Hari terus berlalu dan aku sudah mulai membuka usaha kue basah juga bluder yang lagi rame. Awal aku berjualan masih dari pintu ke pintu, sedangkan Andin dia lebih senang berjualan di depan sekolah atau dikeramaian. Pertama jualan keliling membuatku sedikit kurang percaya diri. Bukan aku malu tetapi pada rasa, apakah kue buatanku bisa terjual? Berbagai pertanyaan sering muncul, tetapi segala usaha pasti ada hasil.Jaulanku sekarang sedikit lebih maju, karena hari ini aku sudah bisa buka lapak didepan kontrakan. O iya sekarang kontrakkan aku ada di depan gang sehingga memudahkan aku untuk berjualan. Sengaja aku pindah yang di depan gang agar jualanku lebih dikenal oleh masyarakat, dan Andin sangat antusias."Wah asyiik! Enak seperti ini, Mbak Ann," ungkap Andin tersenyum lebar."Kamh benar, semoga kita bisa buka kios khusus Bluder ya, Din!" ucapku sekaligus doa."Aamiin," balas Andin."Jika Mbak bisa buat kios, apakah kamu masih mau bantu bikin kuenya, Din?" tanyaku."Pasti mau, Mbak. D
"Ayo, Mbak!" ajak Andin dengan suara yang lantang.Aku pun berjalan mendekat pada bentor baru milik Andin. Senyumku mengembang kala melihat wajah sumringah Andin. Aku mencoba naik bentor tersebut dan Andin mulai menyalakan mesinnya."Dapat harga berapa ini bentor kamu, Din?" tanyaku."Ini agak mahal, Mbak. Karena mesin motornya dari Hond4 tipe Gr4nd," balasnya yang belum kudengar jumlah nominal harga."Iya tahu sudah bisa aku baca, yang ingin aku tahu itu total harga keselutuhan," balasku sedikit kesal.Ku dengar napas berat dibelakangku, saat ini Andin sedang mengendarai bentor sehingga napaasnya sedikit ngos-ngosan karena belum lihai mengemudikan bentor itu. Namun, aku sangat bangga dengan gadis itu. Luka yang ditorehkan oleh ayah angkatnya tidak bisa membutakan kasih sayangnya yang tulus pada semua anggota keluarga itu.Aku sangat terharu dengan perjuangan Andin, hingga tanpa terasa mereka sampai di depan rumah Andin. Dengan riang gadis itu turun dari bentor dan berlari menuju pint
Ku lihat Andin masih menundukkan kepala ketika ditatap tajam oleh Sardi, bapak angkatnya. Aku melihat interaksi yang cukup aneh yang terjadi diantara keduanya. Andin masih ingin memberi kasih sayangnya pada kedua orang tua angkatnya. Namun, yang aku lihat si Sardi sudah enggan menerima appaun dari hasil keringat Andin."Mau apa kau datang ke sini, Din?" tanya Sardi pada Andin.Aku terhenyak mendengar pertanyaan Pak Sardi. Lelaki itu sedikitpun tidak memandang wajah Andin, dia memandang tempat kosong membuat aku semakin yakin jika dia ingin membuang Andin dalam hidupnya. Satdi begitu kekeh menolak usaha Andin."Jika bentor itu kamu bawa ke sini untuk membuatku tersenyum, maka bawa lagi aku tidak butuh itu!" hentak Sardi.Kulihat air mata Andin mulai menetes perlahan, aku pun bergeser mendekat pada posisi gadis itu. Kemudian kurengkuh tubuh lelahnya. Andin bersandar pada lenganku sambil netranya memandang wajah sang bapak yang masih bergeming pada tempat lain.Aku mencari sosok adik-adi
Aku masih dirumah orang tia Andin, disana kami masih menunggu keputusan apa yang akan diambil masalah bentor. Mengingat semua usaha Andin yang berpuasa hampir enam bulan menyisihkan uang jajan dari hasil kerja denganku menjual kue. Aku pun dengan sabar memberi tahu pada Jamilah agar mau membujuk suaminya. "Mbak, bujuklah Pak Sardi untuk menerima bentor ini toh tidak ada pajak," kataku." Sebenarnya saya sangat senang jika bentor ini bisa diterima oleh Mas Sardi. Dengan bentor ini akan memudahkan dia untuk mencari nafkah," jawab Jamilah."Nah itulah tujuan dari Andin selama ini hingga bentor ini terbeli, Mbak. Untuk itu bantulah Andin!" rayuku pada Jamilah.Jamilah akhirnya beranjak meninggalkan kami, aku memandang Andin dengan senyum agar gadis itu memiliki semangat akan diterimanya bentor itu. Andin pun membalas senyumku. Gadis itu terlihat mulai bisa menerima semua ini. "Apa sebaiknya kita pulang saja ke rumah Mbak Annas saja ya? Sepertinya di sini kita kurang mendapat perlakuan b
