Bab 16. “Itu ehm ... anu ... non Nindy pulang dalam keadaan mabuk berat,” ungkap Bi Sukma. Dan dalam sekejap, Mas Dimas murka. Dia menggebrak meja makan di hadapannya dengan tangan yang mengepal. Aku yakin, dia benar-benar marah karena mendengar kelakuan putri sulungnya tersebut.**“Jadi, di mana dia? Masih tidur sampai sekarang?” “I-iya Tuan,” jawab Bi Sukma. Wanita berusia 55 tahun itu mungkin saja syok melihat kemarahan Mas Dimas. Pasalnya, meskipun suamiku ini orang yang tegas, tetapi dia jarang sekali sampai murka seperti ini. Makanya, semua orang terkejut melihatnya menggebrak meja dengan keras, tak terkecuali putra dan putrinya.Demikian pula Riri, gadis remaja tersebut masih membelalakkan matanya sambil menatap tak berkedip ke arah Mas Dimas. Sedangkan Boby, sepintas dia tersentak meski tak lama kemudian, pemuda itu bisa menguasai diri kembali, bersikap acuh dan tak acuh.“Ya sudah, Mas. Kita lebih baik sarapan duluan. Kasihan Riri dan Boby, mereka pasti sudah hampir kesia
“Papi bukan mengusir. Kalian akan punya rumah sendiri. Ini keputusan terbaik, lagi pula Papi tak bisa membiarkan Kartika dan Danang satu atap yang sama. Apalagi, suamimu itu berani mengganggu Kartika di apartemen. Papi tak bisa membiarkan itu terjadi kedua kalinya,” lanjut Mas Azzam.Ucapan suamiku barusan membuat Nindy terperangah. Dia menoleh ke arah sang suami yang telah salah tingkah. Dalam hati aku bersorak riang dengan keputusan yang telah Mas Azzam berikan. Aku benar-benar tak menyangka dan sama terkejutnya seperti Nindy dan Danang.“Maksud Papi apa? Jangan fitnah Mas Danang. Mana mungkin Mas Danang menemui wanita ini. kalau bukan karena godaan dari Kartika, benar kan, Mas?” tuding Nindy padaku, sedangkan matanya berulang kali menoleh ke arah suaminya meminta penjelasan.“Katakan, Mas! Kamu digoda kan sama si Kartika ini? Jawab, Mas!” “Panggil ibu sambungmu ini dengan sopan. Dia istri Papi sekarang!” hardik Mas Azzam tak suka mendengarkan panggilan tak sopan putri sulungnya pa
“Bi, bisa minta tolong buatkan minuman dan camilan untuk aku dan Riri?”“Bisa Nyonya,” jawab Bi Sukma.Aku tersenyum seraya berkata, “Terima kasih, Bi. Nanti tolong antar semuanya ke teras depan, ya, Bi. Ah iya satu lagi. Pak Firman dan Pak Didin mungkin juga mau, buatkan juga untuk mereka,” pintaku kembali.Asisten rumah tangga rumah ini langsung mengangguk serta langsung melakukan yang kuminta. Sedangkan, aku menyusul Riri duduk di teras rumah sembari menikmati langit malam, pun menunggu Mas Azzam pulang. Hari ini, suamiku terpaksa pulang telat karena harus lembur dan rapat bulanan dengan beberapa pemegang saham.Saat keluar, ternyata anak bungsu Mas Azzam sedang tak sendiri. Dia mengobrol dengan beberapa pegawai rumah ini, termasuk sopir dan salah satu pekerja kebun. Aku tak menyangka, anak orang kaya sepertinya cukup akrab dengan rakyat jelata seperti dari kalangan kami.Dari semua anak tiriku, hanya Riri yang berbeda dan memang terlihat supel serta tak pernah tebang pilih. Dia pun
Bab 19.“Mas aku lihat hari ini Boby pulang tak biasa. Apa dia sedang ada masalah?” tanyaku kepada Mas Azzam.Suamiku ini baru saja merebahkan tubuhnya menemaniku di kasur. Tak lama setelah Boby pulang, Mas Azzam pun tiba. Dia terlihat begitu kelelahan, makanya aku segera menyuruhnya untuk mandi air hangat yang telah kusiapkan dan istirahat.Mas Azzam menunduk melihat wajahku karena kali ini posisiku berada di atas dadanya dengan suamiku memeluk dari belakang.“Tak biasa bagaimana maksudnya? Apa dia pulang larut lagi?”Aku mengangguk, “Iya, tapi bukan itu yang membuatku penasaran, Mas. Hari ini, aku melihat Boby pulang dengan keadaan terluka. Apa dia mengalami kecelakaan?” ungkapku sambil menerawang, mengingat-ingat kondisi anak sambungku tadi.Mendengar ucapanku, Mas Azzam hanya berdecap. Dia kembali menganjurkan napas dengan sangat berat.“Anak itu, sekali saja tak membuat masalah dan membuatku kesal. Dia susah sekali diberi tahu. Mas harus berbuat apa agar dia tak menyia-nyiakan wa
