Pagi hari, Melani bangun dengan tidak bersemangat. Rambutnya acak-acakan, dan dia kesiangan. Dilihatnya tempat tidur di sebelahnya telah kosong. "Ibu! Di mana Nafisa?" Melani berteriak sambil berlari keluar kamar dan menuju kamar sebelah. Dia melihat tempat tidur di kamar itu juga kosong. Melani kembali berlari menuju ruang makan. Dia melihat Namira sedang menikmati sarapan bersama Bonita di sana. "Di mana Nafisa, Bu?" tanya Melani sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Lea sedang mengantarnya sekolah. Lagian tidak biasanya kamu bangun kesiangan?" Namira menatap Melani menyelidik. "Apa terjadi sesuatu?" tanya Namira. "Ibu, dia memang tidak becus mengurus diri sendiri. Bagaimana dia bisa mengurus Nafisa, jika mengurus diri sendiri saja tidak bisa?" ejek Bonita seraya melirik sinis Melani. "Itu sebabnya Kak Johan ngotot mau mendapatkan hak asuh Nafisa," lanjutnya tersenyum sinis. "Bonita! Jagalah ucapanmu. Kamu juga akan menjadi seorang ibu," ujar Namira tegas. "Duduklah, Mel
Melani menatap punggung Bonita yang berjalan menjauh. Dia masih memikirkan kata-kata Bonita barusan. Gadis itu terlihat sangat marah hingga mengancamnya. Gadis yang nekat, entah apa yang akan dia lakukan pada Melani. Melani melirik Johan dan menatapnya penuh amarah. "Jika sudah tidak ada yang dibicarakan, sebaiknya kamu pergi," ucapnya pada Johan. "Aku tidak akan pergi tanpamu, Sayang. Suami istri harus selalu tinggal bersama," ucap Johan tersenyum genit. "Bukankah kata-kataku benar, Ibu?" lanjutnya menatap Namira. "Jangan dengarkan dia, Bu. Dia sudah gila semenjak mendengar Bonita hamil anaknya," ucap Melani asal. "Kenapa kamu begitu sinis kepadaku, Sayang? Apakah itu karena kamu merindukanku?" goda Johan seraya mencolek dagu lancip Melani. "Jangan kurang ajar!" Melani memalingkan muka, menghindari tangan Johan. Dia berdiri dan berpindah ke tempat duduk Bonita. "Kamu harus ingat, kita sudah bercerai, Mas. Jangan menyentuhku sembarangan!" ketusnya. Namira yang dari tadi diam, su
"Kalian mau membawaku ke mana?" Melani mengulangi pertanyaannya pada Lea dan Hera. Sekarang dia sudah duduk di jok belakang mobil volkswagen beetle. Lea melajukan mobil kencang meninggalkan rumah istana milik Deon.Volkswagen beetle warna kuning itu berhenti di sebuah pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota Jakarta. "Masuklah, Nona! Ini adalah salah satu mall milik Tuan Deon. Kami akan membantu Anda memilih pakaian untuk acara nanti malam," ujar Lea. Dia membuka sabuk pengaman dan segera menuruni mobil."Acara? Memangnya ada acara apa nanti malam?" Melani melirik Lea dan Hera bergantian."Ayo turun dulu, Nona! Ini perintah Tuan Deon." Hera membuka pintu mobil dan mempersilakan Melani untuk turun.Lea dan Hera membawa Melani ke salah satu butik paling mahal di dalam pusat perbelanjaan tersebut. Butik yang menyediakan pakaian limited edition rancangan desainer ternama. Melani sampai tidak bisa berkedip melihat koleksi pakaian yang semuanya tampak begitu elegan."Kurasa aku tidak
“Tuan Deon?” Lea dan Hera segera mengengguk hormat pada lelaki tampan yang sedang berdiri menatap Melani tanpa berkedip.“Kalian telah melaksanakan tugas kalian dengan baik,” ucap Deon tanpa mengalihkan pandangannya dari Melani. “Sekarang lanjutkan tugas kalian,” titahnya tegas.“Baik, Tuan!” Lea dan Hera bergegas menarik lengan Melani dan membawanya keluar dari salon. Dengan sigap, Hera membuka pintu volkswagen beetle dan mempersilakan Melani untuk masuk. Sementara, Lea berlari kecil masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk menyetir.Melani menatap Lea dan Hera dengan dahi berkerut. “Sekarang, ke mana lagi kalian akan membawaku?” tanyanya heran. “Tidak bisakah membawaku pulang saja?” pintanya memelas.“Ayo, masuk saja, Nona. Nanti Anda akan mengerti.” Tanpa berikir panjang, Hera mendorong Melani masuk ke dalam mobil dan bergegas menutup pintu mobil itu.Volkswagen beetle warna kuning itu membawa Melani sampai di rumah Namira. Melani bergegas turun dan masuk ke dalam rumah, diikuti oleh
