Share

Menikahi Suami Palsu
Menikahi Suami Palsu
Penulis: Ry-santi

Bab 1

"Mau jadi apa kamu Wen kalau umur segitu belum menikah?"

"Yang lainnya udah punya anak SD, masa kamu masih ngurusi kerjaan terus? Nanti kalau enggak bisa hamil, baru tahu rasa!"

"Punya anak itu biar ada yang merawat kita saat tua kan? Kamu ini malah aneh, enggak mau nikah, punya anak pun juga kayak ragu-ragu gitu."

Kalimat-kalimat tersebut rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari Wendy setiap kali menerima panggilan dari Suwarni--ibunya di Yogyakarta. Alih-alih menanyai kabar kalau anak tertua mereka tengah merantau di Pulau Dewata, justru mengulang-ulang permintaan yang sama sekali belum terlintas dalam benak Wendy. Seakan-akan menikah dan punya anak hanyalah tujuan hidup perempuan di dunia. Namun, tujuan itu tidak diimbangi dengan kesamaan visi dan misi pasangan suami-istri, malah memantik api yang membuat rumah tangga mereka dibakar masalah demi masalah. Alhasil, perceraian dan KDRT makin marak terjadi. Tidak salah juga kan Wendy berpikir seratus kali ketika menyerahkan hidupnya kepada lelaki?

"Kowe dikandani wong tuwo senengane ngeyel to. Ibumu ngomong ngene ben uripmu penak sesok, Nduk!" omel Suwarni saat Wendy masih berpegang teguh pada pendirian.

(Kamu dibilangi orang tua kok sukanya membantah. Ibumu ngomong gini biar hidupmu enak besok, Nak!)

"Penak niku nek kulo isok urip tentrem, tandang gawe dewe, ora mung ngurusi bojo karo anak nang omah to, Bu," balas Wendy. 

(Enak itu kalau aku bisa hidup tentram, kerja sendiri, enggak cuma mengurus suami dan anak di rumah kan, Bu)

"Halah, mboh!" sembur Suwarni langsung memutuskan sambungan telepon. 

Wendy bertanya-tanya, mengapa orang-orang di sekelilingnya masih menganut paham patriarki dan membatasi ruang gerak perempuan. Selalu melontarkan kata-kata pedas agar Wendy sadar hakikat dirinya itu hanyalah untuk melayani suami juga anak. Perempuan tak patut mengenyam pendidikan tinggi ataupun memiliki karier cemerlang bak bintang di langit. Mereka berkelakar kalau perempuan semestinya di rumah, mengurus rumah tangga, menyambut suami, dan menjadi guru bagi anak. 

Bukankah kami lebih mirip pembantu? Kenapa harus dibebankan kepada perempuan bukan laki-laki?

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika menetap di Yogyakarta dan harus mendengar setiap keluhan yang dilontarkan sang ibu. Melalui telepon saja, telinga Wendy memerah menangkap kata demi kata Suwarni yang begitu menginginkan putri sulungnya segera bersuami sebagai cita-cita sebelum meninggal dunia. Sebuah alasan klise yang membuat anak-anak merelakan kehidupan mereka kepada orang lain, pikir Wendy. 

"Kapan aku bisa menikah dengan tema seperti ini? Jadi pengen," celetuk salah satu anak commis--juru masak--bernama Astrid membuyarkan lamunan Wendy. Gadis itu baru saja selesai melakukan finishing di atas cupcakes keunguan dilanjut menaburinya dengan sprinkle. 

"Halah!" seru Wendy mengibaskan tangan. "Nikah kok buat menambal rasa pengen. Nanti kalau enggak sesuai ekspektasi nangis," cibirnya gemas.

"Tapi, menikah itu biar enggak lama-lama jomblo, Mbak. Mau ngapain juga sudah halal," balas Astrid memanyunkan mulut. 

"Pikiran kamu ih butuh dibersihin pakai kuas," ledek Wendy. "Kalau nikah cuma buat status, berarti kamu belum benar-benar paham arti menikah."

"Iya, iya ... Astrid kalah deh kalau adu debat sama Mbak," keluh Astrid. 

Yang lain justru tertawa, sebagian membenarkan ucapan Wendy yang kini mengecek kembali kue pertama berupa cheesecake berukuran kecil diperindah dengan rasberi dan juga bunga borage kebiruan. Melihatnya saja, orang akan dibawa ke hamparan bunga di musim panas. Wendy bisa merasakan hal tersebut sampai bibirnya tak berhenti tersenyum menatapi hasil pekerjaan tim juga kreasi desain hidangan penutup yang sengaja dibuat khusus untuk pesta pernikahan anak konglomerat.

Sebagai pastry chef, tidak hanya makanan utama yang bisa membuat hati bersuka cita, tapi berlaku pada makanan penutup sebagai pendamping teman bicara juga pemersatu tamu yang berkumpul di aula VIP hotel D'amore Nusa Dua. Dia tak sabar menanti beragam komentar dari tamu undangan juga pemilik acara yang sudah menyewa jasanya untuk menunjukkan bakat dalam membuat kue. Jujur saja, butuh waktu untuk mendiskusikan kue dan hidangan sesuai keinginan si pemilik hajat termasuk bagaimana dekorasi yang disukai. Wendy sampai mengobrak-abrik catatan-catatan resep buatannya sendiri semasa pelatihan di Yogyakarta.