“Mema?” panggil Mas Azzam. Suamiku merangkul pinggang dan mengajakku untuk menemui wanita paruh baya yang baru kulihat ini.“Putraku. Gimana kabarmu sekarang?” Wanita itu memeluk suamiku dengan erat begitu pun sebaliknya, Mas Azzam juga mengecup pipi kiri dan kanan wanita yang dipanggil Mema tersebut. Tunggu! Apa yang kudengar barusan? Beliau memanggil Mas Azzam putraku? Jadi, ....“Baik, Ma. Kenapa tak mengabari kalau sudah sampai di kota ini. Siapa yang jemput? Oh iya, kenalkan ini menantu Mema, istri baruku,” ujar Mas Azzam memperkenalkanku kepada ibu kandungnya.“Iya, Sayang. Beliau ini mertuamu sekarang.” Mas Azzam membuyarkan lamunanku. Mendengarnya memperkenalkan kami, aku segera mencoba mencium tangan mertuaku. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Sebuah penolakan. Aku diabaikan oleh mertuaku sendiri. Wanita yang kudengar dipanggil Mema tersebut duduk tanpa melirik ke arahku sedikit pun serta mengabaikan tanganku yang hendak menyalaminya.Dari sudut mata, terlihat sekali Nindy
Aku menunggu dengan harap-harap cemas sambil menelisik ekspresi Mema ketika mencicipi masakanku untuk yang pertama kalinya. Aku yakin, menu hari ini yang kubuat rasanya tak ada yang salah. Akan tetapi, kenapa Mema sampai sekarang tak menunjukkan ekspresi apa pun? Berbeda dengan Mas Azzam dan Riri, mereka makan dengan lahap. Begitu pun, Boby dan Mas Danang. Kulihat diam-diam mereka menikmati hidangan yang kubuat. Terutama Boby, aku jarang melihat dia makan dengan berselera seperti sekarang. Biasanya, pemuda ini tipe pemilih di meja makan. Jika, rasanya tak sesuai selera, Boby akan memilih makan roti dan selai saja beserta satu gelas susu untuk makan. Itulah yang kesimpulan dari pengamatanku selama seminggu di rumah ini.Aku memang diam-diam merekam dalam ingatan kebiasaan semua orang dan mencari tahu apa yang disukai dan tidak penghuni rumah ini.Hanya Nindy yang makan dengan malas. Kurasa bukan karena tak cocok dengan hidangan yang telah kusiapkan, tetapi dia memang tak suka saja seca
“Mema?”“Sedang apa kamu di sini? Siapa kakek dan anak kecil barusan?” tanya Mema menyelidik, tetapi masih dengan mimik wajah yang dingin. Entahlah, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mertuaku sekarang.“Ah itu, Mema. Dia seorang pemulung yang sempat pingsan di depan rumah sambil memungut nasi basi di tong sampah. Kasihan sekali. Mereka kelaparan. Makanya, aku sengaja memberikan sedikit uangku. Semoga saja itu membantu meringankan kesulitan keduanya untuk beberapa hari ke depan,” gumamku lirih sambil menunduk dengan tangan yang bertautan.“Ikut aku. Ada sesuatu yang harus aku katakan,” ajaknya.“Iya, Mema.” Aku mengangguk serta mengikuti ibu kandung Mas Azzam tersebut. Tak disangka, beliau mengajakku untuk bergabung dengan para anggota keluarga yang sudah berkumpul di ruang keluarga. Tak terkecuali Mas Azzam. Dia sudah duduk manis beserta yang lain.Mema menyuruhku duduk di samping putranya. Sedangkan beliau, menghempaskan tubuh di sofa tunggal yang biasa Mas Azzam tempati.“Mema
Bab 23.“Masalah apa lagi yang kamu perbuat? Apa kau ingin mempermalukan keluarga ini, hah?” sembur Mas Azzam kepada Boby. Sedangkan, putra satu-satunya itu berpura-pura tetap cuek, tetapi itu sama sekali tak menutupi rasa khawatir di wajahnya.“Jangan hanya diam saja! Bicara!” Kemarahan serta kekecewaan terhadap sang putra belum surut juga. Bahkan, malah semakin bertambah seiring sikap Boby yang seperti tak mendengarkan ucapan papinya. Aku, Mas Azzam serta Boby saat ini tengah berada di dalam satu mobil menuju arah pulang. Terpaksa. Tak mungkin juga kami membiarkan polisi datang mencari Boby ke hotel tempat pesta resepsi diadakan. Apalagi, mengingat banyaknya tamu yang hadir dan bukan orang sembarangan. Bisa-bisa, nama baik keluarga suamiku akan tercoreng.“Sudahlah, Pi. Jangan memperbesar keadaan. Papi tinggal hubungi pengacara mahal, kalau perlu berikan ganti rugi kepada orang yang melaporkanku. Atau, sogok petugas polisi agar tak menahanku. Simple bukan? Bukankah harta Papi sang