"Aku akan pulang sebentar menyiapkan sebuah kamar untuk Amel," balasku."Bukankah semalam Mbak sempat berkirim pesan denganku akan membawa Yoga juga. Nah, sekarang mana Yoganya?" tanya Andin sambil melihat ke dalam mobil.Aku hanya tersenyum lalu melihat pada Amel yang sudah masuk lebih dulu bersama Dahlia. Aku akhirnya kembali memandang Andin untuk menjawab pertanyaannya."Yoga tidak mau ikut, Ndin. Karena dia sudah kelas lima, akan sulit jika pindah sekolah," paparku.Andin mengangguk paham. Kemudian dia pun berbalik badan menuju ke dalam toko. Sedangkan aku kembali ke bagasi mobil untuk memberesi semua barang Amel selama ada di rumah sakit. Dengan dibantu oleh Jupri semua barang sudah aku pindahkan ke dalam rumah."Sekali lagi terima kasih ya, Jup. Tanpa bantuan kamu pasti akan susah aku temukan putriku itu," ungkapku sendu."Sama-sama, Ann. Jika suatu saat kamu perlu bantuanku lagi hubungi saja, aku selalu ada untukmu!" ucap Jupri terlihat tulus.Aku hanya tersenyum, lelaki ini en
Akhirnya Bi Ijah mau kembali bekerja padaku, sejujurnya Bi Ijah bagiku seperti ibu kandung. Karena beliau sudah lama ikut bekerja dengan ibuku dan kebetulan semua anaknya telah mapan. Hanya selama hidup Bi Ijah tidak mau merepotkan kedua anaknya yang sudah duduk di bawah meja pemerintahan.Setiap aku tanya, Bi Ijah selalu berkata biarlah mereka berkembang dengan sendirinya, Non. Nanti ada masanya mereka akan mencari saya. Selalu seperti itu jawabnya. Aku sangat kasian dengan nasibnya. Hanya karena harta dan tahta mereka melupakan ibu yang telah membanting tulang demi pendidikan mereka. Kini setelah sukses ibu itu tidak diakui oleh keduanya. Sungguh miris nasih Bi Ijah.Setelah aku memastikan bahwa Bi Ijah akan pulang kembali ke Madiun esok hari, aku segera menata ruang tamu agar bisa ditempati oleh Bi Ijah sementara waktu. Aku harus segera mencari rumah yang cukup besar agar semua anggota keluarga bisa berkumpul menjadi satu. Mungkin nanti akan aku bicarakan berdua dengan Andin."Ah,
Benar saja, ketika kami sudah hampir selesai membereskan toko, sebuah mobil yang sangat aku kenali datang ke toko rotiku. Aku langsung keluar diikuti oleh Andin, Jupri, dan Damar. Ku tantang pasangan suami istri yang sudah menghancurkan kehidupanku ini. Aku tidak takut pada mereka. Mereka ibaratnya debu yang menempel di sepatuku."Ada apa kalian datang ke mari?" tanyaku dengan suara menantang.Jasen nampak ciut ketika melihat Jupri ada di belakangku. Namun, Rowena maju dengan percaya dirinya dan seolah dia wanita yang paling benar sedunia. Aku menatap tingkah mereka yang sok-sok an ini."Apa kalian ada perlu denganku?" tanyaku lagi dengan tangan bersedekap di dada."Aku hanya ingin mengambil Amel darimu, Ann," ucap Jasen tanpa malu.Aku melengos, tersenyum sinis ke arah mereka berdua yang sudah ku anggap musuhku, "Cih! Atas hak apa kau ingin mengambil Amel dari tangan ibu kandungnya?" ujarku masih dengan nada sinis."Ann, aku ayahnya!" Hemtak Jasen."Aku tahu! Aku tahu kau ayahnya! Ta
Aku terdiam mendengar perkataan Jupri, apa maksudnya? Tanggung jawab? Ah, mungkin saja ia mengatakan itu hanya untuk mengelabui Jasen agar tak menggangguku dan Amel lagi.Ku lihat wajah Jasen nampak merah padam menahan emosi. Ia melihat ke arahku dan Amel yang menenggelamkan wajahnya di pelukan karena takut. Aku memeluknya terus dengan erat. Tak akan ku biarkan orang-orang ini menyentuhnya, sehelai rambut pun tak akan.Rowena kali ini yang maju, dia menarik lengan Jasen, "Ayo kita pergi saja, percuma, dia tidak akan mengijinkan kita untuk membawa Amel."Rowena terus menarik lengan Jasen agar cepat pergi dari halaman toko rotiku. Akhirnya Jasen pun kembali ke mobilnya bersama Rowena, tetapi sebelum masuk ke dalam mobil, Jasen sempat mengatakan, "Aku akan kembali untuk mengambil anakku, Ann!"Aku hanya terdiam dengan memalingkan wajahku tanpa menjawab ucapan dari Jasen. Mobil itu pun pergi melaju dengan kencang. Setidaknya kini aku bisa bernapas lega karena pasangan itu sudah pergi.Ak
