"Assalamu'alaikum .... Boleh saya masuk?" Suara bariton menginterupsi obrolan kami. Dan betapa terkejutnya aku demi melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. "Weh .... Ada dr. Bagus. Kebetulan kalau begitu, ibu mau mengurus administrasi dulu, nitip Nira ya?" ujar Ibu sambil menepuk pelan bahu Bagus. "Iya, Bu iya. Silahkan, biar Nira saya yang jaga. Dijamin aman pokoknya," sahut Bagus dengan wajah semringah. Bagus berjalan mendekat setelah ibu keluar kamar, dia mengambil kursi plastik dan duduk di tepi ranjang. "Siang ini sudah boleh pulang, kan?""Tahu darimana?" Pertanyaan bodoh, dia kan dinas di sini, pasti tahu lah kapan aku pulang, tinggal nanya sama dokter yang menangani aku, kan?"Aku dokter residen di sini, Ra.""Residen itu apa?" Bagus terkekeh mendengar pertanayaanku. Entah apanya yang lucu? Aku ini bukan orang medis, mana tahu istilah yang mereka gunakan. "Residen itu calon dokter spesialis --- ""Oh, kamu sedang mengambil spesialis?" tanyaku memotong ucapan Bagus, ya
"Bunda kapan pulang?" Hatiku teriris mendengar rengekan bocah empat tahun itu. Kenangan bersama gadis menggemaskan itu kembali terbayang di pelupuk mata, membuat rindu yang melanda terasa semakin menyiksa. Hampir dua tahun kebersamaan kami, membuat kami sudah seperti ibu dan anak kandung. Terlepas dari kesalahan Mas Elman, Zila adalah anak yang menyenangkan dan tidak merepotkan. "Maaf sayang, Bunda nggak bisa pulang," ucapku dengan menahan isak. Rasanya tak sanggup mengatakan kalimat itu pada bocah polos itu. Dia tidak tahu apa-apa. "Kenapa nggak bisa pulang? Bunda nggak kangen Zila?""Kangen sayang, kangen. Bunda kangen banget sama Zila." Tangis yang dari tadi kutahan akhirnya pecah. Kalimat yang Zila lontarkan terasa seperti tusukan pisau belati, sakit. "Kalau begitu pulang, dong .... Zila juga kangen sama dedek bayi."Ya Allah .... Aku benar-benar nggak tahu harus ngomong apa sama Zila, bagaimana menjelaskan situasi yang sebenarnya, bahwa aku dan papanya akan segera bercerai. B
"Sudahlah, Mas. Nggak ada yang perlu disesali, semua sudah terlanjur terjadi. Menyesal pun percuma, tidak akan merubah keadaan, kan?" Jujur aku terenyuh mendengar pengakuan Mas Elman, ternyata bukan hanya aku yang hancur, hatinya pun sama hancurnya. Kami berada di teras rumah orang tuaku sekarang, karena aku dan Mas Elman akan segera bercerai, maka aku tidak lagi mengijinkan dia istirahat di kamarku seperti biasa. Hanya Zila yang masih bebas keluar masuk rumah ini. Seperti kata Mas Elman di telfon kemarin, dia akan datang ke rumah orang tuaku saat week end, untuk minta maaf sekaligus pamitan. Sayangnya Bapak dan ibu belum pulang karena masih ada acara, jadi kami ngobrolnya di teras saja, sambil nunggu bapak ibu. Takut jadi fitnah atau kami khilaf, bagaimana pun juga kami sudah sepakat untuk bercerai. "Tapi aku benar-benar menyesal, Ra. Andai waktu bisa diulang, aku ingin memperbaiki semuanya, aku janji tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi." Mas Elman tertunduk, sesekali jariny
Jantungku berdegup kencang, tanganku basah mengeluarkan keringat dingin. Berulangkali aku menatap ke arah pintu ruang sidang, menunggu namaku dipanggil. Ya, hari ini adalah sidang terakhir perceraianku dengan Mas Elman, dengan agenda ikrar talak. Meski ini saat yang kunantikan, tapi rasa cemas tak bisa hilang begitu saja. Jujur aku belum siap menyandang status baruku, menjadi janda bukan impianku dan aku yakin bukan impian semua mahluk bernama perempuan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tetap harus menjalani fase ini. "Kamu deg-degan, Ra?" Aku menoleh ke arah Mas Elman yang duduk di sampingku. Bisa kulihat jelas wajah tegangnya. Aku hanya menghela nafas, seraya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya. "Sama, aku juga deg-degan banget. Lihat nih!" Mas Elman menunjukkan kedua telapak tangannya yang basah padaku. "Saking groginya, aku sampai berkeringat dingin," lanjutnya kemudian. Kembali hening, kami saling diam menikmati rasa campur aduk yang mendera hati masing-masing.
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Pov AuthorElman menjabat tangan penghulu, seraya mengucap ijab dengan lantang tanpa kendala. Ini pernikahan ketiganya, tentu saja dia sudah hafal di luar kepala ikrar suci yang harus dia ucap. Sesuai janjinya, Elman menikahi Dita segera setelah surat merah keluar. Digelar di KUA, tanpa pesta tanpa makan-makan, akad nikah antara Elman dan Nira dilaksanakan. Hanya dihadiri Dito dari pihak Dita, Hardiono berhalangan hadir, karena kondisi kesehatan yang terus menurun akibat permasalahan yang mendera keluarganya. Sementara dari pihak mempelai pria, Edwin yang Elman hadirkan sebagai pengganti keluarganya. Meski masih ada hubungan saudara dengan Dita, toh keluarga besar Elman tak pernah suka dengan Dita.Air mata Dita menitik, usai Elman mengucap ijab. Hatinya lega luar biasa. Ini memang bukan pernikahan impian, tapi bagi Dita ini sudah lebih dari cukup. Impiannya untuk memberi status jelas pada anaknya terkabul sudah. Dita mencium punggung tangan Elman dengan takzim, yang kemudian diba