Teriakan itu membuatku tidak melanjutkan langkah, padahal pintu lift sudah terbuka. Saat itu juga, aku menoleh ke arahnya.
“Keluarkan kakakku dari jeruji besi!” pintanya.
Keningku mengerut, mataku menyipit.
“Apa yang kamu katakana?” tanyaku.
“Aku bilang bebaskan Kak Yus dari penjara!” pekiknya.
“Aku gak ngerti maksudmu!” Aku mengacuhkan gadis itu, menggaet tangan Erika kemudian memencet tombol lift. Menunggu sebentar.
“Jangan pura-pura gak tahu. Kamulah yang harus bertanggung jawab atas yang menimpa kakakku!” cecarnya.
Ting!
Pintu lift pun terbuka. Aku dan Erika melangkah masuk. Kutatap gadis itu lekat-lekat. Matanya mengandung dendam, kemarahan dan ambisi menghancurkan seseorang tetapi juga di mata itu menguarkan jiwa yang kesepian.
Pintu lift pun tertutup setelah Erika menekan tombol ground. Perlahan, lift berjalan.
“Karena aku mungkin populer di kalangan orangorang yang gak kukenal jadi, mungkin gadis itu adalah salah satu fans.” Aku tersenyum.“Jangan bercanda, jelas-jelas gadis itu nanyain Yus.” Erika memincingkan mata.“Yah, begitulah!” Makanan kami pun datang. Diletakannya di atas meja oleh Abang Penjual. “Silakan!” ucapnya kemudian kembali melayani pembeli lain.“Makan dulu aja. Aku lapar!” kilahku. Menuang kecap di atas bumbu kacang kemudian mengaduk, mencampur siomay dengan bumbu agar menyatu. Meniup makanan di sendok sebelum melahapnya. Bisa makan seperti ini sungguh nikmat juga. Sensasi makan pinggir jalan yang sudah lama tidak kurasakan. Erika pun melakukan hal yang sama. Istriku mulai melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan namun, dia menambahkan satu sendok sambal di atas makanannya. Sejak indera p
Rumah masih dalam keadaan kosong ketika kami sampai tepat jam delapan malam. Adik iparku rupanya belum pulang dari agenda periksa kandungan hari ini. Erika merebahkan badannya di atas sofa sesaat setelah aku menyalakan lampu.“Mandi dulu, sana!” pintaku sembari menyimpan sepatu di rak dekat pintu.“Lagi males baget mandi.” Erika berkeluh. Aku melenggang ke balik konter, memanaskan air di dalam ketel kecil.“Mau kopi?” tawarku.“Teh aja,” jawabnya. Kutambahkan sedikit air lagi ke dalam ketel. Sambil menunggu dan menyiapkan kopi bubuk ke dalam cangkirku juga kantong teh ke dalam cangkir untuk Erika.“Ngomong-omong, kamu gak inisiatif hubungi Dwi gitu?” tanyaku.“Dia udah gede. Ntar juga pulang kalau udah bosan kelayapan.”“Tapi, adikkmu lagi hamil, loh. Gak takut gitu kalau terj
Bukan berarti aku melupakan sepenuhnya tentang perkara sidang yang pada akhirnya tidak adil. Siapapun pasti merasa bahwa bebasnya Rey adalah jalur tikus agar pecundang itu bebas berkeliaran dan melukakan hal yang Rey inginkan semaunya.Rey adalah putra anak orang kaya, dengan uang apapun bisa dia beli termasuk hukum sekalipun. Kemudian, yang jadi korban dari jalur tikus itu tentu saja kalangan menengah ke bawah seperti Yus. Kakak yang jadi tulang punggung keluarga itu pada akhirnya mendekam di balik jeruji besi tanpa harapan untuk bebas.Aku memutar keran air, mencuci wajah lelahku di water sink meski sebenarnya lebih segar jika seluruh tubuhku kuguyur dengan air di bawah shower. Akan tetapi, aku harus menunggu giliran sampai Erika selesai. Kututup keran air dan mengelap wajah dengan baju yang kukenakan kemudian melenggang ke kamar. Rebahan di atas kasur yang empuk. Lampu kamar pun meremang, mata yang sudah setengah mengantuk