"Apa yang ingin Mbak bicarakan denganku?" tanya Andin."Mbak ingin memanggil Bi Ijah asisten rumah tangga ibuku dulu, apakah kamu ingat?" tanyaku pada Andin.Andin terdiam sesaat, kemudian senyumnya mengembang. Mungkin gadis itu mulai ingat akan Bi Ijah. Sementara kulihat Amel berlari menuju ke arahku."Bunda! Benarkah Bi Ijah akan diundang kemari? Itu tandanya setiap hari aku akan berjumpa dengan bibi dong, Bunda!" tanya Amel."Iya, Sayang," balasku.Amel melompat kegirangan mendengar semua informasiku, lalu dia pun memelukku penuh hangat. Kemudian kubawa dia dalam pelukanku. Lalu Andin berdiri dari duduknya dan pamit undur diri untuk istirahat."Mbak, besok jika Bi Ijah akan sampai di terminal Madiun segera chat aku ya, agar aku bisa jemput beliau," ucap Andin."Baik, nanti akan mbak kabari lagi pastinya. Sebaiknya kita istirahat, hari sudah menjelang malam!" ucapku.Akhirnya aku dan Amel pun masuk ke kamar untuk mengistirahatkan badan. Malam ini adalah malam pertama aku tidur bersa
"Iya, benar apa yang dikatakan oleh Mbak Ann itu, Bi Ijah. Maka mulai hari ini kami akan memanggil dengan sebutan Emak saja atau Bibi. Bagaimana, Mbak?" balas Andin."Nah iya benar!" jawabku."Tetapi ini tidak baik lho, Nyonya!" kekeh Bi Ijah.Aku dan Andin sepakat menggelengkan kepala, kemudian tiba-tiba Andin menjerit. Gadis itu ingat bila Dahlian harus masuk lebih pagi karena dia ada tugas piket kelas. Gegas Andin berlari masuk kamarnya guna membangunkan Dahlia. Tetapi yang akan dibangunkan justru dengan santainya sudah keluar dari kamar dengan pakaian sekolah lengkap.Andin tersenyum puas melihat kecekatan sang adiknya, tetapi Andin masih bimbang. Dia seperti ingin mengutarakan sesuatu. Aku berusaha membuatnya nyaman. Lalu kudekati dia."Ada apa, Ndin?" tanyaku."Mbak, sudahkah menghubungi Mas Frans? Dia berpesan pada HP toko agar segera memberitahukan informasi terkini mengenai Amel. Maafkan aku, Mbak!" ungkap Andin."Ah, kamu benar, Ndin," kataku.Segera kuraih pinselku yang mas
Kugelengkan kepalaku dan kujawab aku tidak tahu pasti, dan Frans bisa langsung menanyakannya pada Amel saat mereka berdua nanti bertemu, karena saat ini Amel masih tidur dan belum bangun. Frans mengangguk, dia pun menanyakan kenapa toko rotiku tutup dan kenapa kami membagi- bagikan roti dan kue yang biasa kami jual.Kujelaskan padanya bahwa ada yang telah dengan sengaja mengacak- acak toko rotiku, sehingga hampir seperempat barang daganganku rusak, menyebabkan kami tidak bisa lanjut membuka toko karena dua kaca display yang ada di toko pecah sehingga tidak bisa dipakai.Fans terperanjat mendengar ceritaku dan bertanya siapa yang telah begitu tega menghancurkan usahaku. Aku yang tidak mempunyai jawabannya hanya mampu mengedikkan bahu saja."Hh, bersabarlah, Ann. Tuhan pasti akan memberikan balasan kepada orang- orang yang telah merusak dan menghancurkan toko rotimu. Benar- benar manusia tidak punya hati!" umpat Frans, kentara sekali nada kesal di dalam nada suaranya."Silakan, Nyonya,
Aku tercenung mendengar perkataan Frans. Di dalam hati, aku membenarkan penjelasan Frans padaku barusan. "Ya, Frans. Aku tidak akan membatasi pertemanan antara Amel dan Dahlia, lagipula Andin dan Dahlia sudah kuanggap sebagai keluargaku, seperti aku memperlakukan Bi Ijah, Damar, Jupri, Jafar dan yang lainnya," kataku pada Frans.Frans mengangguk setuju kemudian pria yang berusia lebih muda dua tahun dariku itu mengajakku untuk membicarakan masalah kesehatan Amel. Mendengar hal itu, aku pun mengajaknya masuk ke ruangan kerjaku dimana aku mengawasi mengerjakan laporan keuangan toko."Jadi, bagaimana kesimpulanmu setelah mendengar cerita Amel saat dia terpisah dan berusaha mengejar bus yang tidak sengaja meninggalkannya seorang diri, Frans?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu."Hmm, ya, dia memang sempat kelaparan dan dehidrasi waktu itu, Ann. Akan tetapi, beruntung sekali Jafar menemukannya di waktu yang tepat dan segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan, sebab t