Bahkan, Sekar tak terlihat khawatir dengan kegaduhan yang baru saja terjadi yang menyebabkan pipi kirinya terasa nyeri. Sambil memegang pipinya, Gilang mendekat. “Dik, ayo kita pulang,” ujar Gilang seolah ingin menunjukkan eksistensinya pada pria yang sedang berbicara dengan Sekar, sekaligus menunjukkan betapa menderita dirinya sehabis kena tonjok. “Eh, Mas. Udah?” tanya Sekar, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan raut mukanya sangat riang. Bukan terlihat habis berantem dengan Sakina. Ditambah Sekar seolah tak mau tahu dengan kondisi Gilang yang sedang memegang pipi kirinya yang terasa nyeri. “Kita duluan, ya, Kak!” ujar Sekar sambil melambaikan tangannya. Akrab!Demikian juga lelaki itu. Dia membalas lambaian tangan Sekar, lalu masuk ke salah satu mobil yang terparkir di depan cafe. Rupanya salah satu pengunjung cafe juga. Darah Gilang terasa mendidih. Dia merasa diabaikan. Bahkan, Sekar seperti tak punya niat memperkenalkan lelaki yang barusan berbicara dengannya itu pada Gilan
“Mas....” panggil Sekar. Meskipun Gilang hanya bercanda, tapi ternyata dipikirkan juga oleh Sekar kata-kata Gilang tadi. Apalagi, tampaknya Gilang masih enggan mengakui statusnya sebagai istrinya di hadapan teman-temannya, meski temannya sudah tahu kalau Gilang sudah menikah. “Hemmm...” sahut Gilang malas. Matanya sudah terpejam. Seharian dia sungguh lelah. Habis antri beli bubur, ke dokter kandungan, ke pasar, dan malamnya berakhir dengan prahara bertemu dengan Sakina. Hari yang melelahkan. “Aku jelek,ya?” tanya Sekar sambil memainkan ujung selimut yang menutupi hingga batas lehernya. Sementara Gilang di sebelahnya sudah hendak terpejam. “Heem...” “Jadi, beneran aku jelek?” Sekar langsung memiringkan badannya. Matanya menatap Gilang yang ogah-ogahan menjawab pertanyaannya. “Iya....” jawab Gilang setengah bergumam. “Jadi, karena aku jelek, sampai kamu ajak ke klinik, biar aku ngga malu-maluin?” tanya Sekar lagi. Dia teringat Gilang yang rela merogoh kocek sangat dalam, dem
Bergegas Gilang meninggalkan Sekar yang masih membereskan barang bawaannya. Ada beberapa jajanan yang tidak mudah ditemui di Jakarta yang ingin dia bawa. "Dasar orang ngidam, aneh-aneh saja," dengus Gilang saat tahu Sekar membeli banyak jajan saat ke pasar kemarin. Lelaki itu menatap tamu yang sudah duduk di kursi tamu dengan tatapan tak suka. “Suaminya Sekar?” tanya Arfan sambil berdiri, berniat berkenalan dengan Gilang. Bukan menyambutnya dengan ramah, Gilang malah menatap uluran tangan itu, meski kemudian menyambutnya dan berjabat tangan dengan dingin. Sekar buru-buru ke depan. Ia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apalagi, semalam Gilang sudah kena tonjok Fajar, dan Sekar pura-pura tak tahu. Salah sendiri bermain api, itulah akibatnya, batin Sekar tatkala melihat Gilang memegangi wajahnya malam itu, tanpa berniat bertanya seberapa sakitnya. Sekar lalu ikut duduk di sebelah Gilang. Suaminya itu menampilkan wajah juteknya seperti kemarin-kemarin tatkala melihat ses
"Kalau lelaki itu sudah mengenal Sekar dan keluarganya, bukankah lebih tepat kalau yang dijodohkan adalah pria itu, bukan aku?"Seolah Gilang sudah kehilangan akal. Dia lupa kalau dia justru dia yang menolak perjodohan Sekar dengan Fajar. Otaknya mulai ruwet mengingat puzle-puzle yang berserakan. “Nanti kamu nyesel....” ledek Pak Sidik sambil menaik-turunkan satu alisnya, tersenyum menyentil Gilang. Pria itu menatap menantunya yang ekspresinya mulai gelisah. "Tak masuk akal jika tak ada hubungan apa-apa, Sekar dan keluarganya bisa sedekat itu. Apalagi, sampai mengirim hadiah segala," gumam Gilang dalam hati. Mau bertanya, gengsi juga.Sementara Sekar malah asik membuka kardus hadiah dari mamanya Arfan. “Masyaallah! Satu set alat masak!” Ada rasa senang saat pertama melihatnya. Alat masak yang super mewah terbuat dari bahan berkualitas yang sekarang lagi in dipromosikan di mana-mana. Dia pernah melihatnya sekilas di iklan saat dia harus googling mencari bahan kerjaan kantornya.Ta