Yang paling penting di antara kue-kue mungil itu adalah sebuah mahakarya berupa kue pernikahan setinggi satu meter setengah yang tampak mewah berwarna ungu agak gelap. Di puncak ada cokelat dilapisi emas berbentuk siluet pengantin pria dan wanita tengah berciuman, sementara semakin ke bawah hiasan bunga mawar keemasan menambah kesan betapa glamornya acara sakral mereka. Dia membayangkan pasti wedding cake miliknya juga turut menjadi atensi.

"Hati-hati," titah Wendy kepada pramusaji yang mendorong troli itu sebelum acara pemotongan kue sebagai simbol pengikat bawah mereka yang sedang berbahagia sudah resmi menjadi suami-istri.

Bibirnya tak berhenti mengembang begitu bangga atas pencapaiannya malam ini. Meski bukan pertama kali, tapi setiap acara yang diselenggarakan hotel selalu memiliki kesan di hati Wendy. Ah, kecuali pernikahan. Dia harus memberi garis tebal di bawah kata itu bahwa tidak selamanya menikah akan terus bahagia seperti saat pesta. Banyak dari teman-teman semasa sekolah atau anak tetangga Wendy yang harus berpisah di tengah jalan karena berbagai alasan. Salah satunya yang paling konyol menurut Wendy adalah ketidakcocokan.

Dia menggeleng keheranan kalau mendengar curahan hati temannya. Kalau tidak cocok kenapa harus diikat dalam janji suci? Tidakkah hal itu membuang waktu dan pikiran? Belum lagi kalau ada anak, perebutan hak asuh, perebutan harta gono-gini, serta cemoohan netizen maha benar seolah paling tahu apa yang terbaik.

Maka dari itu, Wendy memilih menjadi single bahagia, aman, sentosa, dan sejahtera. Tidak perlulah dia bersusah payah menyenangkan hati orang lain, menghibur diri sendiri saat sedang patah hati, atau harus memberi kabar seharian penuh. Dia juga bisa bebas melakukan apa saja dan di mana saja tanpa dikekang pasangan atau ditangisi anak.

"Menikah itu awal bencana," gumamnya menerawang jauh kerumunan orang-orang lalu lalang di dapur. "Cuma orang hebat yang bisa bertahan di sana."

###

Usai perhelatan besar yang menguras tenaga sekaligus menyiapkan bahan-bahan untuk esok pagi, Wendy baru bisa pulang saat jam sudah menunjukkan pukul enam malam. Badannya terasa pegal-pegal ingin sekali pijat spa sembari menikmati senja. Mungkin itu rencana bagus di akhir pekan ini, Wendy segera mencatatnya dalam catatan di ponsel terkait apa saja yang harus dilakukan nanti. Tapi untuk saat ini mandi air hangat lalu tidur lebih awal dirasa lebih menarik.

Dia tak sabar menunggu weekend yang dianggap bermakna sebelum disibukkan dengan kegiatan di hari Senin bersama banquet event order atau daftar pesanan tamu. Dia bisa bersepeda di sekitar Jimbaran, pergi ke pasar untuk bertemu penjual langganannya, atau pergi ke Nusa Dua untuk melihat pantai-pantai sampai duduk menikmati semilir angin seorang diri.

Ya, tanpa pasangan.

Bukan hal yang buruk kan?

Seraya menyeret kaki keluar area restoran, ponsel Wendy tiba-tiba berdering. Dia mencebik melihat nama kontak 'Ibu' berada di sana. Lagi. Cukup lama dia memerhatikan layar ponsel supaya panggil tersebut segera berakhir dan berharap ibunya berpikir kalau Wendy masih sibuk bekerja. Entah apa lagi yang akan dibahas Suwarni jika Wendy menjawab panggilan yang terlihat mendesak itu. Ah! Sepertinya Suwarni terlalu keras kepala untuk mengakhiri telepon bahkan sebelum mendengar suara anaknya, gerutu Wendy dalam hati. Dia menarik napas panjang untuk mengembalikan sisa-sisa mood  sebelum menjawab panggilan itu kemudian mengembangkan bibir dan berkata,

"Iya, Bu?"

"Wen, kamu sudah pulang?" tanya Suwarni.

"Ini barusan selesai dan mau pulang. Ada apa, Bu?"

"Piye? Ini loh anaknya Mbok Lastri barusan melahirkan, terus anak keduanya yang sebaya sama kamu besok mau akad," jelas Suwarni memberikan kode agar putri bungsunya segera mengakhiri masa lajang.

Bola mata Wendy memutar, memang ada keistimewaan apa sih sampai ibunya ngebet menikahkannya? Apakah pencapaian tertinggi seorang perempuan harus menikah dan punya anak? Bukan karier cemerlang yang sudah digenggam Wendy saat ini? Dia mendengus sambil menggerutu pelan, lalu mengembuskan napas melalui mulut agar ucapan Suwarni tak langsung masuk ke dalam dada. Sebelah tangannya mengacak rambut seraya menekan lift menuju lantai paling bawah hotel.

"Ha-halo ... Bu ... sinyalnya ... Bu..." kata Wendy berpura-pura tidak mendapatkan sinyal. "Bu ... halo ... halo ..." lalu dia mematikan jaringan telepon ke mode pesawat dan bersandar ke dinding lift sambil berpikir alasan apa lagi yang harus dibuat untuk menghindari telepon Suwarni. Kalau sampai dia mendengar cerita ibunya lagi tentang anak-anak tetangga yang sudah menikah, maka siap-siap Wendy meminta pertolongan THT agar dibuatkan alat bantu dengar supaya telinganya tahan menampung semua keluhan Suwarni.

Emang kalau engak menikah itu dosa? Ibu pemaksa banget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status