,” ucap Furqon menerima uluran baju dari Feiza. Feiza hanya menganggukkan kepala lalu kembali mendudukkan diri di sofa. “Masih punya wudu?” tanya Furqon sekeluarnya laki-laki itu dari kamar mandi. Ia tampak sudah memakai setelan sarung biru dengan atasan kaus putih lengan pendek yang sebelumnya diambilkan oleh Feiza.
"Kamu sudah menikah, Feiza."Rasanya seperti mendengar sambaran petir saat cuaca di luar kelewat cerah dan matahari sedang bersinar terik-teriknya.Oh, yang benar saja! Dia, menikah?Kapan? Di mana? Dengan siapa?Feiza percaya apa yang barusan dikatakan ibunya, perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya itu pasti sebuah lelucon. Ibunya ini pasti sedang bercanda."Bu, Ibu tidak serius, kan? Kapan Feiza menikah? Feiza kan sibuk kuliah di kota lain. Pulang ke rumah pun hanya bisa sekali-dua kali dalam sebulan. Lalu bagaimana Feiza menikah? Aku bahkan nggak tahu apa-apa," ucap Feiza."Kamu sudah dinikahkan Ayahmu sebulan yang lalu, Nduk. Nikah agama," jelas ibunya."Hah?" Feiza langsung terperangah mendengarnya. "Ta-tapi, bagaimana bisa, Bu? Kuliah Fe gimana?"Sang ibu terlihat menghela napasnya. "Kamu tetap bisa kuliah, Nduk. Kami mengambil keputusan ini bukannya tanpa pertimbangan," jelasnya lagi."Bukan tanpa pertimbangan? Lalu kenapa Feiza tidak Ayah dan Ibu libatkan? Yang meni
Flashback (1)Satu tahun yang lalu"Heran sama anak-anak ustaz ustazah jaman sekarang. Kenapa banyak banget yang pacaran sih? Pakai diumbar-umbar segala lagi. Nggak malu apa? Nggak takut dosa?"Seorang gadis muda dengan jilbab berwarna hitam yang membalut wajah cantiknya mendesis lirih.Sepasang mata mongoloidnya menatap jengah dua orang sepantarannya yang duduk berdempetan, berjarak beberapa meja dari tempatnya duduk di sebuah warung kopi yang penuh sesak akan mahasiswa dan kawula muda itu.Gadis itu menatap dua orang yang bisa dibilang cukup dikenalnya itu dengan lirikan tajam tanpa benar-benar menolehkan kepalanya. Membuat seorang pemuda yang duduk di depannya terkikik lirih memecahkan tawa."Kamu bisa julid juga, ya, ternyata? Kukira selama ini kamu kalem," kata laki-laki itu mengganti tawa lirihnya dengan seulas senyum kecil sembari menatap dalam-dalam gadis yang ada di hadapannya."Kalem?" balas gadis itu dengan nada terkejut yang sarat mengejek. Ia menatap balik. "Kamu aja yang
"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat."Iya?" sahut Feiza yang kini sibuk memasukkan pentol goreng tusuk ke dalam mulut dan mulai mengunyahnya."Jadi, kamu belum pernah pacaran, ya?"Uhuk!Feiza hampir tersedak."Fahmiii." Gadis itu langsung memelototi Fahmi dan menggeram. "Aku lagi makan!" protesnya.Fahmi menahan senyumnya. "Jawab aja, Fe," katanya.Feiza langsung menyambar gelas teh tawarnya dan menenggaknya tanpa sisa. "Iya lah. Kenapa tanya-tanya?" jawabnya kemudian dengan begitu tidak santainya. "Masa iya calon istrinya laki-laki salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan gini punya mantan? Nggak dong. Makasiih."Feiza kemudian kembali menyuap sebuah pentol goreng ke dalam mulutnya dan mengunyahnya.Fahmi dibuat tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis yang ada di depannya itu. "Sombong amat," ejeknya.Feiza tidak menghiraukannya. "Biarin. Bodo amat." Feiza tetap menyantap pentol gorengnya dengan tenang. "Sombong da
"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat saling diam lagi. "Pernah denger kalimat kalau seseorang yang pacaran lalu dia bertaubat, dan tidak pernah berpikir untuk mengulang lagi, maka dia lebih mahal dari berlian?" tanyanya."Pernah." Feiza mengangguk. "Apa lagi kalau nggak pernah pacaran, ya, kan?" lanjutnya.Fahmi terkekeh. "Jadi, kamu bener-bener nggak mau pacaran, ya, Fe?""Hem. Bisa dibilang gitu sih, Mi. Untuk saat ini."Fahmi langsung mengerutkan dahi. "Untuk saat ini?" pekaunya mempertanyakan kalimat terakhir dari jawaban Feiza."Iya." Feiza menganggukkan kepala. "Aku nggak mau dicap munafik, sok alim ataupun sok suci." Jeda. "Setelah ngobrol sama kamu hari ini, aku mengakui kalau aku orang yang sangat naif sekali, Mi. Jadi, aku mau menjawab pertanyaan kamu dengan rasioal aja."Dari mengerutkan dahinya, Fahmi kini mengangkat sebelah alisnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Feiza."Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sifatnya fluktuatif. Sekarang bisa aja aku bi
"Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya."Hm. Mungkin?" jawab Fahmi."Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur."Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta."Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya."Iya.""Seangkatan ... atau adik tingkat?""Seangkatan.""Sekelas?""Enggak.""Ohh."Tercipta keheningan."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama."Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pent