"Amir kelas berapa?" tanyaku pada anak lelaki kecil."Kelas lima sekolah dasar, Mbak," jawabnya."Kalau Adik ini, sudah sekolahkah?" tanyaku.Dahlia anak perempuan yang aku tanya itu hanya diam. Dia terlihat murung, lalu tangannya terangkat menjelaskan dengan menggunakan tangannya. Sejenak aku termangu, bibirku susah terkatup menyaksikan gerakan tangan Dahlia. Kemudian Amir menjelaskan jika pita suara Dahlia sangat tipis sehingga susah untuk mengeluarkan suara."Apakah Dahlia ingin Sekolah?" tanyaku.Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya tanda dia juga ingin menuntut ilmu. Dalam gerakan tangannya bisa aku artikan jika dia si Dahlia ini ingin menjadi guru tuna wicara. Gadis kecil itu begitu menikmati saat dia bercerita mengenai inginnya tersebut. Aku melihat jika Dahlia merupakan anak yang cerdas, hal itu bisa aku lihat dari cara dia menjelaskan semua.Sementara Amir menggenggam jemari tangan mungil Dahlia. Aku ikut terharu dengan kerukunan kedua anak kecil itu. Andin yang melihat ked
Waktu terus berlalu, usaha kue yang aku jalankan semakin berkembang. Kehidupan ekonomiku juga mulai merangkak naik, semua hal itu juga membawa kebaikan pada ekonomi keluarga Andin. Sekarang keluarga Sardi menjadi terangkat hal ini membuat Andin semakin giat membantuku dalam bisnis kue yang sudah semakin maju.Sekarang kios kue yang aku miliki sudah memiliki cabang, dengan adanya cabang itu kesibukanku semakin bertambah. Aku hampir melupakan rasa rindu pada dua buah hatiku, sedang apa kalian di sana. Mengapa tiba-tiba rindu ini kembali menyapa? Aku pun tidak sanggup lagi untuk bisa mendengar suara kedua anakku."Kapan bunda bisa melihat kalian?" lirihku dalam kesunyian malam.Aku masih terus melamun membayangkan wajah Amelia yang imut dengan kulit kuning langsat membuatnya terlihat cantik. Namun, beberapa bulan yang lalu wajah itu terlihat lelah. Sedih hatiku saat ingat senyumnya yang seakan dipaksa agar aku terlihat lega dan bisa bebas bekerja demi untuk kelangsungan hidup kami kelak.
"Jika tertawa jangan terbahak seperti itu, nanti gantengnya hilang lho. Terus jauh dari jodoh," kataku pada Frans."Ini lagi ngobrol sama jodohku, jodohku dirimu hingga mati!" ucap Frans sambil berdendang lagu artis ibukota."Nah, nah lho!" balasku."Aku serius padamu, Ann. Bahkan jauh sebelum kamu kenal Jasen, kutu kupret itu," ucap Frans.Aku terdiam, bagaimana dia bisa bilang jauh sebelum aku kenal Jasen. Sedangkan aku sendiri tidak pernah melihat wajahnya sebelum perjumpaan saat Amel pingsan tahun kemarin. Sejak peristiwa itulah aku mulai dekat dengam Frans, meski saat ini aku ada di Madiun. Frans terkadang meneleponku seperti saat ini. Awal dia membicarakan mengenai kedua anakku, lambat laun berbicara mengenai rasanya padaku. Hal inilah yang membuat aku terkadang bisa lupa akan rasa pada Mas Jasen. Walau bagaimana pun, Mas Jasen adalah pertama bagiku. Hingga menancap begitu dalam rasa dan sakitku."Hai, Ann, apakah kamu masih di sana?" tanya Frans membuyarkan lamunanku."Masih,
Aku gegas berlari menuju tubuh Andin, tanganku meraba keningnya. Badannya terasa sangat dingin, aku menjadi sangat khawatir. Dengan lantang kupanggil salah satu karyawan lelaki yang aku miliki."Damaar!" panggilku.Orang yang aku panggil Damar kebetulan sedang bersiap untuk jualan keliling. Iya aku memang mempekerjakan satu orang laki-laki putra Pak Komar tetangga sebelah yang belum mendapat kerja setelah lulus dari SMK Negeri 4 Madiun dengan jurusan tata boga. Meskipun dia seorang pria, Damar sangat cekatan dalam bekerja. Ketika mendengar namanya aku panggil dengan segera dia meletakkan keranjang roti begitu saja dan berlari menuju ke arahku."Iya, Mbak!" jawabnya setelah sudah ada di depanku dengan napas ngos-ngosan."Tolong angkat tubuh Andin ke dalam kamar itu, Ya. Dan ini hari ini kamu beli bahan dulu, jika selesai boleh kirim roti juga boleh nunggu toko. Utamakan beli bahan dulu, ya!" ucapku."Siap, Mbak," balasnya.Kemudian dengan sekali hentak, tubuh Andin sudah ada dalam gend