“Melamarku? Apa maksudmu?” Melani bertanya heran. Apa Bonita sudah mengetahui rencana Deon yang akan melamar Melani?“Aku akan dihantui rasa bersalah jika melihat Kak Melani terus sendirian setelah ditinggalkan Kak Johan. Kemarin, aku memasang foto Kakak di media sosial. Di luar dugaanku, banyak laki-laki yang tertarik untuk menikahi Kakak.” Bonita menjelaskan panjang lebar.“Apa katamu? Memasang fotoku di media sosial? Kenapa kamu lancang sekali, Bonita!” teriak Melani tidak terima. “Kamu pikir Kakak adalah barang dagangan yang fotonya bisa dipajang di media sosial sesuka hatimu?” Melani mendelik menatap Bonita penuh amarah. “Cepat hapus foto itu! Aku akan beristirahat di kamar dan tidak akan menemui laki-laki mana pun,” ucap Melani tegas. Dia melangkah hendak meninggalkan Bonita, tetapi, sebuah ketukan pintu membuat dia membalikkan badan ke arah pintu rumah itu.Seorang laki-laki besar berkulit sawo matang berdiri di depan pintu. Usia laki-laki itu tidak lagi muda. Mungkin seusia ay
"Siapapun yang menyakiti calon istriku akan berhadapan denganku." Deon menatap Mario dan Bonita bergantian. Tatapannya begitu tajam, seperti pedang yang telah diasah untuk menusuk tubuh musuh. Siapapun yang menyakiti Melani, akan menjadi musuh baginya.Mario tertawa kencang. "Heh, kau bocah ingusan! Lebih baik kau menyingkir sebelum aku menyingkirkanmu. Lepaskan wanita itu dari tanganmu. Dia akan menjadi istriku," ucap Mario penuh percaya diri.Deon masih memeluk erat Melani. Tidak akan dia biarkan Melani jatuh ke tangan tua bangka yang sok tampan itu. Dia menatap Mario seakan mengeluarkan api dari bela matanya. Api itu akan melahap habis Mario."Heh, apa kau tidak mendengarkanku? Lepaskan wanita itu. Hari ini aku akan bersenang-senang dengannya," ucap Mario dengan nada marah. Namun, menatap Melani membuat dia kembali tersenyum. Dia mendekat hendak menyentuh pipi Melani, tetapi Deon menepis kasar tangannya."Berani-beraninya kau menghalangiku! Apa kau tidak tau siapa aku, hah?" Mario
"Bukankah seharusnya kamu senang jika kakakmu akan menikah dengan laki-laki lain? Itu tandanya dia sudah bisa melupakan mantan sumaminya." Namira mengulangi pertnyaannya pada Bonita. "Pokoknya aku tidak setuju, Bu. Aku tidak setuju jika kakak menikah dengan laki-laki hidung belang tadi. Aku punya calon yang lebih baik untuk Kakak." Melani bersikukuh. "Kamu pikir kakakmu setuju saat kamu berhubungan dengan mantan suaminya?" Namira balik bertanya. Dia meletakkan barang belanjaan di atas meja, lalu menatap Bonita. "Jika kakakmu tidak pernah melarangmu untuk menikah dengan siapapun, bahkan kakakmu sudah merelakan mantan suaminya untukmu, apakah masih pantas kamu menghalangi hubungan kakakmu dengan laki-laki lain? Apa jangan-jangan kamu iri, karena Deon lebih kaya dari Johan?" Namira menyipitkan mata menatap Bonita. Pertanyaan Namira membuat Bonita bermuka masam. Dia berdecak kesal, lalu meninggalkan dapur menuju ruang tamu. "Kamu serius akan menikahi Kak Melani?" Bonita bertanya ketu
"Bagaimana jika pertemuan ini kita tunda dulu?" Melani memohon. Dia menatap Deon dengan memelas. Tidak siap bertemu dengan kedua orangtua Deon. Apalagi menurut cerita para rekan kerjanya, kedua orangtua Deon memiliki temperamen yang buruk. Mereka tidak ragu-ragu untuk memecat karyawan jika diketahui membuat kesalahan atau tidak becus dalam bekerja."Kamu mau aku menundanya? Tidak akan!" Deon menjawab tegas. "Sudah lama kedua orangtuaku ingin bertemu dengan calon istriku. Mereka akan menyukaimu," bujuknya pada Melani.Melani menghembuskan napas pasrah. Dia tidak bisa menolak keinginan tuannya."Satu lagi. Jangan panggil aku "tuan". Kamu adalah calon istriku, maka panggil aku sesuai dengan status hubungan kita," tegas Deon pada Melani."Dia benar, Melani. Menurutlah pada calon suamimu." Namira tersenyum seraya mengedipkan mata pada Melani."Baiklah." Melani berkata pasrah. Tidak ada pilihan lagi selain menuruti keinginan Deon. Lagi pula, semakin cepat mereka menikah, semakin baik pula u