Mata kami beradu tatap. Gadis ini benar-benar tidak mengerti yang sebenarnya terjadi sehingga kakaknya di penjara.“Kamu menuduh kakakku membakar kedai, tidur di penjara dan membuat kami terlantar.” Tina menambahkan.“Coba tenang, Tina. Minum dulu biar pikiranmu jernih.” Aku mempersilakan. Tina tidak menuruti perintahku. Alih-alih minum teh di depannya, titik bening mulai menyembul dari ujung matanya. Terisak lalu berkata dnegan lirih.“Aku mohon, bebaskan kakakku!” ucapnya lirih.“Aku udah bilang, aku gak bisa jaminkan apapun tentang kebebasan kakakmu. Dia juga di penjara karena kesalahannya.” Aku mengulang kalimat sebelumnya dengan sedikit penambahan.“Jika kamu ada keluhan selain membebaskan kakakmu, aku akan mendengarkan. Kamu gak ngerti duduk perkaranya seperti apa, kan?” Aku menelan ludah, mengambil jeda. Menghadapi gadis labil yang
“Ngapain lagi kamu datang ke sini, Rey?” bentak Erika.“Hanya kangen kamu aja. Soalnya lama gak ketemu.”“Udah ngebakar kedai mi ayam milik Pras, bebas karena uang lalu pergi sama adikku. Apa kamu belum puas juga ngehancurin semuanya?” cecar Erika.“Udahlah, Erika. Aku tahu kamu masih sayang aku. Seenggaknya kasi pelukan, kek!” protes Rey. Suara langkah kaki mendekat. Sepertinya Rey memecah jaraknya dengan Erika. Hatiku mulai berdegup kencang seiring dengan aliran darahku yang cepat memicu detak jantung. Si Brengsek itu, datang dengan santainya ke sini.“Ayolah, kita bersenang-senang. Hahaha!” Terdengar Rey sedikit memaksa.“Apa yang kamu lakukan? Lepasin, Rey!” Takut terjadi sesuatu terhadap Bu Manajer, aku membuka pintu dengan kasar. Bibir Rey yang sedikit lagi nyaris menempel pada bibir lembut Erika membuatku te
“Tina, kamu masih di sini?” Aku memandang wajahnya lurus-lurus. Pertanyaanku dijawabnya hanya dengan anggukan kecil.“Sampai siang ini?”“Iya. Kakak belum bayar teh hangat di kantin tadi pagi. Jadi, tolong kembalikan uangku sebesar tiga ribu rupiah!” Dia menengadahkan tangan.“Hanya perkara teh hangat kamu sampai nungguin aku hingga siang begini?” Aku merogoh saku celana belakang, membuka dan mencari uang pecahan tiga ribuan. Sial, hanya ada uang lima puluh ribuan yang harus aku relakan demi mengganti uang the hangat tadi pagi.“Kembalian!” Tangan Tina langsung menyambar kertas warna biru bergambar pahlawan itu kemudian berkata, “Tidak punya.”“A … apa?” Tina melipat uang itu kemudian memerosostkannya ke dalam kantong seragam.“Ikut aku!” pintanya.“Kemana?”
Kami tiba di rumah saat langit sudah menggelap karena beberapa persiapan untuk rapat direksi besok. Meski pekerjaanku tidak banyak dan hanya sekedar menyiapkan presentasi, aku merasa spesial. Spesial sebagai asisten istriku sendiri.“Dwi kayaknya gak di rumah.” Aku menerka sembari mendongak. Erika yang melepas sepatu tampaknya tidak peduli dengan hal itu, dia bahkan tidak menggubris. Hanya melenggang ke belakang konter dapur. Aku juga menyusulnya untuk menyegarkan tenggorokan yang kering setelah makan ayam goreng di pinggir jalan tanpa minum karena Erika minta buru-buru pulang.Aku menuang air dari ketel setelah mengintip ke dalam kulkas dan tidak mendapati air dingin yang tersisa. Meneguk hingga tandas zat menyegarkan itu dari dalam gelas kaca. Puas, aku meletakkan gelas kosong di water sink.“Omong-omong, sepertinya kamu gak banyak ngobrol dengan Dwi akhir-akhir ini ya,” komentarku. E
“Dwi belum pulang?” tanya Erika lemas, ditiupnya cairan di dalam cangkir itu. “Belum.” Aku menggeleng. “Dua hari ini anak itu kelayapan sampai malam,” komentarnya kemudian menyesap teh di dalam cangkir. “Sebenarnya kamu mengkhawatirkan Dwi, kan?” Erika nyaris tersedak, entah karena teh yang masih panas atau mendengar pertanyaanku. Sejurus kemudian, dia mengelap bibir yang belepotan dengan lengan baju. “Sebaiknya kamu tidur, biar aku yang nungguin Dwi.” Aku mengambil cangkir di tangan Erika, meletakkannya di atas meja rias. Membaringkan tubuh istriku kemudian menutupinya dengan selimut. “Selamat istirahat, Sa-, maksudku Kak.” Membiarkan Erika beristirahat dengan harapan besok dia kembali fit untuk rapat direksi, aku meninggalkannya ke ruang tamu dan berbaring di sofa. Kulirik jam dinding yang sudah menunjuk angka sembilan kurang lima belas menit. Dwi tak kunjung pulang.