Share

4. Kenangan

Azhar POV

Perusahaan ini kini resmi menjadi milikku setelah aku membelinya dari ayah mertuaku sendiri. Aku dulu hanyalah seorang karyawan yang dibayar diperusahaan induk di Jakarta. Namun kini perusahaan ini sudah berlepas diri dan menjadi milikku.

Aku berusaha merubah pola manajemen yang berlaku selama ini, aku tak mau membeda-bedakan semua karyawan. Sebisa mungkin aku ingin menjadi sosok pemimpin yang ideal di perusahaanku.

Sore itu aku sengaja mengadakan pertemuan dengan para cleaning service setelah paginya aku mengadakan meeting dengan para karyawan perusahaan. Perusahaanku bergerak di bidang real estate.

Asisitenku datang melapor jika para cleaning service sudah berkumpul di atap gedung yang aku sulap sebagai tempat nongkrong yang indah, juga bisa digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter.

"Para petugas kebersihan sudah siap di lantai atas bos," Erwin melongokkan kepalanya di pintu.

Aku lalu bergegas keluar, dimana para manager dan asisten sudah menungguku di ujung tangga.

Nampak olehku petugas kebersihan yang berjumlah dua puluh enam orang berbaris dengan rapi sesuai aba-aba dari asisten personalia.

Kulihat gadis di bagian belakang seakan bersembunyi dan tak ingin melihatku. Makanya aku memintanya untuk maju kedepan. Namun lagi-lagi gadis yang kumaksud malah menyembunyikan dirinya. Aku jadi penasaran.

"Yang satu lagi maju."

Kulihat gadis itu berjalan kedepan sambil terus menunduk. Dan ketika dia mendongak aku terkejut, jika asistenku tidak segera menahan tanganku maka aku nyaris jatuh terjengkang.

Gadis yang kuceraikan lima tahun yang lalu kini berdiri tepat dihadapanku. Aku bahkan tak bisa berkata-kata sehingga tugasku memberi arahan diambil alih asistenku.

Hatiku tercabik saat melihat air mata gadis yang sangat kucintai menetes ke lantai. Rasanya aku ingin berlari memeluknya. Aku menangis di relung hatiku yang paling dalam, aku laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Aku meninggalkannya berjuang melahirkan buah hatiku yang aku bahkan tak tahu bagaimana wajah anakku saat lahir.

Ancaman ibuku yang hendak bunuh diri jika aku tak menikahi Alisha membuatku melakukan hal yang sangat bodoh. Aku terlalu pengecut sehingga aku hanya bisa menyuruh pengacara untuk pergi ke desanya.

Aku tahu dia membenciku, aku tak henti-hentinya menatap wanita yang pernah mengisi relung hati ini. Aku tahu Mita pura-pura tak melihatku.

Saat barisan itu bubar, aku sengaja meminta asistenku menyuruh Mita untuk keruanganku. Namun mantan isteriku itu bahkan tak menoleh sedikitpun padaku. Dia hanya mengangguk dan berlalu.

Aku menunggunya hampir sejam lamanya, tapi dia tak kunjung datang. Seharusnya aku sudah bisa menyadari jika Mita tak mungkin bersedia menemuiku.

Mita tak pernah tahu jika aku sebenarnya masih mencintainya. Aku harus membantunya agar tak lagi menjadi cleaning service, walau dia bukan sarjana tapi setidaknya aku ingin memberikan pekerjaan yang layak untuknya.

Pagi harinya aku berusaha datang lebih pagi agar bisa bertemu Mita. Asistenku sampai memandangku keheranan.

"Bos datang sepagi ini apa karena gadis itu ?"

"Pindahkan dia ke lantai tujuh khusus membersihkan ruanganku," perintahku tak bisa dibantah, kulihat asistenku hendak mengatakan sesuatu, namun saat melihat mataku melotot akhirnya dia diam dan segera keluar dari ruanganku.

Asistenku tahu apa yang harus dia lakukan, kulihat dari monitor di ruanganku jika dia segera masuk lift menuju ke lantai satu. Aku sudah tidak sabar ingin memeluk mantan isteriku ini. Sungguh aku sangat merindukannya.

Selang beberapa saat kemudian Erwin asistenku masuk ke ruanganku dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku yang sedang duduk dengan tidak sabar segea mendongak.

