Hari terus berjalan, tanpa terasa aku sudah semakin jauh dengan kedua anakku. Bahkan Mama Zakia kini sudah tidak aktif lagi nomernya membuat aku menjadi hilang kontak dengan kedua anakku. Tidak terasa sudah satu setengah tahun aku bekerja di dunia desain interior dan eksterior. Bahkan sekarang perusahaan tempat aku bekerja sudah merambah ke luar kota hingga luar pulau. Omset yang di peroleh Irene hampir menyamai perusahaan induk yang dipimpin oleh ayahnya.Sampai suatu ketika Ayah Irene pun datang ke ruanganku hanya sekedar melihat cara kerja kami yang membuat perusahaan meroket."Apa kabar, Ann?" sapa Pak Burhan, ayah Irene."Alhamdulillah sehat, Pak!" balasku."Kerja yang bagus. Saya sangat luas dengan kepemimpinan kamu selama satu tahun terakhir ini, Ann. Kamu butuh semangat agar lebih maju lagi, tunggu hadiah dari perusahaan atas kinerja kamu!" kata Pak Burhan."Terima kasih, Pak. Mobil kemarin sudah cukup bagi saya, sekali lagi terima kasih!" kataku dengan nada rendah.Aku tidak
"Annasta kamu Annasta binti Lukman kah?" tanya lelaki yang ada di depanku. "Benar, aku Annasta. Maaf dengan siapa?" tanyaku sedikit berpikir siapa dia."Bagaimana kabar kamu, Ann? Apakah Jasen bisa membuatmu bahagia?" tanya pria tersebut."Baik, sangat baik. Sedang apa kamu di sini Hanest ?" tanyaku.Hatiku berdetak lebih kencang saat mendengar suara Hanes. Sungguh hari yang sial atau untung bertemu dengan lelaki masa laluku, aku pun tidak bisa berpikir ulang. Namun, yang pasti debaran dulu masih ada buat lelaki di depanku ini."Menikahlah denganku, Ann! 'Kan kubuat senyummu selalu ada," katanya.Aku hanya bisa tersenyum dan berniat meninggalkan Hanest sendiri, tetapi tanganku ditahannya lalu sekali hentak tubuhku masuk dalam pelukannya. Jantung ini semakin berpacu, membuatku merasa tidak nyaman."Ann!" lirihnya sambil membelai wajahku."Apakah debaran ini masih untukku?" tanyanya."Hans, bisakah kamu lepaskan aku? Ini adalah jalanan para karyawan dan masih lingkup kantor, jadi tolon
Aku mulai melajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju sebuah cafe. Cafe Biru terlihat sangat ramai, banyak pengunjung yang datang sekedar ngopi dan berbincang rungan, ada juga yang datang bersama keluarga. Semua terlihat asyik dengan desain yang beranaka ragam.Aku datang ke tempat ini karena pemilik cafe lah yang menjadi klienku. Dia seorang wanita yang cantik dan lembut. Seorang singgle parent juga dia."Hallo, apa kabar Ibu Ann?" sapanya."Hallo juga Bu, aku baik-baik saja." Kulihat pemilik cafe itu menuju tempat yang sepi dan lebih santai, kami mulai membicarakan kerja sama ini."Silahkan duduk, Ibu Ann," kata pemilik cafe tersebut yang bernama Herta."Terima kasih, Bu Herta," balasku, lalu aku pun duduk didepan Herta.Kami mulai membicarakan masalah desain ruang untuk cabang cafe biru yang lain. Sambil mendiskusikan model desainnya ada hidangan ringan berupa cemilan kentang goreng dan jus mangga."Tema apa untuk cabang cafe nanti, Bu?" tanyaku."Aku ingin tema remaja, jangan
"Mas Jasen!" lirihku saat terlihat nama mantan suamiku.Kudial panggilan itu dan langsung kudengar berbagai umpatan meluncur bebas dari mulut suamiku yang ada diseberang."Kau bawa kemana anak perempuanku, Ann?!" tanya Mas Jasen dengan nada lantang."Apa saja yang kamu lakukan, Mas? Anak sampai kehilangan tenaga dan dehidrasi hingga harus opname?" aku melempar banyak tanya pada mantanku itu."Apa maksud kamu itu, Ann? Amel selalu aku beri makanan bergizi juga susu kesukaannya, bagaimana bisa kosong perutnya hingga siang?" bantah Mas Jasen."Jangan tanya padaku, Mas. Tanyakan saja semua pada rubah betina piaraan kamu itu!" tegasku pada Mas Jasen.Hening, aku hanya mendengar suara tuts yang ditekan silih berganti. Sepertinya Mas Jasen sedang sibuk. Apakah dia masih ada dikantor pada jam istirahat.Aku tidak mau ambil pusing, segera saja aku matikan sambungan telepon itu dan aku mulai mengurus administrasi Amel agar dia segera mendapat perawatan yang maksimal."Amelia harus sehat, semang
Aku sangat nelangsa melihat nasib putriku, dia harus berjuang demi kebahagiaan sang ayah. Namun, Ayahnya tidak pernah melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dari cerita Yoga aku menarik kesimpulan bahwa wanita rubah itu sangat pandai bersilat lidah, dan memainkan perannya.Tetapi aku juga harus memastikan sendiri seperti apa kelakuan si rubah betina itu. Hingga muncul sebuah ide untuk menghubungi kedua orang tersebut."Bang, bagaimana menurut kamu jika bunda menghubungi ayah dan mama Audre untuk datang ke sini?" Aku meminta pendapat pada pria kecilku.Lama Yoga diam, terlihat dari sinar matanya bahwa anak itu sedang menimbang sesuatu. Dengan menghembuskan napas kasar, akhirnya Yoga buka suara."Jika Bunda kuat melihat kemesraan mereka berdua, Yoga tidak bisa menahannya. Namun, jika Bunda belum siap sebaiknya jangan dihubungi," balas Yoga yang sangat memperhatikan perasaanku."Tetapi ini sudah menyangkut nyawa adik kamu, Bang. Apakah mereka tidak ingin melihat keadaan Amelia?" cecarku."