“Dik....” panggil Gilang saat mereka berdua sudah duduk di gerbong kereta. Bawaan yang berjibun membuatnya terpaksa meletakkan dus itu sebagian di kaki, untungnya mereka mendapatkan duduk paling depan. “Kamu masih punya tabungan kan?” tanya Gilang tanpa menunggu jawaban Sekar. Sekar menoleh. Satu alisnya terangkat. Sementara mulutnya mencebik. "Makanya kalau menikah itu sering-sering ngobrol. Nggak mikirin wanita lain yang sudah melepehmu," guman Sekar dalam hati. Terhitung tiga minggu menikah, tapi mereka berdua memang belum pernah serius membahas masa depan. Setiap hari bertengkar hal nggak penting. Salah paham. Komunikasi belum pernah berusaha dijalin dan dibicarakan serius. Tak seperti teori di buku-buku islami atau ceramah-ceramah ustadz tentang membina rumah tangga islami. Apalagi keduanya mantan aktivis organisasi yang mestinya lebih mahir mengenai planning. Gilang berpikir berkeluarga itu beda sama organisasi. Masak iya pake AD/ART. Masak iya dikit-dikit harus rapat atau
Gilang sudah duduk manis di atas jok motornya menunggu Sekar di pintu gerbang kantor seperti biasa. Dia sudah mencari info kontrakan murah dan terjangkau. Hari ini, usai kerja, dia berencana mengajak Sekar untuk survei. “Kemana kita?” tanya Sekar saat menyadari kalau Gilang melajukan motornya ke arah yang berlainan dengan arah kosannya. “Cari kontrakan. Tadi, Mas sudah kontak orangnya. Mau lihat sekarang,” ujar Gilang dengan suara keras, melawan bisingnya lalu lintas jalanan yang padat merayap. “Ck! Kebiasaan. Nggak ada komunikasi, nggak ada diskusi, sudah main memutuskan saja,” batin Sekar kesal. Padahal, dia merasa sangat lelah karena kemarin seharian di kereta. Dia ingin cepat-cepat sampai kosan, ganti baju, mandi dan istirahat. Mungkin karena bawaan bayi, Sekar jadi merasa tidak nyaman dengan suasana panasnya ibukota. Padahal, biasanya dia juga panas-panasan tak masalah. Tapi kali ini, panas itu membuat ingin segera mandi dan ganti pakaian rumahan. Motor Gilang melaju, sambil
Sekar mengerjap saat menyadari arah motor Gilang. Hari itu ke dua dia survei kontrakan. Sekarang lokasinya berbeda dengan tempo hari. Kalau tempo hari di area padat penduduk, hari ini di kompleks perumahan. “Yakin, Mas?” tanya Sekar saat melihat rumah perumahan yang lumayan bagus.“Kita lihat dulu,” tukas Gilang.Keduanya turun dari motor kala menemukan rumah yang dituju. Rumah itu terlihat kosong. “Berapa sewanya?” tanya Gilang saat selesai survei ke dalam. Sekar pun juga senang. Ada dua kamar tidur. Ada dapur dan dua kamar mandi. Bahkan ada kamar kecil yang bisa digunakan sebagai gudang atau kamar pembantu di belakang kalau mau. Tidak terlalu besar, tapi cukup buat berdua. “Tiga puluh enam juta untuk setahun,” ujar Bu Halimah, pemilik rumah yang tinggal beberapa rumah dari situ. Mata Sekar langsung melotot. Otaknya menghitung. "Jadi, sebulan tiga juta? Mahal sekali!" Padahal jarak ke kantor juga lumayan. Kelebihannya, berada di lingkungan yang asri. Ada masjid juga dekat dari
“Jauh banget, Mas,” ujar Sekar saat dia turun dari motor. Pant*tnya sudah terasa panas karena terlalu lama di boncengan.. Sebenarnya hanya sekitar 12 kilometer. Sama dengan dari rumahnya di kampung ke SMAnya. Tapi, Jakarta selalu macet di jam pulang kerja. Meskipun dengan motor, tetap saja melelahkan. Apalagi biasanya mereka hanya mengendarai motor lima sampai sepuluh menit, dari kantor hingga kosan. Ini sudah empat hari berturut-turut hunting kontrakan. “Sabar...” sahut Gilang yang terdengar menyebalkan bagi Sekar. Dia pikir aku nggak tahu sabar apa, masih saja diingatkan tentang sabar, gerutu Sekar dalam hati. “Tapi, kalau jadi ke sini, jauh banget lho, Mas. Bayangin kalau tiap hari,” gerutu Sekar lagi. Kini, Sekar baru menyadari beratnya hidup di ibukota setelah berumah tangga. Jaman masih sendiri, mudah saja tinggal cari kosan belakang kantor. Sekarang? Mana mungkin kos. Apalagi sebentar lagi tentu harus menyiapkan kelahiran anaknya. Mungkin lain cerita jika dia ibu rumah tan