"Bagaimana ?" Tanyaku.

"Aku sudah memindahkannya seperti yang anda perintahkan, namun gadis itu tak ada di ruangannya," ucap Erwin.

"Maksudmu ?"

"Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia minta izin pulang, menurut temannya hari ini anaknya sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit"

"Apa ?!" Aku terkejut dan berdiri seketika.

Erwin menatapku dengan tidak percaya.

"Ada apa bos, dia hanyalah cleaning service," ucapan Erwin seakan menyadarkanku. Aku lalu duduk kembali dan mengatur nafasku senormal mungkin.

Apakah karena anakku dia harus rela menjadi cleaning service ? Oh Tuhan betapa berdosanya diriku yang tidak menafkahi anakku satu-satunya. Atau apakah dia sudah menikah ?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam benakku.

"Minta pada bagian personalia untuk membawa dokumen lamarannya ke ruanganku sekarang."

Erwin melotot, selain asistenku, dia sebenarnya adalah sahabat baikku. Aku bersahabat dengannya setelah perceraian itu terjadi, sehingga dia tidak tahu menahu perihal mantan isteriku.

"Bos, apakah kau tertarik padanya?" tanya Erwin penuh selidik. "Ingat nyonya Alisha bos, jika nyonya tau maka kau sama saja dengan mencelakai gadis itu," lanjut Erwin mengingatkan aku akan perangai isteriku.

Sekarang berbeda, dulu aku membiarkan Alisha berbuat sesuka hati karena ayahnya masih berkuasa. Sekarang aku adalah penguasa itu.

"Lakukan perintahku," bentakku.

"Bukankah kau hanya tinggal menekan interkom langsung ke ruang personalia?" Erwin terlihat mencibir.

Tanpa pikir panjang aku segera menekan interkom.

"Bawa dokumen lamaran Mita Ariendy ke ruanganku."

Aku tak perduli dengan apa yang ada di benak mereka semua. Kutatap wajah penuh tanya asistenku.

"Apa karena dia cantik?" Tanya Erwin lalu menggeser kursi di hadapanku untuk didudukinya.

"Ceritanya panjang, suatu saat kau akan mengerti. Sekarang aku menugaskanmu ke desa Sukamaju, antarkan cek ini dan berikan pada Mita," aku mengambil cek kosong dan menandatanganinya.

Erwin tak banyak tanya, dia mengambil cek yang kusodorkan dan segera berdiri meninggalkan ruanganku. Erwin asisten yang bisa kuandalkan, dia tahu apa yang harus dia lakukan.

Sepeninggal Erwin, manager personalia masuk ke ruanganku membawa dokumen yang kuminta.

Aku segera meraih dokumen itu lalu membacanya. Aku menarik nafas lega, ternyata Mita sampai detik ini masih berstatus single.

Kusodorkan kembali dokumen itu pada manager.

"Mulai besok dia membersihkan ruanganku saja."

Manager personalia mengangguk dan pamit meninggalkan ruanganku.

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan pena yang berada di tanganku. Aku harus memikirkan cara untuk merebut hati Mita kembali. Aku sadar jika saat ini dia membenciku, aku memang tidak patut untuk dimaafkan. Tapi andai saja dia tahu apa yang terjadi sebenarnya ?! Masihkah dia membenciku ? Apakah dia bersedia jika aku memintanya untuk menjadi isteriku lagi ?

Kesalahan terbesarku karena aku saat itu masih sangat lemah. Aku pengecut, ibuku mengancam akan bunuh diri jika aku kembali lagi ke desa itu. Ibuku bahkan tak mengizinkan aku walau hanya sekedar mengucapkan kata perpisahan.

"Mama akan melompat ke laut jika kau tidak menuruti apa yang mama mau."

"Tapi ma, Mita itu isteriku," aku masih melakukan pembelaan saat itu.

"Apa kau sadar ? Kita hidup miskin begini karena kau menolak lamaran tuan Permana. Apa kau mau kita semua jadi gelandangan ? Pokoknya mama tak mau tahu. Ceraikan gadis itu hari ini juga. Titik !" Ultimatum mama saat itu memang tak pakai koma, sampai akhirnya aku harus merelakan hatiku dalam belenggu kehampaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status