"Silahkan masuk, Nyonya!" kata Dokter Frans ramah.Aku pun masuk dalam ruangan dokter muda tersebut. Lalu sang dokter berjalan menuju pada sebuah rak dan ditariknya sebuah file. Setelah mendapatkan file tersebut, Dokter Frans pun kembali berjalan mendekat pada meja kerjanya dan duduk di kursi."Begini, Nyonya Ann. Saya hanya ingin menjelaskan beberapa penyakit yang sudah diderita gadis kecil itu sejak empat bulan yang lalu, ketahuilah gadis kecil itu sangag kuat walau tubuhnya sedang digerogiti penyakit berbahaya," ucap Dokter Frans."Sakit berbahaya? Seberapa bahayanya, Dok?" tanyaku."Adik Amel memiliki penyakit mag akut, dengan disertai asam lambung. Anda tentu tahu dua penyakit ini 'kan, Nyonya?" tanya Dokter.Aku hanya menganggul kecil meski tidak begitu paham dengan informasi tersebut. Lalu tiba-tiba pintu terbuka dengan paksa. Muncul seorang pria yang sangat aku kenal, Mas jasen bersama istri."Frans, apa maksud semua ini!" hentak Jasen."Duduk dulu, Mas!" ucap Dokter Frans.Ma
Plak!Sebuah tamparan mendarat dipipiku, seketika aku terhenyak dan melihat sosok itu. Sungguh tidak aku duga bila tangan itu berani melukis lagi wajahku saat aku bukan lagi istrinya."Mas, kau sudah keterlaluan! Keluar kalian dari ruanganku, dan ingat suatu saat nanti keadaan akan membalik padamu!" ancam Frans.Tanpa ragu tangan Frans mengusap bekas gambar tangan Jasen di pipiku dengan kapas yang dibaluri alkohol. Perih dan nyeri aku rasakan pada permukaan pipiku. Frans terlihat sangat telaten merawat lukaku. Mas Jasen yang masih berada dalam ruang pemeriksaan itu menjadi naik darah melihat tangan Frans menyentuh kulitku. Tanpa banyak bicara sebuah bogem meluncur pada rahang kanan Frans. Pemuda itu berhasil menghindar dari bogem tersebut."Apaan kamu itu, Mas?" hentakku pada sang mantan. "Kau masih istri sahku secara hukum, Ann. Mengapa berani sekali kau menyodorkan wajahmu pada pria lain dan didepan mataku? Kau sudah menjadi J4l4ng kah, Hah?!" pungkas Jasen."Tutup mulut ember kam
"Aku ingin kamu datang ke rumah kita yang dulu!" kata Mas Jasen dengan nada kembali dingin."Buat apa, Mas?" tanyaku."Aku ingin kamu desain ulang kamar Amel dengan desain kuda poni berwarna pink," jawabnya."Bukankah Amel tidak suka warna pink? Apalagi kuda poni," balasku.Mas Jasen memijat pelipisnya perlahan sambil menghembuskan napas kasar, mantan lelakiku itu terlihat penuh beban. Lalu kulihat dia mengeluarkan selembar kertas yang dilipatnya kecil agar bisa masuk dalam saku jas yang dikenakan."Seperti ini desainnya, aku percaya padamu, Ann." Tangan kekar dan putih lembut itu membuka lipatan kertas, aku terkejut untuk sesaat melihat gambar kuda poni.Perlahan kuraih kertas itu, dengan teliti ku amati setiap detail gambar kuda poni. Sekilas hampir mirip gambar yang pernah aku miliki dulu, tetapi di mana aku menaruhnya aku pun sedikit lupa. Namun, sama persis dengan milikku yang membedakan hanya ukuran kuda poni dan warnanya."Ini seperti lukisanku saat dulu, Mas. Apa kamu ingat?"